Selasa, 10 Maret 2009

Realitas Pemilu Indonesia

Realitas Pemilu Indonesia

Wajar bila muncul rasa takut pada masyarakat setiap pemilu—legislatif dan presiden—digelar di negeri yang sudah 10 tahun reformasi ini. Takut jika pemilu yang dilaksanakan hanya menghambur-hamburkan uang negara tanpa ada perubahan dan perbaikan nyata dan dirasa secara signifikan. Memang sedikit klise, namun tetap saja selalu muncul karena memang hasil yang ditampilkan klise pula.

Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja, setelah mendapat apa yang diinginkan yakni kekuasaan, lupa begitu saja seperti terkena amnesia. Kalangan grass root seperti halnya peribahasa "Habis manis sepah dibuang", dimanfaatkan dan dijadikan alat semata oleh orang-orang yang haus kekuasaan demi kekayaan pribadi, setelah itu Lupa tuh! Orang-orang yang duduk di gedung dewan, bukannya memperhatikan dan menyuarakan aspirasi konstituen yang mendukungnya, malah hanya mementingkan urusan perut sendiri dan kepentingan kelompok.

Saya masih teringat akan sebuah ucapan dari almarhum Harry Roesli yang mengingatkan atas posisi kita sebagai rakyat yang sebenarnya. Saat persiapan pemilu 2004 seperti sekarang ini, di salah satu program talk show TV swasta, almarhum dengan gaya humornya berkata, "Gubernur dengan Wakil Gubernur, tinggian mana (jabatannya)? Gubernur kan? Presiden dengan Wakil Presiden? Presiden kan? Nah, Rakyat dengan Wakil Rakyat? Tinggian siapa?" Semua audiens talk show tersebut kontan berfikir sejenak, setelah itu akhirnya tertawa. Adanya respon telmi (baca: lambat) dari audiens pertanda bahwa masyarakat sudah lupa bahwa mereka sebagai rakyat lebih tinggi kedudukannya daripada wakil rakyat. Secara implisit ucapan cerdas yang dikeluarkan Harry Roesli tidak lain menyindir para wakil rakyat yang seharusnya patuh pada apa yang rakyat inginkan. Bukan patuh pada nafsu kekuasaan. Namanya juga wakil rakyat, berarti harus mewakili rakyat untuk menyuarakan aspirasi kesejahteraan rakyat.

Machiavellian
Bukan Black In News dan rahasia umum lagi, para calon anggota dewan dan calon presiden mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk "hajatan" lima tahunan ini. Kocek yang lebih besar dari sekedar memodifikasi mobil seperti di Autoblackthrough. Bukan rahasia umum juga, segala cara dilakukan bahkan menghalalkan segala cara pun ditempuh.

The ends justify the means yang merupakan teori dari seorang Niccolo Machiavelli sudah mendarah daging bagi orang yang haus akan kekuasaan dan kekayaan, khususnya para politisi. Machiavelli adalah seorang pakar politik yang menulis buku II Principe (Sang Pangeran). Dalam bukunya tersebut, Ia mengemukakan teori yang mengajarkan bahwa dalam melaksanakan kekuasaannya seorang raja (pemimpin) tidak perlu menghiraukan kesusilaan dan norma. Berbuat licik, curang bahkan menghalalkan segala cara adalah mesti dilakukan untuk memuluskan eksistensi kekuasaan.

Teori Machiavelli yang mengharuskan seseorang menyatukan kekuatan manusia dan hewan ini menerima hujatan. Tidak saja ketika di masa lalu saat ia masih hidup, sampai sekarang pun ia masih dicerca dan dikutuk semua negara, tokoh-tokoh politik, negarawan, dan masyarakat.

Anehnya, banyak yang mengutuk banyak pula yang mempraktikkan teori tersebut dalam realitas kehidupan. Tampaknya kutukan dan cercaan hanya dalam sebuah konsep belaka. Hampir di semua negara apalagi Indonesia, sadar atau tidak Machiavellian (orang yang menggunakan teori Machiavelli) nyata keberadaanya, seperti para politisi busuk dan pejabat yang menipu rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar