Cerita Home Stay
Di mana langit dipijak, di situ langit dijunjung. Berada di tempat orang lain, kita dituntut beradaptasi, menghormati, menjunjung tinggi nilai, kebiasaan, dan adat tempat tersebut. Begitulah peribahasa mengajarkan kita harus menyesuaikan diri di “daerah kekuasaan orang lain.”
Peribahasa yang sudah kita kenal sejak pendidikan dasar ini (benar-benar) saya aplikasikan saat saya melakukan home stay (tinggal) di rumah salah seorang teman Korea saya, Kim Dong-Sun.
Home stay adalah kegiatan terakhir dari rangkaian program Youth Camp for Asia’s Future 2009 yang saya ikuti. Tujuannya adalah untuk merasakan pengalaman dan berinteraksi secara langsung tentang kehidupan orang Korea secara lebih dekat.
Bersyukur saya ditempatkan bersama keluarga yang sangat baik. Kim Dong-Sun adalah teman saya yang juga merupakan partisipan dalam program Youth Camp for Asia’s Future 2009. Ayahnya, Kim In-Ho, adalah seorang insinyur dan ibunya bernama Lee Myung-Suk. Kim Dong-Sun adalah anak semata wayang dari pasangan tersebut.
Keluarga yang saya tinggali bisa dibilang adalah keluarga yang kaya raya. Bukan tanpa alasan saya mengatakan hal tersebut karena terlihat dari penampilan luarnya. Rumah mereka adalah apartemen dan berada di kawasan yang elit, memiliki perabotan rumah yang serba high-tech dan mahal, kendaraan yang mewah, dll. Saya sangat bersyukur bisa ditempatkan bersama keluarga yang plus-plus (sangat baik dan kaya pula).
Tamu adalah raja
Orang korea begitu memanjakan tamu. Itulah kesan pertama saat saya berada di rumah Kim Dong-Sun. Saya seakan dianggap keluarga mereka sendiri, bukan sebagai orang asing.
Selama tinggal di rumahnya banyak pengalaman dan pengetahuan yang saya dapat tentang adat-kebiasaan orang Korea. Salah satunya adalah adat ketika makan. Seperti orang yang lebih tua belum memulai untuk makan, orang yang lebih muda harus menunggu.
Orang yang lebih muda pun jangan berhenti makan sebelum orang yang lebih tua berhenti makan. Dan kalo perlu, kita makan sebanyak-banyaknya makanan yang dihidangkan oleh tuan rumah. Meskpiun terlihat maruk, tapi orang Korea justru sangat senang.
Kita juga jangan kagok kalo ingin bersendawa. Malah dengan bersendawa berarti kita sangat menerima dan menganggap makanan yang dimakan adalah enak. Mereka biasanya akan merespon seperti ini, “Masissjyo?” “Enak kan?”
Hal yang sangat mengejutkan dan tabu bagi saya adalah ketika malam hari akan tidur. Orang tua Kim Dong-Sun menyuruh saya tidur di kamar mereka. Bagaimana tidak tabu, tidur di kamar orang yang punya rumah dan orang yang punya rumah sendiri tidur di kamar tamu. Bayangkan kawan! Saya sangat kaget saat Ayahnya, Kim In-Ho, menyuruh saya segera ke kamarnya untuk tidur.
Posisi dilematis saya alami saat itu. Menolak tidak enak, takutnya dianggap tidak menghargai tuan rumah. Menerima permintaan juga tidak enak karena menurut saya hal tersebut kelewatan.
Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, “Apa begini yah kalo setiap tamu yang nginep di rumah orang Korea?” Akhirnya terpaksa dengan rasa tidak enak demi menghargai tuan rumah, saya pun tidur di kamar sang tuan rumah. Sebuah peristiwa yang sangat aneh dan langka terjadi.
Tidak sampai di situ, saya juga diberi fasilitas “anggaplah rumah sendiri”. Saya bebas mengakses internet, masak, makan, menelepon semaunya. Termasuk menelepon orang tua saya di Indonesia. Kebetulan sebelum home stay saya belum menelepon ke Indonesia. “Gwenchana Yogi. Bumonimhante jonhwahaseyo!” “Tenang, gak-apa Yogi. Teleponlah orang tuamu sana!” ucap Kim Dong-Sun.
Saat kegiatan home stay berakhir keluarga Kim memberikan kenang-kenangan dan hadiah untuk saya dan orang tua saya di Indonesia. Saya pun tak mau kalah, saya memberi mereka kenang-kenangan berupa sebuah wayang golek yaitu cepot. Tidak disangka mereka sangat senang dengan cepot. “Gwiwoyo!” “Lucu!” ucap Ibu Lee Myung-Suk.
Perpisahan, sebuah kata yang sangat tak enak untuk didengar. Begitu pula sama tak enaknya saat dialami. Tinggal bersama keluarga Kim Dong-Sun meskipun singkat telah memberikan pelajaran yang banyak bagi saya. Terutama dalam hal bagaimana menjamu tamu dengan baik. Salah satu keluarga yang tidak akan saya lupakan dalam hidup saya.
Petualangan dua minggu saya di negara kelahiran gelandang MU Park Ji-Sung ini adalah rezeki yang luar biasa besar diberikan Allah kepada saya. Semua biaya (pesawat pergi-pulang, hotel bintang lima, resort, akomodasi, transportasi, dll) selama di sana ditanggung pemerintah Korea. Demi mempromosikan Korea ke seluruh penjuru dunia, biaya yang dikeluarkan sangat besar sekali pun dilakoni pemerintah.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani bermimpi dan tak segan untuk belajar dari bangsa lain yang maju. Korea Selatan telah melakukan semua itu. Saya optimis, ke depan cahaya kemajuan bersinar menerangi bumi Indonesia. Amin!
Kamis, 05 November 2009
Selasa, 03 November 2009
Catatan Perjalan di Negeri Ginseng, Korea Selatan (7)
Kata “aa” dan “teteh” sudah tak asing lagi bagi orang Sunda. Kedua kata panggilan tersebut biasa digunakan untuk memanggil kakak dalam anggota keluarga atau orang yang lebih tua. Kata “aa” diperuntukkan untuk laki-laki dan “teteh” untuk perempuan.
Satu hal yang menarik dari bahasa Korea berbicara mengenai kata panggilan ini adalah beragam. Kata panggilan di Korea berbeda-beda tergantung dari siapa yang memanggil dan siapa yang dipanggil.
Yang dimaksud dengan “siapa yang memanggil” adalah apakah dia itu “laki-laki atau perempuan”. Berawal dari sini, kata panggilan akan berbeda. Inilah satu sisi keunikan dari bahasa Korea. Penggunaannya pun jangan sampai tertukar karena akan menimbulkan keanehan bahkan kelucuan.
Kalo sang pemanggil adalah seorang (adik) laki-laki, untuk memanggil kakak laki-laki harus menggunakan kata “hyong”. Masih dari sang pemanggil adalah laki-laki, untuk memanggil kakak perempuan adalah “nuna”.
Nah, kalo pihak dari sang pemanggil adalah seorang adik perempuan beda lagi aturannya. Untuk memanggil kakak laki-laki menggunakan kata “oppa”. Sedangkan untuk memanggil kakak perempuan menggunakan kata “onni”.
Kata “hyong, oppa, nuna, dan onni” pun seperti kata “aa dan teteh” di Sunda. Penggunaannya tidak hanya untuk anggota keluarga saja, tetapi juga bisa digunakan untuk bukan anggota keluarga.
Saya ada cerita tentang penggunaan kata panggilan ini di Korea. Ketika teman saya orang Indonesia (laki-laki) sedang berbelanja di pasar Namdaemun (pasar terkenal kebersihannya di Seoul). Saat itu teman saya berbelanja sebuah pakaian dan pedagangnya adalah seorang abang-abang (Akang).
Tanpa ragu teman saya menanyakan harga pakaian seperti ini, "Oppa, igo olma yeyo?" "Kang...ini harganya berapa?". Reaksi si pedagang tadi bukannya menjawab pertanyaan, tapi melihat teman saya dengan sinis dan mencibir.
Anda tahu kenapa si pedagang sampai hati sinis dan mencibir teman saya? Tahu kan alasannya? Tepat, teman saya salah menggunakan kata panggilan. Seharusnya teman saya menggunakan kata “hyong” bukannya “oppa”. Seperti penjelasan di atas, “oppa” adalah panggilan dari seorang perempuan kepada laki-laki yang lebih tua. Jelas si pedagang begitu sinis dan mencibir teman saya. Dianggapnya teman saya itu adalah seorang “hombreng alias bencong”. Nah lho!
Saya hanya bisa berkata, berhati-hatilah menggunakan kata “aa dan teteh”nya orang Korea. Penggunaannya tertukar, maka jenis kelamin Anda akan dipertanyakan oleh orang Korea.
*Ket. Photo: Saya dan teman Korea saya Kim Su-Sy saat acara pakaian tradisional negara.
Senin, 02 November 2009
Catatan Perjalan di Negeri Ginseng, Korea Selatan (6)
Kalo kata sejarah, suatu peradaban yang makmur itu adalah peradaban yang lokasinya berada dekat sungai. Logis memang, suatu masyarakat yang hidup dekat sungai bisa memenuhi segala kebutuhan hidupnya dengan mudah karena kebutuhan hidup yang pokok (air) sangat mudah diperoleh. Kalo air udah gampang didapat makan, minum, mandi, dan nyuci gak jadi pikiran. Waktu SMA, guru sejarah kita selalu mencontohkan peradaban Sungai Nil, Hindus, Kuning, Eufrat, Tigris, dll.
Dari mukadimah tadi, sangat beralasan masyarakat kota Seoul begitu bangga tanah yang ditinggalinya mempunyai sungai yang panjang dan lebar. Tidak cukup dengan bangga, mereka sangat menjaga dan merawat sungai yang mempunyai panjang 68,75 km ini. Tidak lain sungai yang dimaksud adalah Sungai Han.
Nama Han sendiri berasal dari kata "Hangaram" (baca: Hang Garam) yang berarti panjang, luas serta lebar (han), dan "garam" berarti "sungai" dalam bahasa Korea kuno. Kalo sekarang orang Korea menyebut sungai terpanjang di Korea ini yakni “Hangang” (baca: Hang Gang).
Karena keberadaan sungai ini, Korea juga mendapat julukan “Miracle of the Han river.” Sungai yang membelah jantung kota Seoul ini airnya bisa dikatakan lumayan bersih (menurut saya lho) dan gak tercium bau yang kurang sedap. Juga gak ada sampah yang terlihat “berenang” di atas permukaan sungai. Overall, kondisi sungai yang melewati 12 distrik di kota Seoul ini oke punya. Salah satu tempat yang sayang kalo dikecualikan untuk dikunjugi saat berada di Korea.
Anehnya, teman saya orang Korea gak sependapat, “Mwo? Kkekkeutheyo? Anniyo Yogi ssi! Hankangeun dorowoyo!” “Apa? Bersih? Tidak Yogi! Sungai Han kotor!” Sungai Han yang saya anggap bersih mereka anggap kotor. Gimana jadinya kalo mereka datang ke Indonesia terus lihat sungai kita (ciliwung misalnya)?
Fasilitas memanjakan
Masyarakat kota Seoul sering datang ke bantaran Sungai Han untuk sekedar melepas stress, membaca buku, menulis, melukis, berolahraga, atau kalo orang yang lagi kasmaran suka dijadiin tempat apel (romantis abis dah).
Area wisata sungai ini memiliki 12 tempat olah raga, area sepeda (biking trails), area hiking, dan 169 fasilitas olah raga. Dan tentu saja juga memiliki taman-taman keluarga, dimana masuk dan semua fasilitasnya tanpa dipungut biaya, alias gratis (catet: gratisss)!
Pilihan yang tepat menurut saya masyarakat kota Seoul memanfaatkan keberadaan sungai ini untuk penghilang rasa penat. Di samping bisa melihat pemandangan sungai, kita juga menghindari sejenak dari kebisingan dan polusi udara jalan raya. Pohon, rumput, bunga tumbuh dengan manisnya menjadi penambah keindahan.
Baik siang maupun malam apalagi akhir pekan banyak masyarakat menikmati keindahan sungai. Disediakan juga jasa angkutan kapal (ferry) untuk berkeliling melihat keindahan sungai. Ada 2 macam tiket untuk naik ferry yakni one way course dan round trip course. Harga tiket one way course untuk dewasa adalah 9000 won (sekitar 90.000 rupiah), durasi 1 jam dengan panjang lintasan 15,5 km.
*Ket. Photo: Saya saat di bantaran sungai Han.
Minggu, 01 November 2009
Catatan Perjalanan di Negeri Ginseng, Korea Selatan (5)

Salah satu ukuran sebuah negara dikatakan maju adalah mempunyai fasilitas public transportation-nya yang bagus dan unggul. Ukuran transportasi yang unggul dan bagus itu seperti apa sih? Apakah yang aman, nyaman, bersih, cepat, dan murah? Pastinya kriteria yang telah saya sebutkan sudah cukup mewakili sekaligus idaman kita semua selaku warga negara pengguna kendaraan umum.
Bagaimana dengan di Seoul? Di Korea bisa dibilang semua kriteria yang kita idam-idamkan tadi sudah terpenuhi. Meskipun belum sempurna 100%, tapi sudah jauh banget lebih baik dibanding ama Jakarta. Jakarta saya jadikan perbandingan karena ibu kota negara.
Secara umum bus, taksi, kereta api bawah tanah (subway), kereta api listrik, dan lainnya dapat dikategorikan sebagai kendaraan umum di Korea. Ketika saya di sana, saya jajal tuh semua jenis transportasi. Apalagi pas hari pertama datang ke Korea, hal yang pertama saya cari adalah kereta bawah tanah. Saya penasaran gimana sih rasanya naik kereta di bawah tanah sedalam kurang-lebih 5 tingkat ke bawah dan setiap tingkatnya ada yang 3, 4, ampe 5 meter (setiap tingkat ada jalur relnya masing-masing).
Berbasis IT
Kali ini saya bakal jelasin bus dan kereta bawah tanah sebagai sampel transportasi Korea berdasarkan kriteria di atas. Aman, selama saya naik bus dan subway alhamdulillah dompet saya gak beralih tempat ke orang lain tanpa seizin saya (baca: dicopet). Katanya sih copet jarang ada di Korea.
Nyaman dan bersih, kendaraan di Korea semuanya ber-AC dan bersih. Nah, bus di Korea sama kayak bus way di Jakarta, turun-naik penumpang hanya boleh di halte bus. Jadi, gak ada istilah ngetem cari penumpang.
Cepat, kalo pergi ke kantor dan sekolah bisa dijamin gak bakal telat (kalo bangunnya gak telat juga). Apalagi kereta, tepat waktu dan sesuai jadwal. Naik subway dari satu stasiun ke stasiun lain rata-rata waktu perjalanan adalah satu-dua menitan.
