Kamis, 26 Maret 2009

Gap Dalam Percaturan Politik

Gap Dalam Percaturan Politik

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia disuguhi sebuah perbendaharaan kata yang baru. Perbendaharaan kata (baca: istilah) yang terlontar dari para politisi yang sedang getol-getolnya berkampanye. Memang, di samping membuat keuntungan yang melimpah bagi para pengrajin seperti pengrajin yang membuat famplet, stiker, dan sablon karena banyak orderan, pemilu juga membuat orang menjadi pintar membuat istilah-istilah.

Jika anda terus mengikuti alur konstelasi perpolitikan dan berita tentang pemilu negara kita tercinta Indonesia, maka pasti akan mengetahui istilah “Segitiga Emas” (Golden Triangle) dan “Jembatan Emas” (Golden Bridge Politics). Saat saya pertama mengetahui istilah ini, saya kira sebuah judul film atau judul buku. Ternyata, sebuah nama kubu-kubu politik yang sedang membuat peta persaingan.

“Segitiga emas” adalah istilah yang dicetuskan oleh tiga partai politik (PDIP, PPP, dan P. Golkar) yang dimotori oleh partai oposisi yakni PDIP. Seakan tidak mau ketinggalan dan kalah saing, kubu status quo yang notabene partai yang sedang memerintah mencetuskan istilah “Jembatan Emas”. Adalah Anas Urbaningrum selaku Ketua DPP PD yang mencetuskan istilah tersebut. Saya pun masih belum tahu jelas apa yang menjadi tujuan dengan hadirnya kubu-kubu ini.

Apapun tujuannya, istilah yang baru ini menurut saya sedikit lebih berkelas daripada istilah yang dulu-dulu seperti, “yoyo” dan “gasing” yang sempat mencuat dan memanas. Setidaknya, kali ini kedua kubu menggunakan kata “emas” (golden) yang identik dengan konotasi yang baik seperti, kemajuan, kebahagiaan, kejayaan, dan kemakmuran. Semoga saja kedua-duanya bisa merealisasikannya bukan sekedar “apalah artinya sebuah nama” seperti kata William Shakespeare.

Hakikat Manusia
Melihat tingkah laku para politisi kita yang kerjaannya tidak jauh dari saling menghujat satu sama lain, membuat geng (kubu) masing-masing, dan merasa paling benar, tidak jauh seperti halnya anak-anak sekolahan. Bukan Black In News yang baru lagi, anak sekolahan sukanya adalah bergerombol, membentuk geng, dan aktivitas lain yang menunjukkan adanya gap.

Tidak hanya anak sekolahan, semua kalangan pun—termasuk politisi—akan menjalani hidup dengan adanya sebuah perbedaan dan berimbas kepada adanya gap. Sudah menjadi kehendak Tuhan bahwa hakikat manusia lahir berbeda-beda, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa. Setiap manusia lahir dengan berbagai perbedaan yang ada, bahkan seorang yang kembar identik pun akan terdapat perbedaan.

Lantas, apakah perbedaan itu hanya akan menjadikan adanya gap di antara sesama manusia? Tentu tidak hanya itu saja, perbedaan adalah anugerah dan rahmat yang diberikan Tuhan. Dengan perbedaan kita bisa saling mengenal, memahami, menghargai, dan saling melengkapi. Perbedaan itu indah, bisa kita bayangkan jika wajah kita hanya terdiri dari satu pancaindera saja hidung misalnya, keindahan pun tidak akan terlihat. Pluralitas adalah indah seindah berbagai macam bunga yang menyatu seikat menjadi rangkaian berbagai macam bunga yang indah.

Hadirnya perbedaan juga menjadi kekayaan inovasi dan ide bagi kehidupan. Contohnya bisa dilihat dalam sebuah ajang modifikasi mobil seperti Autoblackthrough dan modifikasi motor seperti Djarum Black Motodify. Karena adanya perbedaan, selera, dan ide dari para peserta modifikator, kita bisa melihat karya-karya unik dan menarik yang memiliki kelebihan masing-masing.

Efek Konstruktif
Baiknya para politisi menyikapi perbedaan yang ada menjadi sebuah keunggulan dan kekayaan yang dimiliki bangsa. Sehingga, jangan salah menyikapi dengan menganggap orang yang berbeda visi, partai, ideologi, dan perbedaan lainnya adalah sebagai musuh.

Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah tujuan dari para elite partai (semoga niatnya masih seperti itu), karena niatnya sudah sama sehingga tidak ada kata selain saling mengisi dan membangun bersama dengan tidak melihat perbedaan yang ada. Utamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan sentimen pribadi, kelompok, dan partai adalah hal yang mesti dilakukan.

