
Kurang lebih sebulan lagi menuju pertarungan bagi yang akan bertarung di pemilu legislatif. Pemilu yang dilaksanakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD, sebagai proyeksi dari bentuk pemerintahan parlementer. Persiapan dari para calon legislatif (caleg) pun semakin terlihat. Kita bisa melihatnya dari semakin gencar “mendendangkan” platform partai dan dirinya yang paling pantas untuk menjadi wakil rakyat di gedung dewan.
Sayangnya, budaya komunikasi politik di Indonesia mayoritas masih diwarnai dengan bentuk komunikasi nonverbal. Kampanye dilakukan dengan menggunakan teknik melakukan pawai, pemasangan bendera, gambar, baliho, sticker dan famplet seperti Djarum Black dengan event Autoblackthrough atau Blackinnovationawards-nya, semuanya sarat dengan pesan nonverbal. Kita bisa melihat kenyataan itu di lapangan. Sepanjang jalan dan sejauh mata memandang dihiasi dengan ornamen-ornamen kampanye pemilu seperti baliho dan bendera yang bahkan merusak tata keindahan kota. Tidak hanya di jalan, tetapi juga media massa seperti koran, majalah, dan bahkan di dunia maya seperti facebook dihiasi wajah-wajah para caleg.
Kepiawaian komunikasi politik secara verbal adalah sangat penting dibanding nonverbal, seperti pembicaraan. Saking pentingnya pembicaraan, Mark Roeloef menganggap politics is talk (Nimmo, 1993:73). Speech communication adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh para politisi, seperti berdebat, diskusi, berpidato atau bicara di depan khalayak ramai.

Bercermin pada pemilu Amerika Serikat kemarin, kenapa Barrack Obama bisa melenggangkan kaki menuju White House dan mencatat sejarah sebagai Presiden Amerika pertama yang berkulit hitam? Tidak lain, salah satu alasannya karena Obama lihai dalam berkomunikasi lisan. Saat berpidato, semua orang bak tersihir dengan kata-katanya. Gezagh atau kewibawaan muncul setiap kali Obama berpidato, sehingga rakyat Amerika begitu terpesona. Gaya retorikanya yang terstrukur dan terkadang menyentuh ke dalam hati setiap orang yang mendengarkan menjadi keunggulan tersendiri. Obama dengan tagline kampanyenya yang populer “Change, we need. Yes, we can” adalah bukti kepiawaian Obama dan tim sukesnya menggunakan komunikasi politik yang efektif.
Satu lagi peristiwa yang bisa menjadi pelajaran tentang hakikat politik adalah komunikasi (baca: bicara). Turunnya Megawati sebagai Presiden dan gagalnya dalam pentas pemilu presiden 2004 adalah karena kurang kuat citranya dalam berkomunikasi. Minimnya frekuensi berkomunikasi Megawati kepada publik membuat arah pemerintahan tidak cukup jelas dipahami publik. Megawati tidak melakukan komunikasi menyampaikan berbagai kesuksesan yang berhasil dicapainya. Menurut Sunarto Prayitno dosen FISIP UI, banyak hal yang bisa disampaikan atas kinerja pemerintahan Megawati. Contohnya, keberhasilan menjaga kestabilan keamanan dan menciptakan pemilu damai selama masa pemerintahannya (2004).Sayangnya, hal tersebut tidak dilakukannya dulu.
Berbeda dengan Megawati, Presiden Yudhoyono yang notabene status quo sedang giat-giatnya melakukan komunikasi politiknya dengan memaparkan keberhasilan-keberhasilan seperti penurunan harga BBM sampai tiga kali turun yang konon karena jasa pemerintahannya. Presiden Yudhoyono acapkali menyinggung soal keberhasilan pemerintahannya saat berpidato, baik saat pidatonya dalam acara resmi atau di hadapan para rekan media saat press conference.
Lebih Menjual
Memiliki kompetensi berbicara adalah keunggulan yang mesti dimiliki setiap orang terutama politisi. Tidak cukup dengan bahasa nonverbal seperti yang diutarakan sebelumnya. Melalui kompetensi berbicara masyarakat tidak hanya tahu platform, visi, misi dan segala tetek bengek janji tetapi juga gaya ketika berbicara, pilihan padanan kata yang tepat (diksi), intonasi dan bahasa tubuh saat berbicara menjadi salah satu komposisi yang lebih menjual.
Lagi-lagi kita melihat pembelajaran komunikasi politik di Amerika Serikat. Saat Ford dan Jimmy Carter berkompetisi memperebutkan kursi Presiden tahun 1976. Seperti biasa, diadakan debat kandidat antara kedua calon. Sebelum acara debat dimulai, jajak pendapat menunjukkan Ford lebih unggul 11 persen dari Carter. Saat berdebat, Carter menunjukkan penampilan yang memikat. Berbicara dengan menguasai materi, lebih piawai dan menawarkan program-program yang lebih rasional. Alhasil, setelah perdebatan itu, jajak pendapat menunjukkan Ford tertinggal 45 persen di belakang Carter.
Kiranya kompetensi berbicara mesti kita optimalkan dalam diri setiap insan sosial, apalagi bagi para calon wakil rakyat dan calon pemimpin yang akan dipilih langsung oleh rakyatnya. Sehingga kemauan dan kemampuan untuk berkomunikasi, berdialog, memberikan pengertian dan mengambil konsensus yang tepat dalam segala hal bisa dirasa manfaatnya.
politik di indonesia masih kayak ladang cari uang bagi pengangguran dan para orang serakah
BalasHapus