Oh iyah, di jalanan Korea jarang terjadi macet. Kalo ada macet pun sebab-musababnya gara-gara ada sesuatu yang tidak diinginkan (kecelakaan) atau perbaikan jalan. Hal ini dikarenakan volume kendaraan diisi kendaraan roda empat atau lebih. So, keberadaan kendaraan roda dua (sepeda motor) jarang bahkan sulit kita temui di Korea (hanya sekitar 2%). Kalo ada orang yang pake motor, itu pun pegawai makanan cepat saji yang sedang mengirimkan pesanan.
Murah, ongkos kendaraan bisa dibilang ekonomis. Kalo Anda pakai kartu (transportasi) maka untuk 10 km pertama hanya 900 won (sekitar 9000 rupiah). Kalo gak pake kartu, bayar dengan uang 1000 won dan hanya ditambah 100 won untuk setiap penambahan jarak 5 km.
Pemakaian kartu kendaraan yang bernama T-money ini sangat praktis. Kalo kita punya kartu ini, gak usah repot-repot ngeluarin uang dari dompet. Kalo depositnya abis tinggal diisi ulang lagi di toko terdekat. Pemakaiannya tinggal ditempel di mesin bayar yang ada di sebelah sopir dan di dalam stasiun kalo subway.
Gimana kalo belum punya tuh kartu? Bayar secara tunai juga bisa, namun yang mesti diperhatikan bayar ongkos secara langsung harus dengan uang pas. Kalo kita ngasih lebih pun gak bakal dikasih kembalian. Loh, kok gitu sih? Soalnya, di Korea gak ada kondektur dan sopir tugasnya cuman nyetir. Uang kita langsung dimasukkan ke dalam mesin. Maka dari itu, bawalah selalu uang pas saat naik kendaraan umum di Korea.
*Ket. Photo: Bus Korea yang futuristik.
Minggu, 06 September 2009
Catatan Perjalanan di Negeri Ginseng, Korea Selatan (4)

Jika suatu saat nanti Anda pergi ke Korea terutama Seoul, tempat yang jangan sampai terlewat untuk dikunjungi adalah Istana Gyeongbok atau dalam bahasa Korea, Gyeongbok gung. Ke Korea tapi gak ke Istana Gyeongbok ibaratnya kayak ke Mekkah tapi gak ke Madinah katanya. Uluh...segitunya yah!?
Emang ada apa sih di Istana Gyeongbok? Namanya juga Istana Gyeongbok, yah pasti ada istana bukan mall. Meskipun cuman istana, tapi di sana kita bisa melihat bagaimana istana khas Korea secara langsung. Berkunjung ke istana yang berada di sebelah utara Seoul ini kita akan serasa dibawa ke kondisi kehidupan masyarakat Korea abad ke-14. Djadoel (Djaman doeloe) gituu!
Sebelum masuk Istana kita akan melihat bangunan besar yakni pintu gerbang komplek istana. Di pintu gerbang ini ternyata ada penjaganya lho! Penjaga istana memakai pakaian khas layaknya penjaga istana zaman kerajaan dahulu. Kita juga bisa berphoto bareng ama tuh penjaga. Pengen nyoba pakaian penjaga istana? Bisa, soalnya ada penyewaan pakaian penjaga istana juga di luar gerbang, tapi mesti bayar. Pengen yang gratisan aja! Hihihi..
Setelah melewati pintu gerbang, kita akan melihat sebuah bangunan di depan kita. Bangunan itu bernama Keunjeong-jeon yaitu bangunan utama. Bangunan tersebut adalah singgasana raja di mana tempat raja melakukan tugas-tugas kenegaraan, ngasih perintah, dan menerima tamu-tamu dari luar.
Sempat Hancur
Istana yang mempunyai arti pancaran kegembiraan ini dibangun pada masa dinasti Chosun (Josoen) ketika dinasti Yi memindahkan ibu kota kerajaan ke Seoul. Istana Gyeongbok dijadikan sebagai istana utama kerajaan Chosun saat kekuasaan berada di tangan Raja Taejo, (tahun ke-4 masa pemerintahannya, 1394).
Kondisi istana sempat hancur lebur karena sengaja dihancurkan oleh Jepang saat menginvasi Korea tahun 1592-1598. Kondisi tersebut dibiarkan selama 250 tahun. Nah, tahun 1865 baru deh orang Korea kembali membangun Istana Gyeongbok seperti aslinya (renovasi). Namun, saat invasi Jepang datang lagi ke Korea tahun 1910 sebagian besar dari 200 bangunan istana dihancurkan kembali oleh imperialis Jepang, hingga tersisa hanya beberapa bangunan. Yah..begitulah efek destruktif penjajahan.
Kalo ngomongin sejarah emang gak ada habisnya. Sebenarnya saya masih mau ceritain sejarah Istana Gyeongbok dan jelasin beberapa bangunannya, tapi kalo diceritain semuanya durasinya bisa kayak film India. So, sampai di sini aja yah tentang Istana Gyeongboknya.
*Ket. Photo: Saya di Istana Gyeongbok.
Sabtu, 05 September 2009
Catatan Perjalanan di Negeri Ginseng, Korea Selatan (3)

Berkunjung ke luar negeri, belum afdol rasanya jika belum merasakan makanan khas negara tersebut. Belum dapat taste-nya kalo kata sebuah iklan. Meskipun pernah merasakan makanan Korea di Indonesia, tetapi rasaya beda banget kalo makan di negara asalnya. Buatan asli emang selalu lebih punya greget.
Kali ini kayaknya saya bakal kayak Bondan Winarso, menjelaskan makanan kuliner, tapi tanpa ada embel-embel “Ma’nyos!” he..he.. Dari sekian makanan Korea yang ada, yang paling terkenal adalah kimchi. Bisa dibilang kimchi adalah makanan wajib yang harus ada dalam setiap jamuan makanan orang Korea.
Kimchi adalah makanan yang difermentasikan. Bahan dasarnya terdiri dari sawi atau lobak. Sawi dan lobak tersebut dibersihkan terlebih dahulu (ya iyalah masa gak dibersihin), selanjutnya dibaluri garam dan bumbu cabe yang sudah disiapkan. Setelah itu disimpan dalam guci dan dikubur di dalam tanah selama beberapa hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Proses pembuatannya persis seperti dalam drama Jewel in the palace: Dae Jang-Geum. Kalo yang pernah nonton tuh drama pasti tahu.
Bagaimana dengan rasanya? Em...pertama kali saya makan kimchi saya berkata seperti ini, “Yang bener aja..! Orang Korea makan makanan kaya gini tiap hari?” Bisa Anda tebak kesan pertama makan kimchi. “Ada juga ternyata makanan kaya gini!?”
Bukannya apa-apa, rasanya yang super asam-asam pedas begitu meresap saat gigitan pertama (udah mulai nih saya berlaga kayak Pak Bondan). Silahkan kapan-kapan coba dan mungkin Anda juga akan berkata sama seperti saya, “Yang bener aja..! Orang Korea makan makanan kaya gini tiap hari?” dengan improvisasi kata-kata sendiri mungkin.
Kimchi biasanya dihidangkan bersama nasi, sup, dan saus. Saus yang terkenal adalah saus “jang”. Saya tidak tahu kenapa sausnya bernama “jang”. Apakah karena orang yang pertama buat adalah pria atau orang Korea turunan Sunda (Ujang maksudnya)? Entah apalah itu saya tidak tahu. Orang Korea juga sering menggunakan bumbu seperti daun bawang dan bawang putih dalam setiap makanan.
Katanya nih, saat musim panas sebagian orang Korea (tidak semua loh) keringatnya beraroma kimchi. Biasanya sering tercium dari tubuh kaum pria. Konon karena saking seringnya makan kimchi. Betulkah itu? Saat saya di sana, saya bisa katakan kabar itu benar adanya. Bayangkan saudara-saudara gimana aroma asam-asam pedas tercium dari tubuh seorang manusia? Ho..ho..
Kali ini kayaknya saya bakal kayak Bondan Winarso, menjelaskan makanan kuliner, tapi tanpa ada embel-embel “Ma’nyos!” he..he.. Dari sekian makanan Korea yang ada, yang paling terkenal adalah kimchi. Bisa dibilang kimchi adalah makanan wajib yang harus ada dalam setiap jamuan makanan orang Korea.
Kimchi adalah makanan yang difermentasikan. Bahan dasarnya terdiri dari sawi atau lobak. Sawi dan lobak tersebut dibersihkan terlebih dahulu (ya iyalah masa gak dibersihin), selanjutnya dibaluri garam dan bumbu cabe yang sudah disiapkan. Setelah itu disimpan dalam guci dan dikubur di dalam tanah selama beberapa hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Proses pembuatannya persis seperti dalam drama Jewel in the palace: Dae Jang-Geum. Kalo yang pernah nonton tuh drama pasti tahu.
Bagaimana dengan rasanya? Em...pertama kali saya makan kimchi saya berkata seperti ini, “Yang bener aja..! Orang Korea makan makanan kaya gini tiap hari?” Bisa Anda tebak kesan pertama makan kimchi. “Ada juga ternyata makanan kaya gini!?”
Bukannya apa-apa, rasanya yang super asam-asam pedas begitu meresap saat gigitan pertama (udah mulai nih saya berlaga kayak Pak Bondan). Silahkan kapan-kapan coba dan mungkin Anda juga akan berkata sama seperti saya, “Yang bener aja..! Orang Korea makan makanan kaya gini tiap hari?” dengan improvisasi kata-kata sendiri mungkin.
Kimchi biasanya dihidangkan bersama nasi, sup, dan saus. Saus yang terkenal adalah saus “jang”. Saya tidak tahu kenapa sausnya bernama “jang”. Apakah karena orang yang pertama buat adalah pria atau orang Korea turunan Sunda (Ujang maksudnya)? Entah apalah itu saya tidak tahu. Orang Korea juga sering menggunakan bumbu seperti daun bawang dan bawang putih dalam setiap makanan.
Katanya nih, saat musim panas sebagian orang Korea (tidak semua loh) keringatnya beraroma kimchi. Biasanya sering tercium dari tubuh kaum pria. Konon karena saking seringnya makan kimchi. Betulkah itu? Saat saya di sana, saya bisa katakan kabar itu benar adanya. Bayangkan saudara-saudara gimana aroma asam-asam pedas tercium dari tubuh seorang manusia? Ho..ho..
Jumat, 28 Agustus 2009
Catatan Perjalanan di Negeri Ginseng, Korea Selatan (2)

Salah satu unsur dari tujuh budaya universal adalah sistem religi atau kepercayaan. Berbicara mengenai religi (agama), terbersit dalam pikiran adalah apa sih mayoritas agama atau kepercayaan yang dianut orang Korea? Menurut kabar dan data nih, mayoritas orang Korea adalah menganut kepercayaan Confuissisme.
Nah, gimana dengan Islam di Korea? Apa ada orang Islam di sana? Jawabannya tentu ada donk..., hanya saja jumlahnya sedikit. Agama Islam memang menjadi minoritas di Korea. Orang Korea yang beragama Islam diperkirakan sebanyak 45.000 jiwa. Kalo ada orang Islam, masjidnya juga ada donk? So pasti... Don’t worry! Alhamdulillah...
Kurang-lebih sebanyak 7 masjid ada di negara berjuluk setenang pagi ini. Keberadaanya tersebar di berbagai kota. Nah, kali ini saya hanya bakal ngejelasin salah satu masjid yang terbesar dan tertua di Korea. Adalah Masjid Raya Seoul satu-satunya masjid yang ada di ibu kota Korea, Seoul. Masjid yang dibangun sekitar tahun 1976 ini terletak di daerah Itaewon, Seoul.
Itaewon terkenal dengan pusat komunitas muslim di Korea. Tak heran, kita gampang nyari orang Indonesia di sana. Makanan khas Indonesia kayak nasi goreng dan yang halal banyak dijual di daerah ini. Hanya saja harganya yang cukup mahal. Wajar aja, nyari makanan halal di Korea susahnya minta ampun, jadi sekali ada tentu harganya selangit.
Saat hari jumat, Masjid Raya Seoul banyak dikunjungi untuk shalat jumat. Orang yang datang ke masjid berasal dari Seoul dan sekitarnya. Apalagi saat bulan Ramadhan, banyak orang yang ngabuburit di masjid ini. Menurut kenalan saya, orang Indonesia yang kerja di KBS (Korean Broadcasting System) Korea, masjid ini selalu ramai saat sahur dan buka puasa. Kebiasaan orang mengaji dan i’tikaf di masjid seperti di Indonesia ternyata masih bisa ditemui di sana.
Alhamdulillah, kita yang tinggal di Indonesia notabene negara terbanyak penduduk muslimnya sepatutnya bersyukur karena keberadaan masjid begitu pabalatak (banyak). Jaraknya pun dekat dan bisa didatengi dengan hanya berjalan kaki. Tinggal gimana kita bisa mensyukuri hal tersebut dengan selalu mendatangi masjid untuk shalat berjamaah (terutama pria). Jangan kalah sama muslim di Korea yang jumlah masjidnya sedikit (di Ibu kotanya hanya ada satu) bahkan harus menempuh perjalanan satu jam, tetap semangat beribadah pergi ke masjid. Hayya alasholah....!
Minggu, 23 Agustus 2009
Catatan Perjalanan di Negeri Ginseng, Korea Selatan (1)

“Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu,” begitulah Arai berucap dalam novel ketiga Andrea Hirata—Endensor. Berawal dari mimpi, saya mendapat kesempatan untuk bisa menginjakkan kaki dan berpetualang di Korea Selatan. Negara yang pada tahun 1950 adalah salah satu negara termiskin di dunia. Ekonominya hancur akibat penjajahan Jepang dan Perang Korea. Sekarang, berubah cepat menjadi salah satu negara yang paling kaya dan tercanggih di dunia dengan nilai ekonomi trilyunan dollar (Semoga Indonesia bisa mengikuti jejak. AMIN).
Saya pernah bermimpi (baca: bertekad) bahwa suatu saat saya harus bisa menginjakkan kaki di negeri orang. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT mimpi tersebut menjadi kenyataan saat masih duduk di bangku kuliah semester dua. Saya terpilih menjadi duta bangsa Indonesia untuk berpartisipasi dalam acara Youth Camp For Asia’s Future 2009. Program tahunan yang diselenggarakan Pemerintah Korea Selatan, mengundang pemuda se-Asia untuk berdiskusi mengenai Asia, saling memperkenalkan budaya negara masing-masing, mengenal pariwisata, dan budaya Korea selama dua minggu.
Berkenalan
Tak kenal, maka tak sayang. Bagaimana mau sayang kalau kita belum kenal. Bagaimana mau mendoakan kalau belum kenal. Berkenalan, hal yang klasik tapi sangat penting ini begitu memberikan kesan pertama dengan orang yang belum kita kenal sama sekali. Apalagi berkenalan dengan orang yang berbeda bangsa, negara, adat, dan budaya. Tentu menjadi cerita tersendiri.
Seperti berkenalan dengan orang Korea. Jangan heran kalau berkenalan dengan orang Korea. Loh, kenapa? Setelah memperkenalkan nama, kita akan ditanya umur. “Myeoch sariyeyo?” “Berapa umur Anda?”