Perbedaan dan adanya gap tidak bisa dihilangkan karena itu adalah sifat alami manusia. Namun, seperti yang dibahas di atas bahwa banyak hal yang berbuah positif dari perbedaan. Sosiologi menyatakan bahwa ada sebuah dampak konstruktif (membangun) dari perbedaan dan fenomena konflik. Efek yang membangun dan memberikan kedewasaan bagi masing-masing yang berkonflik untuk memetik hikmah dan pelajaran untuk kemajuan bersama.

Jika para politisi belum bisa bersikap dewasa dan menemukan esensi dari makna pluralitas itu sendiri, saya hanya bisa kembali berkomentar, “Apa bedanya dengan anak sekolahan!” Anak sekolahan yang mayoritas mengartikan perbedaan dan gap dengan membuat geng yang tindak lanjutnya bisa mengarah kepada tawuran.

Rabu, 18 Maret 2009

Catatan Seorang Jurnalis

Catatan Seorang Jurnalis

Rapat tema hari Sabtu (14/3) menyeret nama saya dan rekan saya Nindi dari Fakultas Ekonomi untuk menulis Rubrik cover edisi 163 Bul Pos. Hak istimewa sang pemred Bul Pos, Dina Maretihaq Sari yang cantik dan kadang gokil ini lah saat rapat tema menunjuk saya dan Nindi untuk menjadi reporter rubrik cover—rubrik yang banyak diinginkan reporter Bul Pos dan bergengsi di Bul Pos.

Di tengah kesibukkan kuliah yang super padat dan membuat lelah otak dan fisik, alhamdulillah masih ada tenaga yang tersisa untuk reportase. Tentunya masih bisa pula think black seperti jargon iklan Djarum Black. Hari Selasa, saya kuliah dari jam tujuh pagi sampai jam satu siang. Selasa siang setelah kuliah (17/3) adalah giliran saya melakukan reportase sendirian, karena hari Senin (16/3) rekan saya Nindi telah reportase terlebih dahulu. Di samping itu, hari Selasa Nindi mendapat jadwal kuliah yang lebih "gila" lagi dari saya, yakni dari jam delapan pagi sampai jam enam sore.

Rubrik Cover edisi 163 memberitakan tentang sebuah rumah sakit hewan UGM yang baru. Saya dan Nindi mengambil angle tentang bagaimana latar belakang, fungsi, pokoknya segala tetek bengek dari rumah sakit hewan tersebut. Intinya berita yang dihasilkan nanti berupa straight news (berita langsung).

Singkat cerita saya berada di RSH tersebut. Alhamdulillah, saya bisa bertemu langsung dengan kepala rumah sakit hewan tersebut di sana, namanya Prof. Dr. drh. Ida Tjahajati, MP.

Kepala RSH itu begitu ramah, welcome, dan terbuka saat saya wawancarai. Saking asiknya, wawancara memakan waktu satu jam lebih. Segala informasi tentang RSH itu sudah memenuhi outline yang saya buat, bahkan mungkin informasi yang didapat kelebihan. Uniknya, selama wawancara, Prof. Ida juga curhat dan bercerita tentang dirinya selama masih menjadi mahasiswa.

Entah kenapa, saat itu saya merasa nyaman mewawancarai kepala RSH tersebut. Dan mungkin Prof. Ida juga merasa nyaman diwawancarai oleh saya. Bukan tanpa alasan saya berasumsi seperti itu, karena bisa terlihat dari raut mukanya yang berseri-seri dan sampai hati curhat kepada saya. Sesuatu yang jarang terjadi saat saya mewawancarai seorang narasumber.

Sekedar Black In News saja, rupanya Prof. Ida lahir pada tanggal 28 Desember. Tanggal lahir yang hampir sama dengan saya, yakni 27 Desember. Mungkin karena sama-sama lahir pada bulan Desember membuat saya dan Prof. Ida menjadi nyambung dan nyaman saat berkomunikasi. Entahlah, apakah akseptabilitas asumsi itu dapat diterima atau tidak.

Setelah reportase di RSH, saya dan Nindi bertemu di salah satu tempat makan di bilangan Kopma (Koperasi Mahasiswa) UGM ba’da magrib untuk menyelesaikan berita tersebut. Karena deadline besok harinya, hari Rabu (18/3). Sesuai dugaan saya, saking banyaknya informasi yang didapat membuat saya dan Nindi bingung. Bingung mau menulis dari mana awalnya. Tapi saya mesti bersyukur, sebagai seorang jurnalis lebih baik kelebihan informasi daripada kekurangan informasi.

Saya dan Nindi akhirnya menyelesaikan tulisan Selasa malam itu juga. Melihat jam di HP Nokia 2300 saya ternyata sudah jam 11 malam. Anehnya, rasa lelah saya tidak terasa dan justru saya merasa mendapat sari pati jiwa seorang jurnalis. Yah, seorang yang bekerja tak kenal waktu dan selalu dinamis. Meskipun begitu, saya ingin melakukannya lagi, lagi, dan lagi.

Ucapan Dahlan Iskan
Saat tanggal 9 Februari kemarin, dalam rangka memperingati hari Pers Nasional sebuah program talk show terkenal di TV swasta menghadirkan tamu-tamu yang berkompeten di bidang jurnalistik. Salah satunya adalah Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos—salah satu perusahaan media terbesar yang ada di Indonesia.

Saat itu, pembawa acara bertanya kepada Dahlan Iskan tentang bagaimana kiat Dahlan Iskan bisa berkecimpung di dunia jurnalistik dan menjadi orang yang sukses di bidang tersebut. Saya sangat termotivasi dengan jawaban yang dilontarkan Dahlan Iskan.

"Yah...karena saya cinta dan suka pada bidang ini. Karena cinta dan suka, maka saya sungguh-sungguh total, belajar dan belajar terus menerus. Alhamdulillah hasilnya pun bisa terasa sekarang," jawab Dahlan Iskan. Intisari yang bisa saya ambil dari jawaban inspiratif tersebut adalah kecintaan, totalitas dan kemauan untuk terus belajar dan belajar. Bidang apapun itu, selama dijalankan dengan totalitas dan tidak ada kata selain terus belajar, menggali, dan mencari berkenaan dengan ilmunya, niscaya hasilnya pun akan maksimal.

Selasa, 10 Maret 2009

Realitas Pemilu Indonesia

Realitas Pemilu Indonesia

Wajar bila muncul rasa takut pada masyarakat setiap pemilu—legislatif dan presiden—digelar di negeri yang sudah 10 tahun reformasi ini. Takut jika pemilu yang dilaksanakan hanya menghambur-hamburkan uang negara tanpa ada perubahan dan perbaikan nyata dan dirasa secara signifikan. Memang sedikit klise, namun tetap saja selalu muncul karena memang hasil yang ditampilkan klise pula.

Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja, setelah mendapat apa yang diinginkan yakni kekuasaan, lupa begitu saja seperti terkena amnesia. Kalangan grass root seperti halnya peribahasa "Habis manis sepah dibuang", dimanfaatkan dan dijadikan alat semata oleh orang-orang yang haus kekuasaan demi kekayaan pribadi, setelah itu Lupa tuh! Orang-orang yang duduk di gedung dewan, bukannya memperhatikan dan menyuarakan aspirasi konstituen yang mendukungnya, malah hanya mementingkan urusan perut sendiri dan kepentingan kelompok.

Saya masih teringat akan sebuah ucapan dari almarhum Harry Roesli yang mengingatkan atas posisi kita sebagai rakyat yang sebenarnya. Saat persiapan pemilu 2004 seperti sekarang ini, di salah satu program talk show TV swasta, almarhum dengan gaya humornya berkata, "Gubernur dengan Wakil Gubernur, tinggian mana (jabatannya)? Gubernur kan? Presiden dengan Wakil Presiden? Presiden kan? Nah, Rakyat dengan Wakil Rakyat? Tinggian siapa?" Semua audiens talk show tersebut kontan berfikir sejenak, setelah itu akhirnya tertawa. Adanya respon telmi (baca: lambat) dari audiens pertanda bahwa masyarakat sudah lupa bahwa mereka sebagai rakyat lebih tinggi kedudukannya daripada wakil rakyat. Secara implisit ucapan cerdas yang dikeluarkan Harry Roesli tidak lain menyindir para wakil rakyat yang seharusnya patuh pada apa yang rakyat inginkan. Bukan patuh pada nafsu kekuasaan. Namanya juga wakil rakyat, berarti harus mewakili rakyat untuk menyuarakan aspirasi kesejahteraan rakyat.

Machiavellian
Bukan Black In News dan rahasia umum lagi, para calon anggota dewan dan calon presiden mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk "hajatan" lima tahunan ini. Kocek yang lebih besar dari sekedar memodifikasi mobil seperti di Autoblackthrough. Bukan rahasia umum juga, segala cara dilakukan bahkan menghalalkan segala cara pun ditempuh.

The ends justify the means yang merupakan teori dari seorang Niccolo Machiavelli sudah mendarah daging bagi orang yang haus akan kekuasaan dan kekayaan, khususnya para politisi. Machiavelli adalah seorang pakar politik yang menulis buku II Principe (Sang Pangeran). Dalam bukunya tersebut, Ia mengemukakan teori yang mengajarkan bahwa dalam melaksanakan kekuasaannya seorang raja (pemimpin) tidak perlu menghiraukan kesusilaan dan norma. Berbuat licik, curang bahkan menghalalkan segala cara adalah mesti dilakukan untuk memuluskan eksistensi kekuasaan.