Bagi orang Indonesia, menanyakan umur adalah sesuatu yang kurang sopan. “Nih apa sih orang, nanya-nanya umur segala. Mau tau aje,” begitulah kira-kira di Indonesia, orang akan bicara dalam hatinya ketika ditanya umur. Tetapi budaya di Korea, menanyakan umur saat berkenalan adalah penting. Dengan menanyakan umur, mereka bisa mengetahui lawan bicaranya lebih tua atau lebih muda dari mereka.
Orang Korea terkenal dengan orang yang menjunjung tinggi nila-nilai kesopanan (Kalau soal ini, orang Indonesia juga sama. Satuju?). Jika mengetahui lawan bicaranya adalah lebih tua dari mereka, cara bicara dan sikapnya akan sangat sopan. Jika mengetahui lawan bicaranya lebih muda, akan menganggap adik, membimbing, dan memanjakan.
So, kalau suatu saat bertemu dan kenalan dengan orang Korea jangan serta merta marah ditanya umur. Yah, namanya juga beda negara yah pasti beda juga budayanya.
Orang Korea juga mempunyai tingkatan bahasa seperti orang Sunda. Ada bahasa buat sendiri, teman, dan orang yang lebih tua. Seperti dahar, neda, dan tuang di Sunda yang berarti makan. Dahar untuk nonformal, neda untuk diri sendiri, dan tuang untuk orang yang lebih tua. Pola seperti itu juga ada dan diterapkan Korea.
Saya dan orang Korea kayaknya akan selalu aneh dan ketawa jika berkenalan. Ini dikarenakan nama yang saya emban. Nama yang diberikan oleh orang tua saya tercinta dengan harapan bisa menjadi anak yang berguna bagi bangsa dan negara seperti Gubernur Jawa Barat era 1989, ayo siapa yah? (syukur-syukur bisa jadi gubernur suatu saat nanti. AMIN.) dan memberikan cahaya terang seperti fajar menerangi bumi setiap pagi, fajar adalah moment saya lahir ke dunia. Itulah Yogi Achmad Fajar. Tak heran, ucapan William Shakespeare yang menyatakan apalah artinya sebuah nama tidak berlaku pada mayoritas masyarakat Indonesia. Maaf, sedikit cerita asal usul dan arti nama saya.
Kembali ke topik pembahasan, nama saya (Yogi) ternyata dalam bahasa Korea berarti “di sini”. Maka, setiap saya memperkenalkan diri “Je ireumeun Yogi imnida.” “Nama saya Yogi”. Respon mereka akan seperti ini, “Yogi? Yogi?” Di sini? Di sini?” sambil diiringi senyum dan kadang tertawa kecil. “Nama kamu lucu dan gampang diingat,” ucap salah seorang teman Korea saya.
Oleh karena itu, saya menjadi orang yang GRan (Gede Rasa) di Korea. Bagaimana tidak, setiap orang serasa memanggil nama saya. Padahal kenal saya juga tidak.he,,he,, “Yogi..yogi...”
Bagaimana dengan Anda? Sudahkah mengecek nama Anda dalam bahasa Korea? Siapa tahu suatu saat dapat rezeki pergi ke Korea dan berkenalan dengan orang sana Anda bisa bersiap diri. AMIN. Keep dreaming!!!!
Jumat, 17 Juli 2009
Minggu, 26 April 2009
Setelah Kejadian Itu
Setelah Kejadian Itu....
Ah, ke mana saja saya ini? Sudah lama tidak berkontemplasi untuk sekedar mengeluarkan sebuah sampah yang ada di otak untuk dimuat di blog ini. Kawan, sudah pernah saya bilang, kan? lebih baik menulis jadi sampah daripada tidak menulis jadi sampah di pikiran. Yah, mudah-mudahan saja tidak sekedar menjadi sampah yang dibuang begitu saja. Harapannya, meskipun tetap menjadi sampah bisa didaur ulang dan berguna untuk kawan-kawan semua. Kawan pasti bisa, jelas karena saya yakin Kawan adalah orang-orang yang cerdas, makannya berkunjung ke blog saya ini. Betul kan? Anggungkan kepala Kawan jika saya benar! Terima kasih!
Ini berawal dari peristiwa awal bulan April lalu yang membuat saya sempat vakum untuk memposting sebuah tulisan di blog ini. Sudah Kawan ketahui bahwa saya mengikuti sebuah lomba blog selama empat bulan terakhir ini. Saya ikut lomba blog yang bertajuk Black Blog Competition yang diikuti oleh 441 peserta se-Indonesia. Jika belum tahu, Kawan sudah tahu sekarang, kan? Barusan saya beritahu. Hi..hi.. Aduh..maaf yah saya jadi sedikit bercanda. Biar hidup sedikit lebih enjoy gitu.
Begini, pengumuman hasil lomba tanggal 13 April lalu menyatakan bahwa nama saya Yogi Achmad Fajar tidak terpampang sebagai juara 3, 2, ataupun 1. Saya sempat melihat-lihat hasil pengumuman sampai 20 kali, tetapi tetap saja hasilnya sama, bukan nama saya yang tercantum sebagai juara. Inilah kelakuan orang yang berharap ada keajaiban dengan melihat berkali-kali sampai namanya ada sebagai juara, padahal sesuatu yang tidak mungkin terjadi—Don’t try this at home! Sedihkah saya? Pertama, saya akui, IYA. Itulah salah satu faktor yang membuat saya sempat tidak menulis di blog sampai akhirnya saya menulis lagi sekarang ini. Dipikir-pikir untuk apa saya melakukan hal kekanak-kanakan membiarkan potensi menulis saya terabaikan—terlepas dari ada-tidaknya inspirasi dalam menulis. Seharusnya saya tetap fight mengahadapi kenyataan. Mungkin ini pelajaran bahwa saya harus mengasah lagi kemampuan menulis saya, banyak bertanya, dan berlatih. Terlontarlah sebuah kalimat dari saya waktu itu, “Saya bukannya TIDAK MENANG, tetapi BELUM MENANG.”
Pemenang adalah orang yang tidak pernah menyerah dan selalu bangkit tatkala ia mengalami jatuh. Pemenang adalah orang yang menjadikan kekalahan sebagai pelajaran yang berharga untuk meraih kemenangan yang tertunda. Pemenang adalah tidak pernah berkata TIDAK MENANG, tetapi selalu berkata BELUM MENANG ketika menghadapi kekalahan. Itulah pemenang sejati.
Lantas, apa yang saya lakukan saat vakum menulis itu—akibat pernah down. Tentunya saya masih membuka blog dan hanya melihat apakah ada komentar pada shout mix atau kolom komentar tulisan. Salah satu kegiatan yang membuat saya bersemangat menulis lagi di blog adalah chatting dengan juara 1 lomba blog yang saya ikuti, namanya Ariel—nama panggilannya. Secara sengaja dan niat, saya melihat blognya(www.ikomumm.blogspot.com). Saya menganalisis bagaimanakah tampilan blog dan isi blog sang Jawara itu. Pelajaran untuk kita semua, belajarlah dari orang yang menjadi juara, supaya bisa termotivasi.
Saat itu kebetulan icon YMnya berstatus online, dengan tidak berpikir dua kali saya langsung chatting dengan Ariel. Alhamdulillah, Ariel orangnya baik dan bersedia menularkan ilmunya kepada saya, terutama tentang desain grafis. Saya akui, dia HEBAT dan TOP BGT tentang desain grafis dan lay out. Terlihat dari desain blognya yang cool. Sebuah skill yang belum saya maksimalkan. Sungguh mengasyikan chatting dengan Ariel.
Banyak ilmu yang saya dapat dari Ariel demi kemajuan blog saya. Kami berdua pun saling menganalisis tentang mengapa Ariel bisa menang dalam lomba blog itu. Tidak luput pula kami saling mengomentari blog satu sama lain. Ariel sempat sedikit merendah bahwa tulisan saya jauh lebih bagus daripada dia. Bahkan, dia ingin belajar menulis yang baik seperti saya. Saya jadi bersyukur saat itu. Saya baru sadar bahwa ada orang yang mengapresiasi tulisan saya dengan komentar yang bagus seperti Ariel. Thanks Riel! Tulisan saya belum seberapa, Kamu malah yang jauh lebih ahli dalam urusan blog daripada saya. Setelah kurang lebih satu jam chatting dengan Ariel, akhirnya saya mengetahui apa-apa yang harus saya koreksi dan tambahkan dalam blog saya bila ada lomba lagi. Harapannya, tentu saja memenangi lomba. Sekali lagi, arigato, gomawoyo, thanks, nuhun Riel atas sarannya.
Soal Alamat Blog
Begitulah Kawan, saat tidak ngeblog, alhamdulillah masih bisa melakukan aktivitas yang menurut saya masih bisa menambah ilmu seperti chatting dengan Ariel. Sebuah refleksi bagi blog saya yang alamatnya(www.gie-insanmuttaqin.blogspot.com) ingin saya ganti. Sedikit berbicara mengenai alamat blog saya ini yang sudah berumur 1 tahun 6 bulan ini. Ibarat bayi, lagi lutu-lutunya dan masih nenen. Begitupun blog saya ini, masih kurang pengalaman dan masih butuh “nenen” banyak berbagai ilmu.
Alamat blog saya yang saya namai ketika awal membuat blog, terasa berat bagi saya. Bukan tanpa alasan, setelah nick name saya (baca: gie) selanjutnya ada terusan insanmuttaqin. Inilah yang saya anggap berat. Jika diartikan adalah “gie orang yang bertakwa”. Kesan pertama adalah adanya ketakutan dalam diri saya, nantinya muncul asumsi pengunjung yang mengunjungi blog saya ini bahwa saya adalah orang yang SOK ALIM. Kedua, jika asumsi itu memang ada dalam beberapa benak pengunjung (mudah-mudahan tidak ada), maka sangat keliru. Saya tidak bermaksud utuk SOK, SOMBONG, atau apalah itu. Saya juga masih perlu banyak belajar tentang agama dan masih jauh dari ranah ketakwan yang paripurna. Masih banyak melakukan dosa, dosa, dosa, dan dosa. Bermaksud klarifikasi—bisa dikatakan demikan—dalam kesempatan ini saya ingin menceritakan sejarah proses penamaan alamat blog saya. Singkat saja, SMA saya dulu SMA Al Muttaqin. Jadi, untuk menunjukkan saya anak SMA itu maka saya kasih embel-embel insanmuttaqin. Begitu!
InsyaAllah, jika saya punya rezeki, saya akan ganti alamat blog saya ini dan berganti domainnya menjadi .com tanpa ada embel-mbel blogspot-nya juga. Doakan saya yah Kawan!
Ah, ke mana saja saya ini? Sudah lama tidak berkontemplasi untuk sekedar mengeluarkan sebuah sampah yang ada di otak untuk dimuat di blog ini. Kawan, sudah pernah saya bilang, kan? lebih baik menulis jadi sampah daripada tidak menulis jadi sampah di pikiran. Yah, mudah-mudahan saja tidak sekedar menjadi sampah yang dibuang begitu saja. Harapannya, meskipun tetap menjadi sampah bisa didaur ulang dan berguna untuk kawan-kawan semua. Kawan pasti bisa, jelas karena saya yakin Kawan adalah orang-orang yang cerdas, makannya berkunjung ke blog saya ini. Betul kan? Anggungkan kepala Kawan jika saya benar! Terima kasih!
Ini berawal dari peristiwa awal bulan April lalu yang membuat saya sempat vakum untuk memposting sebuah tulisan di blog ini. Sudah Kawan ketahui bahwa saya mengikuti sebuah lomba blog selama empat bulan terakhir ini. Saya ikut lomba blog yang bertajuk Black Blog Competition yang diikuti oleh 441 peserta se-Indonesia. Jika belum tahu, Kawan sudah tahu sekarang, kan? Barusan saya beritahu. Hi..hi.. Aduh..maaf yah saya jadi sedikit bercanda. Biar hidup sedikit lebih enjoy gitu.
Begini, pengumuman hasil lomba tanggal 13 April lalu menyatakan bahwa nama saya Yogi Achmad Fajar tidak terpampang sebagai juara 3, 2, ataupun 1. Saya sempat melihat-lihat hasil pengumuman sampai 20 kali, tetapi tetap saja hasilnya sama, bukan nama saya yang tercantum sebagai juara. Inilah kelakuan orang yang berharap ada keajaiban dengan melihat berkali-kali sampai namanya ada sebagai juara, padahal sesuatu yang tidak mungkin terjadi—Don’t try this at home! Sedihkah saya? Pertama, saya akui, IYA. Itulah salah satu faktor yang membuat saya sempat tidak menulis di blog sampai akhirnya saya menulis lagi sekarang ini. Dipikir-pikir untuk apa saya melakukan hal kekanak-kanakan membiarkan potensi menulis saya terabaikan—terlepas dari ada-tidaknya inspirasi dalam menulis. Seharusnya saya tetap fight mengahadapi kenyataan. Mungkin ini pelajaran bahwa saya harus mengasah lagi kemampuan menulis saya, banyak bertanya, dan berlatih. Terlontarlah sebuah kalimat dari saya waktu itu, “Saya bukannya TIDAK MENANG, tetapi BELUM MENANG.”
Pemenang adalah orang yang tidak pernah menyerah dan selalu bangkit tatkala ia mengalami jatuh. Pemenang adalah orang yang menjadikan kekalahan sebagai pelajaran yang berharga untuk meraih kemenangan yang tertunda. Pemenang adalah tidak pernah berkata TIDAK MENANG, tetapi selalu berkata BELUM MENANG ketika menghadapi kekalahan. Itulah pemenang sejati.
Lantas, apa yang saya lakukan saat vakum menulis itu—akibat pernah down. Tentunya saya masih membuka blog dan hanya melihat apakah ada komentar pada shout mix atau kolom komentar tulisan. Salah satu kegiatan yang membuat saya bersemangat menulis lagi di blog adalah chatting dengan juara 1 lomba blog yang saya ikuti, namanya Ariel—nama panggilannya. Secara sengaja dan niat, saya melihat blognya(www.ikomumm.blogspot.com). Saya menganalisis bagaimanakah tampilan blog dan isi blog sang Jawara itu. Pelajaran untuk kita semua, belajarlah dari orang yang menjadi juara, supaya bisa termotivasi.
Saat itu kebetulan icon YMnya berstatus online, dengan tidak berpikir dua kali saya langsung chatting dengan Ariel. Alhamdulillah, Ariel orangnya baik dan bersedia menularkan ilmunya kepada saya, terutama tentang desain grafis. Saya akui, dia HEBAT dan TOP BGT tentang desain grafis dan lay out. Terlihat dari desain blognya yang cool. Sebuah skill yang belum saya maksimalkan. Sungguh mengasyikan chatting dengan Ariel.
Banyak ilmu yang saya dapat dari Ariel demi kemajuan blog saya. Kami berdua pun saling menganalisis tentang mengapa Ariel bisa menang dalam lomba blog itu. Tidak luput pula kami saling mengomentari blog satu sama lain. Ariel sempat sedikit merendah bahwa tulisan saya jauh lebih bagus daripada dia. Bahkan, dia ingin belajar menulis yang baik seperti saya. Saya jadi bersyukur saat itu. Saya baru sadar bahwa ada orang yang mengapresiasi tulisan saya dengan komentar yang bagus seperti Ariel. Thanks Riel! Tulisan saya belum seberapa, Kamu malah yang jauh lebih ahli dalam urusan blog daripada saya. Setelah kurang lebih satu jam chatting dengan Ariel, akhirnya saya mengetahui apa-apa yang harus saya koreksi dan tambahkan dalam blog saya bila ada lomba lagi. Harapannya, tentu saja memenangi lomba. Sekali lagi, arigato, gomawoyo, thanks, nuhun Riel atas sarannya.
Soal Alamat Blog
Begitulah Kawan, saat tidak ngeblog, alhamdulillah masih bisa melakukan aktivitas yang menurut saya masih bisa menambah ilmu seperti chatting dengan Ariel. Sebuah refleksi bagi blog saya yang alamatnya(www.gie-insanmuttaqin.blogspot.com) ingin saya ganti. Sedikit berbicara mengenai alamat blog saya ini yang sudah berumur 1 tahun 6 bulan ini. Ibarat bayi, lagi lutu-lutunya dan masih nenen. Begitupun blog saya ini, masih kurang pengalaman dan masih butuh “nenen” banyak berbagai ilmu.
Alamat blog saya yang saya namai ketika awal membuat blog, terasa berat bagi saya. Bukan tanpa alasan, setelah nick name saya (baca: gie) selanjutnya ada terusan insanmuttaqin. Inilah yang saya anggap berat. Jika diartikan adalah “gie orang yang bertakwa”. Kesan pertama adalah adanya ketakutan dalam diri saya, nantinya muncul asumsi pengunjung yang mengunjungi blog saya ini bahwa saya adalah orang yang SOK ALIM. Kedua, jika asumsi itu memang ada dalam beberapa benak pengunjung (mudah-mudahan tidak ada), maka sangat keliru. Saya tidak bermaksud utuk SOK, SOMBONG, atau apalah itu. Saya juga masih perlu banyak belajar tentang agama dan masih jauh dari ranah ketakwan yang paripurna. Masih banyak melakukan dosa, dosa, dosa, dan dosa. Bermaksud klarifikasi—bisa dikatakan demikan—dalam kesempatan ini saya ingin menceritakan sejarah proses penamaan alamat blog saya. Singkat saja, SMA saya dulu SMA Al Muttaqin. Jadi, untuk menunjukkan saya anak SMA itu maka saya kasih embel-embel insanmuttaqin. Begitu!
InsyaAllah, jika saya punya rezeki, saya akan ganti alamat blog saya ini dan berganti domainnya menjadi .com tanpa ada embel-mbel blogspot-nya juga. Doakan saya yah Kawan!
Kamis, 02 April 2009
Gerbang Global, Studi Di Negeri Kincir Angin
Gerbang Global, Studi Di Negeri Kincir Angin

Sebagai seorang calon pemimpin masa depan bagi negara kita tercinta Republik Indonesia, kita—saya dan anda yang masih berstatus sebagai seorang pelajar dan mahasiswa—harus melakukan “investasi” besar-besaran dari sekarang. Investasi berupa kompetensi-kompetensi unggul yang akan menjadi modal kita sebagai pemimpin di masa depan yang begitu kompleks.
Tantangan masa depan mulai terasa oleh kita saat ini. Kata “global” dan “globalisasi” menjadi keywords yang selalu muncul dalam tema peradaban. Seiring dengan globalisasi, seiring itu pula mau tidak mau kita mesti berpikir global. Kita dituntut untuk menempatkan diri tidak hanya melihat pada tataran lokal saja, tetapi juga pada tataran global.
Salah satu cara untuk mengejawantahkan wacana tersebut adalah dengan kita menempuh pendidikan (baca: kuliah) di luar negeri. Orientasi kuliah di luar negeri adalah harapan bagi siapa saja yang memiliki semangat keilmuan dan mewujudkan memiliki komunitas global sebagai salah satu kompetensi yang mesti dimiliki calon pemimpin masa depan. Harapan saya dan anda juga, bukan?
Berbicara soal kuliah di luar negeri, Belanda adalah tujuan yang tepat untuk merealisasikannya. Bukan tanpa alasan saya mengatakan tepat karena negara yang terkenal akan damnya ini memiliki keunggulan tersendiri jika kita menempuh pendidikan di sana.
Belanda yang memiliki julukan negara kincir angin ini menjadi magnet tersendiri bagi para pelajar Indonesia untuk menempuh pendidikan di sana. Tidak sedikit teman-teman pelajar Indonesia yang kuliah di sana. Terhitung sebanyak 500 mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Belanda tahun 2008 (NESO). Bahkan, sejarah mencatat sang Proklamator negara kita Mohammad Hatta pernah menempuh pendidikan di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam, Belanda tahun 1921.
Belanda yang multikultur
Belanda adalah negara di benua Eropa yang terkenal karena penduduknya tidak hanya asli orang Belanda saja, tetapi juga banyak penduduk dari berbagai penjuru dunia yang tinggal di sana—kebanyakan mereka sedang menempuh pendidikan. Hal itulah yang membuat Belanda menjadi negara yang multikultur.
Keunggulan Belanda sebagai negara multikultur merupakan kesempatan yang besar bagi kita untuk berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai negara lain yang tentunya memiliki perbedaan latar belakang, historis, adat, sifat, ideologi, dan bahasa. Tinjauan sosiologi, bahwasannya seseorang yang berada di sebuah kawasan di mana terdiri dari orang-orang yang berbeda adat, bahasa, suku, dan bangsa akan menjadikan seseorang tersebut memiliki kedewasaan, pola pikir yang jauh ke depan, dan lebih toleran.
Kuliah di Belanda, kita tidak hanya mendapat ilmu semata dari perkuliahan, tetapi juga wawasan yang luas lewat pergaulan dengan orang-orang dari negara lain. Kita akan mengetahui bagaimana karakteristik dan pemikiran orang Belanda, mengetahui bagaimana cara menghadapi orang Inggris, menghadapi orang Jerman, dan pastinya mengetahui pola pikir orang-orang dari belahan penjuru negara lain. Pembelajaran tentang psikologis orang asing pun akan kita dapatkan.
Berkontribusi
Letak geografis Belanda yang strategis di tengah benua Eropa menjadikan negara yang memiliki sistem pemerintahan monarki konstitusional ini menjadi akses poin berbagai negara Eropa lainnya untuk melakukan sebuah interaksi satu sama lain. Indikasi untuk membentuk komunitas global pun semakin terbuka lebar. Sesuatu yang sarat pengalaman dan mendapat jejaring internasional akan kita dapatkan tatkala bisa masuk dalam komunitas tersebut.
Banyak hal yang bisa kita lakukan dengan komunitas global ini. Salah satunya adalah ikut berpikir dan memberikan gagasan-gagasan segar terhadap isu-isu yang sedang melanda dunia internasional. Contohnya isu yang sedang headline dan populer dewasa ini seperti global warming. Dengan isu tersebut, komunitas global yang terdiri dari orang-orang dari berbagai negara tentu saja—termasuk kita—bisa sharing dan berbagi argumen untuk memecahkan masalah tersebut.
Lebih lanjut, kita bisa menjadikan komunitas global tersebut menjadi sebuah komunitas yang lebih terorganisasi. Kita bisa menjadikan komunitas global menjadi sebuah organisasi, perhimpunan pelajar antarnegara misalnya. Dengan lebih terorganisasi, maka eksistensi dan tujuannya pun menjadi lebih terarah. Isu global warming tadi misalnya, kontribusi yang nanti diberikan oleh komunitas global tidak hanya dalam bentuk sebuah gagasan saja, tetapi juga bisa memberikan kontribusi berupa aksi nyata di lapangan seperti mengkampanyekan, mensosialisasikan, memberi contoh hidup hemat, dan hal lain yang bisa dilakukan. Kita yang mempunyai rencana (plan), kita juga yang merealisasikannya (action plan).
Betapa indahnya jika kita yang masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa bisa berkontribusi bagi umat manusia di muka bumi ini. Kita bisa berbuat sesuatu yang bermanfaat bersama orang-orang dari penjuru negara lain, saling berbagi pengetahuan, dan belajar untuk saling menghormati satu sama lain.
Impian tersebut bisa terwujud salah satu caranya adalah dengan kita menempuh studi di Belanda. Negara yang memberikan kesempatan bagi kita untuk masuk dalam sebuah komunitas yang luas dan mendunia. Memberikan kesempatan bagi kita untuk membuka mata dan hati bahwa kita bisa berkontribusi nyata bagi umat manusia di seluruh dunia.

Sebagai seorang calon pemimpin masa depan bagi negara kita tercinta Republik Indonesia, kita—saya dan anda yang masih berstatus sebagai seorang pelajar dan mahasiswa—harus melakukan “investasi” besar-besaran dari sekarang. Investasi berupa kompetensi-kompetensi unggul yang akan menjadi modal kita sebagai pemimpin di masa depan yang begitu kompleks.
Tantangan masa depan mulai terasa oleh kita saat ini. Kata “global” dan “globalisasi” menjadi keywords yang selalu muncul dalam tema peradaban. Seiring dengan globalisasi, seiring itu pula mau tidak mau kita mesti berpikir global. Kita dituntut untuk menempatkan diri tidak hanya melihat pada tataran lokal saja, tetapi juga pada tataran global.
Salah satu cara untuk mengejawantahkan wacana tersebut adalah dengan kita menempuh pendidikan (baca: kuliah) di luar negeri. Orientasi kuliah di luar negeri adalah harapan bagi siapa saja yang memiliki semangat keilmuan dan mewujudkan memiliki komunitas global sebagai salah satu kompetensi yang mesti dimiliki calon pemimpin masa depan. Harapan saya dan anda juga, bukan?
Berbicara soal kuliah di luar negeri, Belanda adalah tujuan yang tepat untuk merealisasikannya. Bukan tanpa alasan saya mengatakan tepat karena negara yang terkenal akan damnya ini memiliki keunggulan tersendiri jika kita menempuh pendidikan di sana.
Belanda yang memiliki julukan negara kincir angin ini menjadi magnet tersendiri bagi para pelajar Indonesia untuk menempuh pendidikan di sana. Tidak sedikit teman-teman pelajar Indonesia yang kuliah di sana. Terhitung sebanyak 500 mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Belanda tahun 2008 (NESO). Bahkan, sejarah mencatat sang Proklamator negara kita Mohammad Hatta pernah menempuh pendidikan di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam, Belanda tahun 1921.
Belanda yang multikultur
Belanda adalah negara di benua Eropa yang terkenal karena penduduknya tidak hanya asli orang Belanda saja, tetapi juga banyak penduduk dari berbagai penjuru dunia yang tinggal di sana—kebanyakan mereka sedang menempuh pendidikan. Hal itulah yang membuat Belanda menjadi negara yang multikultur.
Keunggulan Belanda sebagai negara multikultur merupakan kesempatan yang besar bagi kita untuk berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai negara lain yang tentunya memiliki perbedaan latar belakang, historis, adat, sifat, ideologi, dan bahasa. Tinjauan sosiologi, bahwasannya seseorang yang berada di sebuah kawasan di mana terdiri dari orang-orang yang berbeda adat, bahasa, suku, dan bangsa akan menjadikan seseorang tersebut memiliki kedewasaan, pola pikir yang jauh ke depan, dan lebih toleran.
Kuliah di Belanda, kita tidak hanya mendapat ilmu semata dari perkuliahan, tetapi juga wawasan yang luas lewat pergaulan dengan orang-orang dari negara lain. Kita akan mengetahui bagaimana karakteristik dan pemikiran orang Belanda, mengetahui bagaimana cara menghadapi orang Inggris, menghadapi orang Jerman, dan pastinya mengetahui pola pikir orang-orang dari belahan penjuru negara lain. Pembelajaran tentang psikologis orang asing pun akan kita dapatkan.
Berkontribusi
Letak geografis Belanda yang strategis di tengah benua Eropa menjadikan negara yang memiliki sistem pemerintahan monarki konstitusional ini menjadi akses poin berbagai negara Eropa lainnya untuk melakukan sebuah interaksi satu sama lain. Indikasi untuk membentuk komunitas global pun semakin terbuka lebar. Sesuatu yang sarat pengalaman dan mendapat jejaring internasional akan kita dapatkan tatkala bisa masuk dalam komunitas tersebut.
Banyak hal yang bisa kita lakukan dengan komunitas global ini. Salah satunya adalah ikut berpikir dan memberikan gagasan-gagasan segar terhadap isu-isu yang sedang melanda dunia internasional. Contohnya isu yang sedang headline dan populer dewasa ini seperti global warming. Dengan isu tersebut, komunitas global yang terdiri dari orang-orang dari berbagai negara tentu saja—termasuk kita—bisa sharing dan berbagi argumen untuk memecahkan masalah tersebut.
Lebih lanjut, kita bisa menjadikan komunitas global tersebut menjadi sebuah komunitas yang lebih terorganisasi. Kita bisa menjadikan komunitas global menjadi sebuah organisasi, perhimpunan pelajar antarnegara misalnya. Dengan lebih terorganisasi, maka eksistensi dan tujuannya pun menjadi lebih terarah. Isu global warming tadi misalnya, kontribusi yang nanti diberikan oleh komunitas global tidak hanya dalam bentuk sebuah gagasan saja, tetapi juga bisa memberikan kontribusi berupa aksi nyata di lapangan seperti mengkampanyekan, mensosialisasikan, memberi contoh hidup hemat, dan hal lain yang bisa dilakukan. Kita yang mempunyai rencana (plan), kita juga yang merealisasikannya (action plan).
Betapa indahnya jika kita yang masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa bisa berkontribusi bagi umat manusia di muka bumi ini. Kita bisa berbuat sesuatu yang bermanfaat bersama orang-orang dari penjuru negara lain, saling berbagi pengetahuan, dan belajar untuk saling menghormati satu sama lain.
Impian tersebut bisa terwujud salah satu caranya adalah dengan kita menempuh studi di Belanda. Negara yang memberikan kesempatan bagi kita untuk masuk dalam sebuah komunitas yang luas dan mendunia. Memberikan kesempatan bagi kita untuk membuka mata dan hati bahwa kita bisa berkontribusi nyata bagi umat manusia di seluruh dunia.
Kamis, 26 Maret 2009
Gap Dalam Percaturan Politik
Gap Dalam Percaturan Politik
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia disuguhi sebuah perbendaharaan kata yang baru. Perbendaharaan kata (baca: istilah) yang terlontar dari para politisi yang sedang getol-getolnya berkampanye. Memang, di samping membuat keuntungan yang melimpah bagi para pengrajin seperti pengrajin yang membuat famplet, stiker, dan sablon karena banyak orderan, pemilu juga membuat orang menjadi pintar membuat istilah-istilah.
Jika anda terus mengikuti alur konstelasi perpolitikan dan berita tentang pemilu negara kita tercinta Indonesia, maka pasti akan mengetahui istilah “Segitiga Emas” (Golden Triangle) dan “Jembatan Emas” (Golden Bridge Politics). Saat saya pertama mengetahui istilah ini, saya kira sebuah judul film atau judul buku. Ternyata, sebuah nama kubu-kubu politik yang sedang membuat peta persaingan.
“Segitiga emas” adalah istilah yang dicetuskan oleh tiga partai politik (PDIP, PPP, dan P. Golkar) yang dimotori oleh partai oposisi yakni PDIP. Seakan tidak mau ketinggalan dan kalah saing, kubu status quo yang notabene partai yang sedang memerintah mencetuskan istilah “Jembatan Emas”. Adalah Anas Urbaningrum selaku Ketua DPP PD yang mencetuskan istilah tersebut. Saya pun masih belum tahu jelas apa yang menjadi tujuan dengan hadirnya kubu-kubu ini.
Apapun tujuannya, istilah yang baru ini menurut saya sedikit lebih berkelas daripada istilah yang dulu-dulu seperti, “yoyo” dan “gasing” yang sempat mencuat dan memanas. Setidaknya, kali ini kedua kubu menggunakan kata “emas” (golden) yang identik dengan konotasi yang baik seperti, kemajuan, kebahagiaan, kejayaan, dan kemakmuran. Semoga saja kedua-duanya bisa merealisasikannya bukan sekedar “apalah artinya sebuah nama” seperti kata William Shakespeare.
Hakikat Manusia
Melihat tingkah laku para politisi kita yang kerjaannya tidak jauh dari saling menghujat satu sama lain, membuat geng (kubu) masing-masing, dan merasa paling benar, tidak jauh seperti halnya anak-anak sekolahan. Bukan Black In News yang baru lagi, anak sekolahan sukanya adalah bergerombol, membentuk geng, dan aktivitas lain yang menunjukkan adanya gap.
Tidak hanya anak sekolahan, semua kalangan pun—termasuk politisi—akan menjalani hidup dengan adanya sebuah perbedaan dan berimbas kepada adanya gap. Sudah menjadi kehendak Tuhan bahwa hakikat manusia lahir berbeda-beda, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa. Setiap manusia lahir dengan berbagai perbedaan yang ada, bahkan seorang yang kembar identik pun akan terdapat perbedaan.
Lantas, apakah perbedaan itu hanya akan menjadikan adanya gap di antara sesama manusia? Tentu tidak hanya itu saja, perbedaan adalah anugerah dan rahmat yang diberikan Tuhan. Dengan perbedaan kita bisa saling mengenal, memahami, menghargai, dan saling melengkapi. Perbedaan itu indah, bisa kita bayangkan jika wajah kita hanya terdiri dari satu pancaindera saja hidung misalnya, keindahan pun tidak akan terlihat. Pluralitas adalah indah seindah berbagai macam bunga yang menyatu seikat menjadi rangkaian berbagai macam bunga yang indah.
Hadirnya perbedaan juga menjadi kekayaan inovasi dan ide bagi kehidupan. Contohnya bisa dilihat dalam sebuah ajang modifikasi mobil seperti Autoblackthrough dan modifikasi motor seperti Djarum Black Motodify. Karena adanya perbedaan, selera, dan ide dari para peserta modifikator, kita bisa melihat karya-karya unik dan menarik yang memiliki kelebihan masing-masing.
Efek Konstruktif
Baiknya para politisi menyikapi perbedaan yang ada menjadi sebuah keunggulan dan kekayaan yang dimiliki bangsa. Sehingga, jangan salah menyikapi dengan menganggap orang yang berbeda visi, partai, ideologi, dan perbedaan lainnya adalah sebagai musuh.
Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah tujuan dari para elite partai (semoga niatnya masih seperti itu), karena niatnya sudah sama sehingga tidak ada kata selain saling mengisi dan membangun bersama dengan tidak melihat perbedaan yang ada. Utamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan sentimen pribadi, kelompok, dan partai adalah hal yang mesti dilakukan.
Perbedaan dan adanya gap tidak bisa dihilangkan karena itu adalah sifat alami manusia. Namun, seperti yang dibahas di atas bahwa banyak hal yang berbuah positif dari perbedaan. Sosiologi menyatakan bahwa ada sebuah dampak konstruktif (membangun) dari perbedaan dan fenomena konflik. Efek yang membangun dan memberikan kedewasaan bagi masing-masing yang berkonflik untuk memetik hikmah dan pelajaran untuk kemajuan bersama.
Jika para politisi belum bisa bersikap dewasa dan menemukan esensi dari makna pluralitas itu sendiri, saya hanya bisa kembali berkomentar, “Apa bedanya dengan anak sekolahan!” Anak sekolahan yang mayoritas mengartikan perbedaan dan gap dengan membuat geng yang tindak lanjutnya bisa mengarah kepada tawuran.
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia disuguhi sebuah perbendaharaan kata yang baru. Perbendaharaan kata (baca: istilah) yang terlontar dari para politisi yang sedang getol-getolnya berkampanye. Memang, di samping membuat keuntungan yang melimpah bagi para pengrajin seperti pengrajin yang membuat famplet, stiker, dan sablon karena banyak orderan, pemilu juga membuat orang menjadi pintar membuat istilah-istilah.
Jika anda terus mengikuti alur konstelasi perpolitikan dan berita tentang pemilu negara kita tercinta Indonesia, maka pasti akan mengetahui istilah “Segitiga Emas” (Golden Triangle) dan “Jembatan Emas” (Golden Bridge Politics). Saat saya pertama mengetahui istilah ini, saya kira sebuah judul film atau judul buku. Ternyata, sebuah nama kubu-kubu politik yang sedang membuat peta persaingan.
“Segitiga emas” adalah istilah yang dicetuskan oleh tiga partai politik (PDIP, PPP, dan P. Golkar) yang dimotori oleh partai oposisi yakni PDIP. Seakan tidak mau ketinggalan dan kalah saing, kubu status quo yang notabene partai yang sedang memerintah mencetuskan istilah “Jembatan Emas”. Adalah Anas Urbaningrum selaku Ketua DPP PD yang mencetuskan istilah tersebut. Saya pun masih belum tahu jelas apa yang menjadi tujuan dengan hadirnya kubu-kubu ini.
Apapun tujuannya, istilah yang baru ini menurut saya sedikit lebih berkelas daripada istilah yang dulu-dulu seperti, “yoyo” dan “gasing” yang sempat mencuat dan memanas. Setidaknya, kali ini kedua kubu menggunakan kata “emas” (golden) yang identik dengan konotasi yang baik seperti, kemajuan, kebahagiaan, kejayaan, dan kemakmuran. Semoga saja kedua-duanya bisa merealisasikannya bukan sekedar “apalah artinya sebuah nama” seperti kata William Shakespeare.
Hakikat Manusia
Melihat tingkah laku para politisi kita yang kerjaannya tidak jauh dari saling menghujat satu sama lain, membuat geng (kubu) masing-masing, dan merasa paling benar, tidak jauh seperti halnya anak-anak sekolahan. Bukan Black In News yang baru lagi, anak sekolahan sukanya adalah bergerombol, membentuk geng, dan aktivitas lain yang menunjukkan adanya gap.
Tidak hanya anak sekolahan, semua kalangan pun—termasuk politisi—akan menjalani hidup dengan adanya sebuah perbedaan dan berimbas kepada adanya gap. Sudah menjadi kehendak Tuhan bahwa hakikat manusia lahir berbeda-beda, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa. Setiap manusia lahir dengan berbagai perbedaan yang ada, bahkan seorang yang kembar identik pun akan terdapat perbedaan.
Lantas, apakah perbedaan itu hanya akan menjadikan adanya gap di antara sesama manusia? Tentu tidak hanya itu saja, perbedaan adalah anugerah dan rahmat yang diberikan Tuhan. Dengan perbedaan kita bisa saling mengenal, memahami, menghargai, dan saling melengkapi. Perbedaan itu indah, bisa kita bayangkan jika wajah kita hanya terdiri dari satu pancaindera saja hidung misalnya, keindahan pun tidak akan terlihat. Pluralitas adalah indah seindah berbagai macam bunga yang menyatu seikat menjadi rangkaian berbagai macam bunga yang indah.
Hadirnya perbedaan juga menjadi kekayaan inovasi dan ide bagi kehidupan. Contohnya bisa dilihat dalam sebuah ajang modifikasi mobil seperti Autoblackthrough dan modifikasi motor seperti Djarum Black Motodify. Karena adanya perbedaan, selera, dan ide dari para peserta modifikator, kita bisa melihat karya-karya unik dan menarik yang memiliki kelebihan masing-masing.
Efek Konstruktif
Baiknya para politisi menyikapi perbedaan yang ada menjadi sebuah keunggulan dan kekayaan yang dimiliki bangsa. Sehingga, jangan salah menyikapi dengan menganggap orang yang berbeda visi, partai, ideologi, dan perbedaan lainnya adalah sebagai musuh.
Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah tujuan dari para elite partai (semoga niatnya masih seperti itu), karena niatnya sudah sama sehingga tidak ada kata selain saling mengisi dan membangun bersama dengan tidak melihat perbedaan yang ada. Utamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan sentimen pribadi, kelompok, dan partai adalah hal yang mesti dilakukan.
Perbedaan dan adanya gap tidak bisa dihilangkan karena itu adalah sifat alami manusia. Namun, seperti yang dibahas di atas bahwa banyak hal yang berbuah positif dari perbedaan. Sosiologi menyatakan bahwa ada sebuah dampak konstruktif (membangun) dari perbedaan dan fenomena konflik. Efek yang membangun dan memberikan kedewasaan bagi masing-masing yang berkonflik untuk memetik hikmah dan pelajaran untuk kemajuan bersama.
Jika para politisi belum bisa bersikap dewasa dan menemukan esensi dari makna pluralitas itu sendiri, saya hanya bisa kembali berkomentar, “Apa bedanya dengan anak sekolahan!” Anak sekolahan yang mayoritas mengartikan perbedaan dan gap dengan membuat geng yang tindak lanjutnya bisa mengarah kepada tawuran.
Rabu, 18 Maret 2009
Catatan Seorang Jurnalis
Catatan Seorang Jurnalis
Rapat tema hari Sabtu (14/3) menyeret nama saya dan rekan saya Nindi dari Fakultas Ekonomi untuk menulis Rubrik cover edisi 163 Bul Pos. Hak istimewa sang pemred Bul Pos, Dina Maretihaq Sari yang cantik dan kadang gokil ini lah saat rapat tema menunjuk saya dan Nindi untuk menjadi reporter rubrik cover—rubrik yang banyak diinginkan reporter Bul Pos dan bergengsi di Bul Pos.
Di tengah kesibukkan kuliah yang super padat dan membuat lelah otak dan fisik, alhamdulillah masih ada tenaga yang tersisa untuk reportase. Tentunya masih bisa pula think black seperti jargon iklan Djarum Black. Hari Selasa, saya kuliah dari jam tujuh pagi sampai jam satu siang. Selasa siang setelah kuliah (17/3) adalah giliran saya melakukan reportase sendirian, karena hari Senin (16/3) rekan saya Nindi telah reportase terlebih dahulu. Di samping itu, hari Selasa Nindi mendapat jadwal kuliah yang lebih "gila" lagi dari saya, yakni dari jam delapan pagi sampai jam enam sore.
Rubrik Cover edisi 163 memberitakan tentang sebuah rumah sakit hewan UGM yang baru. Saya dan Nindi mengambil angle tentang bagaimana latar belakang, fungsi, pokoknya segala tetek bengek dari rumah sakit hewan tersebut. Intinya berita yang dihasilkan nanti berupa straight news (berita langsung).
Singkat cerita saya berada di RSH tersebut. Alhamdulillah, saya bisa bertemu langsung dengan kepala rumah sakit hewan tersebut di sana, namanya Prof. Dr. drh. Ida Tjahajati, MP.
Kepala RSH itu begitu ramah, welcome, dan terbuka saat saya wawancarai. Saking asiknya, wawancara memakan waktu satu jam lebih. Segala informasi tentang RSH itu sudah memenuhi outline yang saya buat, bahkan mungkin informasi yang didapat kelebihan. Uniknya, selama wawancara, Prof. Ida juga curhat dan bercerita tentang dirinya selama masih menjadi mahasiswa.
Entah kenapa, saat itu saya merasa nyaman mewawancarai kepala RSH tersebut. Dan mungkin Prof. Ida juga merasa nyaman diwawancarai oleh saya. Bukan tanpa alasan saya berasumsi seperti itu, karena bisa terlihat dari raut mukanya yang berseri-seri dan sampai hati curhat kepada saya. Sesuatu yang jarang terjadi saat saya mewawancarai seorang narasumber.
Sekedar Black In News saja, rupanya Prof. Ida lahir pada tanggal 28 Desember. Tanggal lahir yang hampir sama dengan saya, yakni 27 Desember. Mungkin karena sama-sama lahir pada bulan Desember membuat saya dan Prof. Ida menjadi nyambung dan nyaman saat berkomunikasi. Entahlah, apakah akseptabilitas asumsi itu dapat diterima atau tidak.
Setelah reportase di RSH, saya dan Nindi bertemu di salah satu tempat makan di bilangan Kopma (Koperasi Mahasiswa) UGM ba’da magrib untuk menyelesaikan berita tersebut. Karena deadline besok harinya, hari Rabu (18/3). Sesuai dugaan saya, saking banyaknya informasi yang didapat membuat saya dan Nindi bingung. Bingung mau menulis dari mana awalnya. Tapi saya mesti bersyukur, sebagai seorang jurnalis lebih baik kelebihan informasi daripada kekurangan informasi.
Saya dan Nindi akhirnya menyelesaikan tulisan Selasa malam itu juga. Melihat jam di HP Nokia 2300 saya ternyata sudah jam 11 malam. Anehnya, rasa lelah saya tidak terasa dan justru saya merasa mendapat sari pati jiwa seorang jurnalis. Yah, seorang yang bekerja tak kenal waktu dan selalu dinamis. Meskipun begitu, saya ingin melakukannya lagi, lagi, dan lagi.
Ucapan Dahlan Iskan
Saat tanggal 9 Februari kemarin, dalam rangka memperingati hari Pers Nasional sebuah program talk show terkenal di TV swasta menghadirkan tamu-tamu yang berkompeten di bidang jurnalistik. Salah satunya adalah Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos—salah satu perusahaan media terbesar yang ada di Indonesia.
Saat itu, pembawa acara bertanya kepada Dahlan Iskan tentang bagaimana kiat Dahlan Iskan bisa berkecimpung di dunia jurnalistik dan menjadi orang yang sukses di bidang tersebut. Saya sangat termotivasi dengan jawaban yang dilontarkan Dahlan Iskan.
"Yah...karena saya cinta dan suka pada bidang ini. Karena cinta dan suka, maka saya sungguh-sungguh total, belajar dan belajar terus menerus. Alhamdulillah hasilnya pun bisa terasa sekarang," jawab Dahlan Iskan. Intisari yang bisa saya ambil dari jawaban inspiratif tersebut adalah kecintaan, totalitas dan kemauan untuk terus belajar dan belajar. Bidang apapun itu, selama dijalankan dengan totalitas dan tidak ada kata selain terus belajar, menggali, dan mencari berkenaan dengan ilmunya, niscaya hasilnya pun akan maksimal.
Rapat tema hari Sabtu (14/3) menyeret nama saya dan rekan saya Nindi dari Fakultas Ekonomi untuk menulis Rubrik cover edisi 163 Bul Pos. Hak istimewa sang pemred Bul Pos, Dina Maretihaq Sari yang cantik dan kadang gokil ini lah saat rapat tema menunjuk saya dan Nindi untuk menjadi reporter rubrik cover—rubrik yang banyak diinginkan reporter Bul Pos dan bergengsi di Bul Pos.
Di tengah kesibukkan kuliah yang super padat dan membuat lelah otak dan fisik, alhamdulillah masih ada tenaga yang tersisa untuk reportase. Tentunya masih bisa pula think black seperti jargon iklan Djarum Black. Hari Selasa, saya kuliah dari jam tujuh pagi sampai jam satu siang. Selasa siang setelah kuliah (17/3) adalah giliran saya melakukan reportase sendirian, karena hari Senin (16/3) rekan saya Nindi telah reportase terlebih dahulu. Di samping itu, hari Selasa Nindi mendapat jadwal kuliah yang lebih "gila" lagi dari saya, yakni dari jam delapan pagi sampai jam enam sore.
Rubrik Cover edisi 163 memberitakan tentang sebuah rumah sakit hewan UGM yang baru. Saya dan Nindi mengambil angle tentang bagaimana latar belakang, fungsi, pokoknya segala tetek bengek dari rumah sakit hewan tersebut. Intinya berita yang dihasilkan nanti berupa straight news (berita langsung).
Singkat cerita saya berada di RSH tersebut. Alhamdulillah, saya bisa bertemu langsung dengan kepala rumah sakit hewan tersebut di sana, namanya Prof. Dr. drh. Ida Tjahajati, MP.
Kepala RSH itu begitu ramah, welcome, dan terbuka saat saya wawancarai. Saking asiknya, wawancara memakan waktu satu jam lebih. Segala informasi tentang RSH itu sudah memenuhi outline yang saya buat, bahkan mungkin informasi yang didapat kelebihan. Uniknya, selama wawancara, Prof. Ida juga curhat dan bercerita tentang dirinya selama masih menjadi mahasiswa.
Entah kenapa, saat itu saya merasa nyaman mewawancarai kepala RSH tersebut. Dan mungkin Prof. Ida juga merasa nyaman diwawancarai oleh saya. Bukan tanpa alasan saya berasumsi seperti itu, karena bisa terlihat dari raut mukanya yang berseri-seri dan sampai hati curhat kepada saya. Sesuatu yang jarang terjadi saat saya mewawancarai seorang narasumber.
Sekedar Black In News saja, rupanya Prof. Ida lahir pada tanggal 28 Desember. Tanggal lahir yang hampir sama dengan saya, yakni 27 Desember. Mungkin karena sama-sama lahir pada bulan Desember membuat saya dan Prof. Ida menjadi nyambung dan nyaman saat berkomunikasi. Entahlah, apakah akseptabilitas asumsi itu dapat diterima atau tidak.
Setelah reportase di RSH, saya dan Nindi bertemu di salah satu tempat makan di bilangan Kopma (Koperasi Mahasiswa) UGM ba’da magrib untuk menyelesaikan berita tersebut. Karena deadline besok harinya, hari Rabu (18/3). Sesuai dugaan saya, saking banyaknya informasi yang didapat membuat saya dan Nindi bingung. Bingung mau menulis dari mana awalnya. Tapi saya mesti bersyukur, sebagai seorang jurnalis lebih baik kelebihan informasi daripada kekurangan informasi.
Saya dan Nindi akhirnya menyelesaikan tulisan Selasa malam itu juga. Melihat jam di HP Nokia 2300 saya ternyata sudah jam 11 malam. Anehnya, rasa lelah saya tidak terasa dan justru saya merasa mendapat sari pati jiwa seorang jurnalis. Yah, seorang yang bekerja tak kenal waktu dan selalu dinamis. Meskipun begitu, saya ingin melakukannya lagi, lagi, dan lagi.
Ucapan Dahlan Iskan
Saat tanggal 9 Februari kemarin, dalam rangka memperingati hari Pers Nasional sebuah program talk show terkenal di TV swasta menghadirkan tamu-tamu yang berkompeten di bidang jurnalistik. Salah satunya adalah Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos—salah satu perusahaan media terbesar yang ada di Indonesia.
Saat itu, pembawa acara bertanya kepada Dahlan Iskan tentang bagaimana kiat Dahlan Iskan bisa berkecimpung di dunia jurnalistik dan menjadi orang yang sukses di bidang tersebut. Saya sangat termotivasi dengan jawaban yang dilontarkan Dahlan Iskan.
"Yah...karena saya cinta dan suka pada bidang ini. Karena cinta dan suka, maka saya sungguh-sungguh total, belajar dan belajar terus menerus. Alhamdulillah hasilnya pun bisa terasa sekarang," jawab Dahlan Iskan. Intisari yang bisa saya ambil dari jawaban inspiratif tersebut adalah kecintaan, totalitas dan kemauan untuk terus belajar dan belajar. Bidang apapun itu, selama dijalankan dengan totalitas dan tidak ada kata selain terus belajar, menggali, dan mencari berkenaan dengan ilmunya, niscaya hasilnya pun akan maksimal.
Selasa, 10 Maret 2009
Realitas Pemilu Indonesia
Realitas Pemilu Indonesia
Wajar bila muncul rasa takut pada masyarakat setiap pemilu—legislatif dan presiden—digelar di negeri yang sudah 10 tahun reformasi ini. Takut jika pemilu yang dilaksanakan hanya menghambur-hamburkan uang negara tanpa ada perubahan dan perbaikan nyata dan dirasa secara signifikan. Memang sedikit klise, namun tetap saja selalu muncul karena memang hasil yang ditampilkan klise pula.
Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja, setelah mendapat apa yang diinginkan yakni kekuasaan, lupa begitu saja seperti terkena amnesia. Kalangan grass root seperti halnya peribahasa "Habis manis sepah dibuang", dimanfaatkan dan dijadikan alat semata oleh orang-orang yang haus kekuasaan demi kekayaan pribadi, setelah itu Lupa tuh! Orang-orang yang duduk di gedung dewan, bukannya memperhatikan dan menyuarakan aspirasi konstituen yang mendukungnya, malah hanya mementingkan urusan perut sendiri dan kepentingan kelompok.
Saya masih teringat akan sebuah ucapan dari almarhum Harry Roesli yang mengingatkan atas posisi kita sebagai rakyat yang sebenarnya. Saat persiapan pemilu 2004 seperti sekarang ini, di salah satu program talk show TV swasta, almarhum dengan gaya humornya berkata, "Gubernur dengan Wakil Gubernur, tinggian mana (jabatannya)? Gubernur kan? Presiden dengan Wakil Presiden? Presiden kan? Nah, Rakyat dengan Wakil Rakyat? Tinggian siapa?" Semua audiens talk show tersebut kontan berfikir sejenak, setelah itu akhirnya tertawa. Adanya respon telmi (baca: lambat) dari audiens pertanda bahwa masyarakat sudah lupa bahwa mereka sebagai rakyat lebih tinggi kedudukannya daripada wakil rakyat. Secara implisit ucapan cerdas yang dikeluarkan Harry Roesli tidak lain menyindir para wakil rakyat yang seharusnya patuh pada apa yang rakyat inginkan. Bukan patuh pada nafsu kekuasaan. Namanya juga wakil rakyat, berarti harus mewakili rakyat untuk menyuarakan aspirasi kesejahteraan rakyat.
Machiavellian
Bukan Black In News dan rahasia umum lagi, para calon anggota dewan dan calon presiden mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk "hajatan" lima tahunan ini. Kocek yang lebih besar dari sekedar memodifikasi mobil seperti di Autoblackthrough. Bukan rahasia umum juga, segala cara dilakukan bahkan menghalalkan segala cara pun ditempuh.
The ends justify the means yang merupakan teori dari seorang Niccolo Machiavelli sudah mendarah daging bagi orang yang haus akan kekuasaan dan kekayaan, khususnya para politisi. Machiavelli adalah seorang pakar politik yang menulis buku II Principe (Sang Pangeran). Dalam bukunya tersebut, Ia mengemukakan teori yang mengajarkan bahwa dalam melaksanakan kekuasaannya seorang raja (pemimpin) tidak perlu menghiraukan kesusilaan dan norma. Berbuat licik, curang bahkan menghalalkan segala cara adalah mesti dilakukan untuk memuluskan eksistensi kekuasaan.
Teori Machiavelli yang mengharuskan seseorang menyatukan kekuatan manusia dan hewan ini menerima hujatan. Tidak saja ketika di masa lalu saat ia masih hidup, sampai sekarang pun ia masih dicerca dan dikutuk semua negara, tokoh-tokoh politik, negarawan, dan masyarakat.
Anehnya, banyak yang mengutuk banyak pula yang mempraktikkan teori tersebut dalam realitas kehidupan. Tampaknya kutukan dan cercaan hanya dalam sebuah konsep belaka. Hampir di semua negara apalagi Indonesia, sadar atau tidak Machiavellian (orang yang menggunakan teori Machiavelli) nyata keberadaanya, seperti para politisi busuk dan pejabat yang menipu rakyat.
Wajar bila muncul rasa takut pada masyarakat setiap pemilu—legislatif dan presiden—digelar di negeri yang sudah 10 tahun reformasi ini. Takut jika pemilu yang dilaksanakan hanya menghambur-hamburkan uang negara tanpa ada perubahan dan perbaikan nyata dan dirasa secara signifikan. Memang sedikit klise, namun tetap saja selalu muncul karena memang hasil yang ditampilkan klise pula.
Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja, setelah mendapat apa yang diinginkan yakni kekuasaan, lupa begitu saja seperti terkena amnesia. Kalangan grass root seperti halnya peribahasa "Habis manis sepah dibuang", dimanfaatkan dan dijadikan alat semata oleh orang-orang yang haus kekuasaan demi kekayaan pribadi, setelah itu Lupa tuh! Orang-orang yang duduk di gedung dewan, bukannya memperhatikan dan menyuarakan aspirasi konstituen yang mendukungnya, malah hanya mementingkan urusan perut sendiri dan kepentingan kelompok.
Saya masih teringat akan sebuah ucapan dari almarhum Harry Roesli yang mengingatkan atas posisi kita sebagai rakyat yang sebenarnya. Saat persiapan pemilu 2004 seperti sekarang ini, di salah satu program talk show TV swasta, almarhum dengan gaya humornya berkata, "Gubernur dengan Wakil Gubernur, tinggian mana (jabatannya)? Gubernur kan? Presiden dengan Wakil Presiden? Presiden kan? Nah, Rakyat dengan Wakil Rakyat? Tinggian siapa?" Semua audiens talk show tersebut kontan berfikir sejenak, setelah itu akhirnya tertawa. Adanya respon telmi (baca: lambat) dari audiens pertanda bahwa masyarakat sudah lupa bahwa mereka sebagai rakyat lebih tinggi kedudukannya daripada wakil rakyat. Secara implisit ucapan cerdas yang dikeluarkan Harry Roesli tidak lain menyindir para wakil rakyat yang seharusnya patuh pada apa yang rakyat inginkan. Bukan patuh pada nafsu kekuasaan. Namanya juga wakil rakyat, berarti harus mewakili rakyat untuk menyuarakan aspirasi kesejahteraan rakyat.
Machiavellian
Bukan Black In News dan rahasia umum lagi, para calon anggota dewan dan calon presiden mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk "hajatan" lima tahunan ini. Kocek yang lebih besar dari sekedar memodifikasi mobil seperti di Autoblackthrough. Bukan rahasia umum juga, segala cara dilakukan bahkan menghalalkan segala cara pun ditempuh.
The ends justify the means yang merupakan teori dari seorang Niccolo Machiavelli sudah mendarah daging bagi orang yang haus akan kekuasaan dan kekayaan, khususnya para politisi. Machiavelli adalah seorang pakar politik yang menulis buku II Principe (Sang Pangeran). Dalam bukunya tersebut, Ia mengemukakan teori yang mengajarkan bahwa dalam melaksanakan kekuasaannya seorang raja (pemimpin) tidak perlu menghiraukan kesusilaan dan norma. Berbuat licik, curang bahkan menghalalkan segala cara adalah mesti dilakukan untuk memuluskan eksistensi kekuasaan.
Teori Machiavelli yang mengharuskan seseorang menyatukan kekuatan manusia dan hewan ini menerima hujatan. Tidak saja ketika di masa lalu saat ia masih hidup, sampai sekarang pun ia masih dicerca dan dikutuk semua negara, tokoh-tokoh politik, negarawan, dan masyarakat.
Anehnya, banyak yang mengutuk banyak pula yang mempraktikkan teori tersebut dalam realitas kehidupan. Tampaknya kutukan dan cercaan hanya dalam sebuah konsep belaka. Hampir di semua negara apalagi Indonesia, sadar atau tidak Machiavellian (orang yang menggunakan teori Machiavelli) nyata keberadaanya, seperti para politisi busuk dan pejabat yang menipu rakyat.
Senin, 09 Maret 2009
Let's Count!
IF
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
=
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
SO
K-N-O-W-L-E-D-G-E
11+14+15+23+12+5+4+7+5=96%
H-A-R-D W-O-R-K
8+1+18+4+23+15+18+11= 98%
A-T-T-I-T-U-D-E
1+20+20+9+20+21+4+5=100%
L-O-V-E O-F G-O-D
12+15+22+5+15+6+7+15+4=101%
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
=
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
SO
K-N-O-W-L-E-D-G-E
11+14+15+23+12+5+4+7+5=96%
H-A-R-D W-O-R-K
8+1+18+4+23+15+18+11= 98%
A-T-T-I-T-U-D-E
1+20+20+9+20+21+4+5=100%
L-O-V-E O-F G-O-D
12+15+22+5+15+6+7+15+4=101%
Minggu, 08 Maret 2009
Budaya Bicara Dalam Komunikasi Politik

Kurang lebih sebulan lagi menuju pertarungan bagi yang akan bertarung di pemilu legislatif. Pemilu yang dilaksanakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD, sebagai proyeksi dari bentuk pemerintahan parlementer. Persiapan dari para calon legislatif (caleg) pun semakin terlihat. Kita bisa melihatnya dari semakin gencar “mendendangkan” platform partai dan dirinya yang paling pantas untuk menjadi wakil rakyat di gedung dewan.
Sayangnya, budaya komunikasi politik di Indonesia mayoritas masih diwarnai dengan bentuk komunikasi nonverbal. Kampanye dilakukan dengan menggunakan teknik melakukan pawai, pemasangan bendera, gambar, baliho, sticker dan famplet seperti Djarum Black dengan event Autoblackthrough atau Blackinnovationawards-nya, semuanya sarat dengan pesan nonverbal. Kita bisa melihat kenyataan itu di lapangan. Sepanjang jalan dan sejauh mata memandang dihiasi dengan ornamen-ornamen kampanye pemilu seperti baliho dan bendera yang bahkan merusak tata keindahan kota. Tidak hanya di jalan, tetapi juga media massa seperti koran, majalah, dan bahkan di dunia maya seperti facebook dihiasi wajah-wajah para caleg.
Kepiawaian komunikasi politik secara verbal adalah sangat penting dibanding nonverbal, seperti pembicaraan. Saking pentingnya pembicaraan, Mark Roeloef menganggap politics is talk (Nimmo, 1993:73). Speech communication adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh para politisi, seperti berdebat, diskusi, berpidato atau bicara di depan khalayak ramai.

Bercermin pada pemilu Amerika Serikat kemarin, kenapa Barrack Obama bisa melenggangkan kaki menuju White House dan mencatat sejarah sebagai Presiden Amerika pertama yang berkulit hitam? Tidak lain, salah satu alasannya karena Obama lihai dalam berkomunikasi lisan. Saat berpidato, semua orang bak tersihir dengan kata-katanya. Gezagh atau kewibawaan muncul setiap kali Obama berpidato, sehingga rakyat Amerika begitu terpesona. Gaya retorikanya yang terstrukur dan terkadang menyentuh ke dalam hati setiap orang yang mendengarkan menjadi keunggulan tersendiri. Obama dengan tagline kampanyenya yang populer “Change, we need. Yes, we can” adalah bukti kepiawaian Obama dan tim sukesnya menggunakan komunikasi politik yang efektif.
Satu lagi peristiwa yang bisa menjadi pelajaran tentang hakikat politik adalah komunikasi (baca: bicara). Turunnya Megawati sebagai Presiden dan gagalnya dalam pentas pemilu presiden 2004 adalah karena kurang kuat citranya dalam berkomunikasi. Minimnya frekuensi berkomunikasi Megawati kepada publik membuat arah pemerintahan tidak cukup jelas dipahami publik. Megawati tidak melakukan komunikasi menyampaikan berbagai kesuksesan yang berhasil dicapainya. Menurut Sunarto Prayitno dosen FISIP UI, banyak hal yang bisa disampaikan atas kinerja pemerintahan Megawati. Contohnya, keberhasilan menjaga kestabilan keamanan dan menciptakan pemilu damai selama masa pemerintahannya (2004).Sayangnya, hal tersebut tidak dilakukannya dulu.
Berbeda dengan Megawati, Presiden Yudhoyono yang notabene status quo sedang giat-giatnya melakukan komunikasi politiknya dengan memaparkan keberhasilan-keberhasilan seperti penurunan harga BBM sampai tiga kali turun yang konon karena jasa pemerintahannya. Presiden Yudhoyono acapkali menyinggung soal keberhasilan pemerintahannya saat berpidato, baik saat pidatonya dalam acara resmi atau di hadapan para rekan media saat press conference.
Lebih Menjual
Memiliki kompetensi berbicara adalah keunggulan yang mesti dimiliki setiap orang terutama politisi. Tidak cukup dengan bahasa nonverbal seperti yang diutarakan sebelumnya. Melalui kompetensi berbicara masyarakat tidak hanya tahu platform, visi, misi dan segala tetek bengek janji tetapi juga gaya ketika berbicara, pilihan padanan kata yang tepat (diksi), intonasi dan bahasa tubuh saat berbicara menjadi salah satu komposisi yang lebih menjual.
Lagi-lagi kita melihat pembelajaran komunikasi politik di Amerika Serikat. Saat Ford dan Jimmy Carter berkompetisi memperebutkan kursi Presiden tahun 1976. Seperti biasa, diadakan debat kandidat antara kedua calon. Sebelum acara debat dimulai, jajak pendapat menunjukkan Ford lebih unggul 11 persen dari Carter. Saat berdebat, Carter menunjukkan penampilan yang memikat. Berbicara dengan menguasai materi, lebih piawai dan menawarkan program-program yang lebih rasional. Alhasil, setelah perdebatan itu, jajak pendapat menunjukkan Ford tertinggal 45 persen di belakang Carter.
Kiranya kompetensi berbicara mesti kita optimalkan dalam diri setiap insan sosial, apalagi bagi para calon wakil rakyat dan calon pemimpin yang akan dipilih langsung oleh rakyatnya. Sehingga kemauan dan kemampuan untuk berkomunikasi, berdialog, memberikan pengertian dan mengambil konsensus yang tepat dalam segala hal bisa dirasa manfaatnya.
Sabtu, 07 Maret 2009
Feel Something Different

Adalah benar ungkapan, "Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang." Mayoritas orang yang sedang merantau—baik ke luar kota atau luar negeri—akan meng-iya-kan ungkapan tersebut. Saya adalah salah seorang yang termasuk dalam mayoritas itu.
Sebagai seorang mahasiswa yang merantau di kota dan provinsi lain, banyak hal yang membuat saya menjalani dinamika kehidupan yang baru di tanah rantau. Mulai dari bagaimana hidup mandiri di kostan, jauhnya perjalanan dari kampung halaman, uang kiriman belum sampai, uang jatah sebulan habis, dan berbagai polemik lainnya yang dialami mahasiswa perantauan. Tentunya akan menjadi Black In News seperti programnya Djarum Black untuk menceritakan pengalaman-pengalaman tersebut kepada keluarga dan teman di kampung halaman.
Saya pun sering mendengar cerita orang yang pernah tinggal merantau di luar negeri tentang bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari. Mereka mengatakan tidak mudah untuk hidup di negeri orang yang segalanya serba berbeda. Senada dengan yang merantau di luar negeri, di dalam negeri pun orang yang merantau ke luar kota yang berbeda, menjalani hidup tidak semudah seperti di kampung halaman.
Bisa dipahami, tinggal di negeri orang yang berbeda bahasa, budaya dan lingkungan membuat orang yang merantau harus beradaptasi, seperti kata pepatah "Di mana langit dipijak, di situ langit dijungjung." Saya teringat cerita salah seorang dosen saya tentang pengalaman studinya di luar negeri. "Kata siapa hidup di luar negeri itu enak? Mau makan aja susah. Gak makan nasi rasanya belum kenyang. Sehari-hari mesti ngomong dengan bahasa yang bukan bahasa kita. Di mana enaknya?" terangnya.
Merinding
Adakalanya saya merasakan rindu yang sangat kepada kampung halaman. Rindu kepada Ibu dan Ayah serta handai tolan di sana. Tidak dapat dipungkiri, setiap orang yang merantau, contohnya mahasiswa yang merantau demi kuliah seperti saya ini akan mengalami sebuah syndrome home sick. Bawaannya ingin pulang, pulang, pulang dan pulang ke rumah.
Namun, saya menemukan sesuatu yang lain di tanah rantau yang tidak dapat saya temukan dan rasakan di kampung halaman. Salah satunya adalah ketika saya mendengarkan lagu daerah saya, yakni lagu-lagu sunda di tanah rantau.
I feel something different ketika setiap mendengarkan lagu-lagu sunda yang dibawakan oleh Doel Sumbang, Nining Meida, Darso, Yayan Jatnika, Ebith Beat'a, dan artis sunda lainnya. Saya menjadi merinding dan waas (tidak terbayangkan/menakjubkan) saat mendengar lantunan lagu-lagu dari mereka. Seperti lagu tersebut memiliki kekuatan yang berbeda saat didengarkan di tanah rantau. Bahkan pernah, saya terhanyut dan menitikan air mata mendengarkannya. Ada nilai plus tersendiri dan entah apa itu, saya pun tidak tahu. Perasaan yang belum pernah saya rasakan saat berada di kampung halaman. Perasaan akan rindu mungkin. Rindu yang terlampiaskan melalui lantunan lagu.
Jumat, 06 Maret 2009
Refleksi HP

Anda mempunyai Hand Phone (HP)? Saya pastikan 90% masyarakat Indonesia mempunyai alat komunikasi ini. Saya pastikan juga, Anda yang sedang baca blog saya ini mempunyai HP. Anggukan kepala Anda jika jawaban saya benar! Sudah? Terima kasih! Jangan sampai pernyataan yang kurang mengenakkan muncul, "Hari gini gak punya Hand Phone!" Sebuah jargon iklan telepon seluler yang booming ketika itu. Sebuah jargon yang kurang bijak, menurut saya.
Oke, lanjut. Bagi kita (saya dan anda yang punya HP), ketika menelepon tiba-tiba baterai HP sudah minimum dan low bat adalah kondisi yang sangat tidak diinginkan dan tidak mengenakkan. Pernah kan? Menyebalkan? Tentu, apalagi perbincangan yang sedang dibicarakan saat menelepon adalah urgent dan tidak bisa ditunda-tunda. Praktis, HP menjadi hilang kegunaannya, yakni menelepon dan mengirim pesan (SMS) yang menjadi dua fungsi utama.
Kita semua sudah tahu. Sehingga bukan Black In News yang baru, bahwa HP hidup karena ada baterai. Baterai itulah yang menjadi sumber kekuatan (power) untuk bisa menjadikan HP berdaya guna. Namun, kemampuan baterai tidak bertahan lama. Kekuatan baterai hanya sebentar, ada yang kisaran jam dan satu-dua harian. Oleh karena itu, kita mesti rajin-rajin men-charge. Semakin sering, maka akan semakin awet dan bertahan lama. Keep your lights on! kata iklan Blackinnovationawards. Sebaliknya, jarang atau malah tidak pernah di-charge, akan mati tidak berguna.
Tanpa disadari, kita juga seperti HP. Tidak selamanya berada dalam kondisi yang optimal. Sebuah baterai bagi HP layaknya sebuah semangat bagi kita. Setiap kita pasti pernah berada dalam kondisi low bat. Himpitan masalah, baik itu masalah keuangan, pekerjaan, sekolah, kuliah dan seabreg masalah lainnya menjadikan kita seperti HP yang hanya ada ada dua garis baterai yang ada pada layar. Bahkan lebih parahnya lagi, low bat dan mati.
Tidak ada kata selain men-charge kembali semangat kita sebagai jawaban untuk memecahkan masalah yang sedang melanda. Sebagai manusia, ada banyak cara untuk men-charge semangat, tidak seperti HP yang hanya ada satu cara, yakni mencolokkan HP lewat kabel charge ke colokan listrik.
Pertama dan yang utama adalah beribadah kepada Sang Khalik. Berdoa dan mengadu kepadaNya atas segala macam permasalahan. Hati dan pikiran niscaya akan jernih kembali. Sehingga, kita memiliki semangat yang baru dan full seperti HP yang di-charge semalam suntuk. Yakin dan percaya bahwa Tuhan akan membantu. Believe it, Yes We can! Amboy, kita akan merasa hidup kembali.
Masih banyak cara yang lain untuk kita mengisi power semangat. Keluarga dan teman adalah salah satunya di antara sekian banyak lagi yang lainnya. Kita hidup tidak sendiri. We’re not alone friend!
Bukan hidup namanya jika tidak ada masalah-masalah yang siap menemui di depan kita. Karena, kita hidup untuk menghadapi masalah. Badai pasti berlalu seperti kata lagu. Masalah pasti ada akhirnya. Mari kita isi terus semangat dengan sering-sering di-charge. Jangan sampai low bat atau malah mati, tidak bisa dipakai lagi seperti HP yang di-lem biru (Lempar Beli Baru).
Selasa, 03 Maret 2009
Hidup Adalah Pertanyaan

"Udah sarjana, mau ngapain?"
"Suka nonton Black In News? Siapa yang bakal menang di Autoblackthrough 2009? Gabung di Black Car Community?" Dipikir-pikir, hidup kita ini diselimuti dan dihantui oleh pertanyaan. Pertanyaan yang dilayangkan oleh orang tentunya. Khususnya dari orang-orang terdekat: keluarga, teman dan guru. Kadang, kita juga suka bertanya pada diri sendiri. Ada beberapa pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Bahkan, ada pertanyaan yang jawabannya dijawab setelah beberapa tahun kemudian.
Coba kita review. Kita mulai saja posisi kita saat jadi siswa SMP. Memasuki kelas 3, pertanyaan mulai berdatangan. "Mau masuk mana, SMK, MA atau SMA?" Pilihan antara kejuruan, madrasah atau sekolah umum. Sudah memilih pun, ada pertanyaan selanjutnya, "Negeri atau swasta?"
Sekarang, posisi kita saat sudah jadi siswa menengah atas, SMA misalnya. Memasuki akhir kelas satu dan akan penjurusan. "Eh, mau masuk mana, IPA atau IPS?" Saat SMA, pertanyaan agak sensitif pun selalu muncul. "Sudah punya pacar belum? Sudah berapa kali pacaran? Atau malah belum pernah?" Jangan heran ketika SMA pertanyaan tentang virus merah jambu menjadi warna-warni kehidupan SMA. SMA adalah masa remaja, yang katanya masa paling indah.
Kelas 3 SMA, masa dag dig dug derr. Bagaimana tidak, bisa dibilang masa penetuan nasib seseorang. Masa dihadapkan dengan berbagai ujian, seperti UN dan masuk perguruan tinggi (bagi yang melanjutkan kulah). Ragam pertanyaan pun datang, "Persiapan apa yang sudah dilakukan untuk menghadapi UN? Ikutan les atau bimbel gak?" Kadang pertanyaan muncul dari diri sendiri, "Apakah saya bisa lulus dan memenuhi standar minimal kelulusan?"
Bila yang akan melanjutkan kuliah, "Mau kuliah di mana? Daftar di mana aja? Milih jurusan apa?" Setelah diterima dan menjadi mahasiswa, "Aktif di mana? BEM atau apa?" Kemudian tentang akademik, "IP semester kemaren berapa? Dapet beasiswa gak?"
Setelah cukup lama jadi mahasiswa, yah kira-kira 3-4 tahunan. Pertanyaannya, "Kapan wisuda?" Sesudah wisuda, "Udah wisuda, mau ngapain? Kerja? Atau lanjut S2?" Selanjutnya, "Kapan nikah?" Sudah nikah, "Kapan punya anak?"
Selanjutnya, bisa tanyakan kepada diri anda sendiri, "Pertanyaan apa selanjutnya?"
Senin, 02 Maret 2009
Filosofi Sebutir Nasi

Pesan dari orang tua—apalagi Ibu—memang sangat memberikan pembelajaran bagi kita untuk menghadapi kehidupan yang keras ini. Setiap orang tua pastinya memberikan nasihat dan pesan yang berharga untuk anak-anaknya. Tanda kasih dan sayangnya kepada anak-anaknya agar anaknya bisa sukses, berguna bagi negara dan menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Bersyukurlah bagi kita yang masih diberi petuah oleh orang tua.
Tidak terkecuali dengan kedua orang tua saya. Ibu dan Ayah saya tidak pernah lelah mengeluarkan petuah-petuah berharga. Meskipun kadang, anak-anaknya tidak mendengarkan dan menggubris. Namun tetap saja, tidak ada kata menyerah bagi mereka. Ibuku tersayang khususnya, Ibu selalu memberikan nasihat-nasihat kepada anak-anaknya, apalagi saya yang notabene anak bungsu.
Ada salah satu ucapan dan nasihat Ibu yang masih terngiang-ngiang sampai sekarang dan benar-benar dikerjakan oleh saya. Nasihat ini terlontar dari Ibu saat saya masih kecil.
Nasihatnya kurang lebih seperti ini, "Gie, mun emam sangu teh seepkeun dugi ka remeh-remehna. Sing limit. Eta teh pibeunghareun sareng anu ngaduakeun urang beunghar! (Gie, kalau makan nasi, habiskan sampai butir-butir nasinya. Sampai habis gak ada sisa. Itu yang membuat kaya dan yang mendoakan kita menjadi kaya!)" Nasihat tersebut sudah tak terhitung berapa kali disampaikan kepada saya, sampai saya hafal. Soalnya, saat saya masih anak ingusan, saya tidak selalu mengabiskan makanan yang saya makan.
Dasar anak kecil, saat itu saya hanya bisa ngangguk-ngangguk dan sempat merasa aneh atas nasihat Ibu, "Masa sebutir nasi bisa membuat kita jadi kaya?" tanya saya kepada diri sendiri. Meskipun begitu, saya tetap menuruti apa kata Ibu untuk menghabiskan makanan sampai tidak ada sisa sebutir nasi pun.
Kaya Akan Makna
Tidak serta merta Ibu saya ketika itu mengeluarkan pernyataan tentang sebutir nasi tanpa ada makna dan filosofinya. Saya hanya bisa berkata, "Subhanallah, jadi ini maksud nasihat Ibu itu," saat mengetahui apa maksud dari pernyataan itu. Saya menyadarinya saat beranjak dewasa. Seiring dengan perkembangan usia, kedewasaan dan pola pikir pun berubah.
Ternyata, Ibu memberikan pelajaran kepada saya untuk tidak menyepelekan hal-hal yang kecil. Karena, sesuatu yang besar dimulai dari yang kecil. Hal yang kecil jika disepelekan bisa berimbas kurang baik bagi hal yang besar. Hal yang kecil adalah fondasi fundamental dari hal-hal yang besar. Jika hal yang kecil saja tidak disikapi dengan baik dan serius, bagaimana menyikapi hal yang besar?
Itu juga yang menjadi alasan, mengapa Ibu mengakhiri nasihat tersebut dengan kalimat Itu yang membuat kaya dan mendoakan kita menjadi kaya. Orang kaya adalah orang yang tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan dan menyepelekan segala hal sampai hal yang terkecil.
Nasihat itu pula mengajarkan saya untuk lebih bersyukur atas rezeki yang Tuhan berikan. Masih banyak orang di sekeliling kita yang untuk mendapat sesuap nasi saja sulitnya minta ampun. Akan sangat mubazir dan tidak sopan bagi saya untuk tidak menghabiskan makanan. Kasarnya, orang lain susah payah cari makan, kita yang diberi rezeki lebih malah menyia-nyiakannya.
Ibu telah banyak mengajari saya tentang arti hidup ini, termasuk dengan memberi nasihat saat makan. Peristiwa apapun bisa memberikan pembelajaran hidup. Seperti peristiwa ketika kita makan, bisa menjadi cermin sikap kita dalam menghadapi hidup ini. Thanks Mom!
Tulisan ini ditulis setelah makan di warung nasi dekat kostan. Let’s write anything! Write it down! Keep Black In News on my blog! Think Black for Blackinnovationawards!
Minggu, 01 Maret 2009
Tulisan Awal Bulan

Awal, baik itu tahun, bulan, atau hari biasanya identik dengan semangat baru. Awal tahun dirayakan kedatangannya dengan perayaan tahun baru saat tanggal 1 Januari se-antero penjuru dunia. Bagi pegawai, guru, dan orang yang berpenghasilan dari gaji, awal bulan adalah bak orang yang sedang pacaran didatangi sang kekasih tercinta. Begitu indahnya! Apalagi jika ada Black In News gajinya dinaikkan, makin indah!
1 Maret 2009 ini sedikit berarti bagi saya. Dikarenakan, jarang-jarang menulis saat awal bulan. Alhamdulillah, ada semangat yang menggebu-gebu akhir-akhir ini untuk menulis. Salah satunya, karena mengikuti event yang diadakan Djarum Black dengan Black Blog Competitionnya. Ini adalah sebuah tantangan bagi saya untuk kreatif dan peka terhadap sesuatu. Pernah saya utarakan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, dengan diadakan sebuah lomba menulis, seperti lomba blog, memberikan stimulus orang untuk rajin menulis.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan seterusnya. Menandakan umur kita semakin berkurang. Baiknya, awal bulan seperti ini kita mengevaluasi apa yang telah dilakukan sebulan ke belakang. Sehingga sisi buruk dari kita bisa dikurangi bahkan dihilangkan. Sebaliknya, sisi baik dari kita bisa lebih ditingkatkan. Karakter manusia yang paripurna pun bisa terwujud dari dalam diri kita.
Selanjutnya yang bisa dilakukan saat awal bulan adalah planning. Merencanakan sesuatu ke depan adalah sangat diperlukan. Analoginya orang yang akan bepergian. Akan menjadi tidak jelas dan sia-sisa, jika tidak direncanakan akan berpergian ke mana, mau apa, dan akan melakukan apa di sana. Dengan arah dan tujuan yang jelas, maka dengan segenap pikiran dan tenaga berusaha untuk bisa mewujudkan rencana itu. Jadi, tidak hanya buat planning saja tetapi juga action plan. Mari berencana dan melaksanakan rencana itu! Yuuukkk!
Sabtu, 28 Februari 2009
Menahan Ego
Seseorang yang aktif dalam sebuah organisasi sudah pasti akan berhubungan dengan hal yang satu ini. Sebuah kegiatan yang menjadi ciri khas anak-anak yang terjun dalam organisasi—wadah penyaluran bakat dan eksistensi. Organisasi apapun itu, OSIS dan MPK di sekolah, maupun BEM dan UKM di kuliahan. Kegiatan apalagi kalau bukan rapat.
Menurut kamus bahasa Indonesia, rapat artinya musyawarah, tak renggang. Sesuai dengan arti leksikalnya, rapat bertujuan untuk lebih merapatkan diri dan menjadi dekat, baik pribadi maupun organisasi dari setiap orang yang menjadi anggota rapat tersebut. Mencari solusi atas permasalahan yang ada dengan mendengar pendapat setiap anggota ketika rapat tak luput dari substansi efektivitas rapat.
Bersyukur, saat SMA saya pernah aktif di berbagai organisasi kesiswaan. OSIS, MPK, dan jurnalistik pernah saya ikuti. Banyak pengalaman yang saya dapat dari sana. Termasuk pengalaman ketika rapat. Sudah tak terhitung berapa kali rapat yang saya ikuti ketika SMA. Mulai dari rapat membuat program kerja, anggaran, evaluasi, dan berbagai jenis rapat lainnya.
Bagi saya, ada beberapa pembelajaran yang bisa diambil dari kegiatan rapat. Pelajaran tentang leadership, kemampuan retorika, administratif, bagaimana cara mengemukakan pendapat dengan tidak menyinggung orang lain, dan banyak lagi. Pembelajaran yang tidak bisa didapat di kelas. Inilah yang disebut soft skill.
Tidak mudah menyatukan gagasan dan ide dari berbagai orang yang berbeda latar belakang, sudut pandang, dan berbagai faktor lainnya. Itulah yang menjadi dinamika saat rapat. Kita dituntut untuk bisa menahan rasa ego masing-masing. Merasa benar atas gagasan sendiri dan menjatuhkan gagasan orang hal yang mesti dihindari. Sikap yang benar adalah dengan menyikapinya dengan arif. Black In News saja, dengan adanya sebuah perbedaan dan pembaruran tersebut, proses pendewasaan, problem solving, dan manajemen stress bisa dirasa manfaatnya.
Perbedaan mesti kita pandang sebagai yang mendukung kreatifitas, bukan sebaliknya. Makin banyak gagasan yang muncul dari setiap orang yang berbeda, makin banyak pula hal yang bisa menghasilkan sesuatu yang kreatif dan inovatif. Semakin inovatif semakin berpeluang mendapat Blackinnovationawards.
Jumat, 27 Februari 2009
Reuni, Ajang Mempererat Silaturahmi
Desember 2008 kemarin saya bertemu dengan teman-teman masa ingusan saya—teman semasa SD. Reuni orang bilang. Reuni diadakan di salah seorang rumah teman. Senang sekali saya bisa bertemu lagi dengan mereka setelah beberapa tahun tidak bertemu.
Namun sangat disayangkan, tidak semua teman-teman bisa hadir. Hanya belasan orang yang bisa hadir. Yang lainnya tidak bisa datang karena ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan. Di samping itu karena acaranya pun mendadak, sehingga banyak teman yang lain tidak tahu. Benar adanya, Black In News atau kabar berita sebagai jaringan komunikasi sangat diperlukan untuk mengabarkan adanya reuni. Bahan evaluasi untuk acara reuni selanjutnya.
Bisa anda bayangkan bertemu teman yang sudah beberapa tahun (kisaran 7 tahun) tak jumpa bertemu kembali? Pastinya rasa kangen terlampiaskan. Bernostalgia bersama mengenang masa-masa kecil dulu. Bercerita tentang kekonyolan-kekonyolan yang pernah dilakukan, dan bla..bla..bla. Semua hal tersebut pun saya lakukan saat reuni itu. Mengingat momen-momen indah bersama saat masa mengenal, “Ini Budi. Ini Ibu Budi,” ha..ha...
Perubahan-perubahan bisa terlihat dari setiap orang. Karena seiring dengan tambahnya usia, pengalaman, dan lingkungan yang baru membuat setiap orang berubah. Tidak terkecuali teman-teman masa SD dan saya juga tentunya. Baik fisik maupun nonfisik. Ada yang ketika SD subur, namun sekarang langsing, seperti Djarum Black Slimz. Ada yang dulunya tidak suka ngeband, sekarang jadi tukang band. Ada yang dulunya jarang membaca dan menulis, sekarang jadi suka membaca dan menulis. Ada yang dulunya pendek, sekarang tinggi menjulang. Dan masih banyak perubahan-perubahan lain dari teman-teman saya yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Cause everybody’s changing.
Banyak hal yang bisa dilakukan saat reuni, bisnis misalnya. Tidak sedikit pengalaman orang yang menambah relasi bisnisnya saat bertemu teman sekolah saat reuni. Teman masa sekolah dijadikan rekanan bisnis sehingga menguntungkan satu sama lain.
Hal lain yang tidak menutup kemungkinan saat reuni adalah bertemu dengan pasangan hidup. Banyak juga cerita dari beberapa pasangan suami-istri yang mereka ternyata teman saat masa sekolah dan menjadi jatuh cinta saat bertemu kembali di acara reuni. Jodoh memang tidak akan ke mana.
Bagaimanapun juga, hal yang paling utama dalam kegiatan reuni adalah menemukan esensi silaturahmi. Tali persaudaraan dan pertemanan harus selalu dijaga dan ditingkatkan. Diharapkan sampai kapanpun tidak akan lupa akan teman.
Rabu, 25 Februari 2009
Antara Hukum Gossen 1 dan Internet
Antara Hukum Gossen 1 dan Internet
"Setiap individu apabila memenuhi kebutuhan secara terus menerus maka tingkat kepuasannya mula-mula meningkat, namun bila sampai pada titik tertentu tingkat kepuasaan akan semakin menurun." Pernyataan tersebut adalah bunyi hukum Gossen 1. Sebuah teori ekonomi yang membahas tingkat kepuasaan konsumsi manusia. Hukum ini saya ketahui saat masih menjadi siswa SMA di pelajaran Ekonomi.
Hukum Gossen 1 menjelaskan kepada kita bahwa setiap orang bila memenuhi kebutuhan akan menemui kejenuhan pada akhirnya, meskipun pernah mencapai puncak kepuasan tertinggi. Pendeknya, manusia adalah mahluk yang mudah bosenan.
Namun, saya agak sedikit skeptis terhadap penerapan hukum ini dalam beberapa hal. Contohnya adalah kebutuhan terhadap internet. Apakah orang-orang nantinya akan meninggalkan internet? Apakah mereka akan bosan nantinya? Sehingga mereka tidak akan memerlukan lagi Google, Yahoo, Facebook, situs Djarum Black seperti Autoblackthrough, dll? Apakah internet akan ditinggalkan?
Pertanyaan yang sulit dijawab. Sulit untuk dijawab dan menurut hemat saya indikasi ke arah sana sangat-sangat sedikit adanya. Ini didasarkan atas layanan internet sebagai kebutuhan primer. Kehadiran internet dewasa ini dan ke-dinamisan-nya yang menjadi urat nadi kehidupan manusia semakin sulit mencari kevalidan Hukum Gossen 1 di ranah dunia maya ini. Internet sulit bila dikorelasikan dengan Hukum Gossen 1.
Internet selalu menyajikan sesuatu hal yang baru. Tidak hanya informasi yang sangat dibutuhkan tetapi juga entertain, bisnis dan ragam lainnya. Teknologi internet yang terus berkembang, inovasi selalu muncul dan selalu up to date menjadi alasan internet tidak akan mengalami sebuah titik kejenuhan bagi para penggunanya.
"Setiap individu apabila memenuhi kebutuhan secara terus menerus maka tingkat kepuasannya mula-mula meningkat, namun bila sampai pada titik tertentu tingkat kepuasaan akan semakin menurun." Pernyataan tersebut adalah bunyi hukum Gossen 1. Sebuah teori ekonomi yang membahas tingkat kepuasaan konsumsi manusia. Hukum ini saya ketahui saat masih menjadi siswa SMA di pelajaran Ekonomi.
Hukum Gossen 1 menjelaskan kepada kita bahwa setiap orang bila memenuhi kebutuhan akan menemui kejenuhan pada akhirnya, meskipun pernah mencapai puncak kepuasan tertinggi. Pendeknya, manusia adalah mahluk yang mudah bosenan.
Namun, saya agak sedikit skeptis terhadap penerapan hukum ini dalam beberapa hal. Contohnya adalah kebutuhan terhadap internet. Apakah orang-orang nantinya akan meninggalkan internet? Apakah mereka akan bosan nantinya? Sehingga mereka tidak akan memerlukan lagi Google, Yahoo, Facebook, situs Djarum Black seperti Autoblackthrough, dll? Apakah internet akan ditinggalkan?
Pertanyaan yang sulit dijawab. Sulit untuk dijawab dan menurut hemat saya indikasi ke arah sana sangat-sangat sedikit adanya. Ini didasarkan atas layanan internet sebagai kebutuhan primer. Kehadiran internet dewasa ini dan ke-dinamisan-nya yang menjadi urat nadi kehidupan manusia semakin sulit mencari kevalidan Hukum Gossen 1 di ranah dunia maya ini. Internet sulit bila dikorelasikan dengan Hukum Gossen 1.
Internet selalu menyajikan sesuatu hal yang baru. Tidak hanya informasi yang sangat dibutuhkan tetapi juga entertain, bisnis dan ragam lainnya. Teknologi internet yang terus berkembang, inovasi selalu muncul dan selalu up to date menjadi alasan internet tidak akan mengalami sebuah titik kejenuhan bagi para penggunanya.
Langganan:
Postingan (Atom)