Teori Machiavelli yang mengharuskan seseorang menyatukan kekuatan manusia dan hewan ini menerima hujatan. Tidak saja ketika di masa lalu saat ia masih hidup, sampai sekarang pun ia masih dicerca dan dikutuk semua negara, tokoh-tokoh politik, negarawan, dan masyarakat.

Anehnya, banyak yang mengutuk banyak pula yang mempraktikkan teori tersebut dalam realitas kehidupan. Tampaknya kutukan dan cercaan hanya dalam sebuah konsep belaka. Hampir di semua negara apalagi Indonesia, sadar atau tidak Machiavellian (orang yang menggunakan teori Machiavelli) nyata keberadaanya, seperti para politisi busuk dan pejabat yang menipu rakyat.

Senin, 09 Maret 2009

Let's Count!

IF

A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z

=

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

SO

K-N-O-W-L-E-D-G-E
11+14+15+23+12+5+4+7+5=96%


H-A-R-D W-O-R-K
8+1+18+4+23+15+18+11=
98%


A-T-T-I-T-U-D-E
1+20+20+9+20+21+4+5=100%


L-O-V-E O-F G-O-D
12+15+22+5+15+6+7+15+4=101%

Minggu, 08 Maret 2009

Budaya Bicara Dalam Komunikasi Politik

Budaya Bicara Dalam Komunikasi Politik

Kurang lebih sebulan lagi menuju pertarungan bagi yang akan bertarung di pemilu legislatif. Pemilu yang dilaksanakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD, sebagai proyeksi dari bentuk pemerintahan parlementer. Persiapan dari para calon legislatif (caleg) pun semakin terlihat. Kita bisa melihatnya dari semakin gencar “mendendangkan” platform partai dan dirinya yang paling pantas untuk menjadi wakil rakyat di gedung dewan.


Sayangnya, budaya komunikasi politik di Indonesia mayoritas masih diwarnai dengan bentuk komunikasi nonverbal. Kampanye dilakukan dengan menggunakan teknik melakukan pawai, pemasangan bendera, gambar, baliho, sticker dan famplet seperti Djarum Black dengan event Autoblackthrough atau Blackinnovationawards-nya, semuanya sarat dengan pesan nonverbal. Kita bisa melihat kenyataan itu di lapangan. Sepanjang jalan dan sejauh mata memandang dihiasi dengan ornamen-ornamen kampanye pemilu seperti baliho dan bendera yang bahkan merusak tata keindahan kota. Tidak hanya di jalan, tetapi juga media massa seperti koran, majalah, dan bahkan di dunia maya seperti facebook dihiasi wajah-wajah para caleg.


Kepiawaian komunikasi politik secara verbal adalah sangat penting dibanding nonverbal, seperti pembicaraan. Saking pentingnya pembicaraan, Mark Roeloef menganggap politics is talk (Nimmo, 1993:73). Speech communication adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh para politisi, seperti berdebat, diskusi, berpidato atau bicara di depan khalayak ramai.


Membangun Citra
Bercermin pada pemilu Amerika Serikat kemarin, kenapa Barrack Obama bisa melenggangkan kaki menuju White House dan mencatat sejarah sebagai Presiden Amerika pertama yang berkulit hitam? Tidak lain, salah satu alasannya karena Obama lihai dalam berkomunikasi lisan. Saat berpidato, semua orang bak tersihir dengan kata-katanya. Gezagh atau kewibawaan muncul setiap kali Obama berpidato, sehingga rakyat Amerika begitu terpesona. Gaya retorikanya yang terstrukur dan terkadang menyentuh ke dalam hati setiap orang yang mendengarkan menjadi keunggulan tersendiri. Obama dengan tagline kampanyenya yang populer “Change, we need. Yes, we can” adalah bukti kepiawaian Obama dan tim sukesnya menggunakan komunikasi politik yang efektif.


Satu lagi peristiwa yang bisa menjadi pelajaran tentang hakikat politik adalah komunikasi (baca: bicara). Turunnya Megawati sebagai Presiden dan gagalnya dalam pentas pemilu presiden 2004 adalah karena kurang kuat citranya dalam berkomunikasi. Minimnya frekuensi berkomunikasi Megawati kepada publik membuat arah pemerintahan tidak cukup jelas dipahami publik. Megawati tidak melakukan komunikasi menyampaikan berbagai kesuksesan yang berhasil dicapainya. Menurut Sunarto Prayitno dosen FISIP UI, banyak hal yang bisa disampaikan atas kinerja pemerintahan Megawati. Contohnya, keberhasilan menjaga kestabilan keamanan dan menciptakan pemilu damai selama masa pemerintahannya (2004).Sayangnya, hal tersebut tidak dilakukannya dulu.


Berbeda dengan Megawati, Presiden Yudhoyono yang notabene status quo sedang giat-giatnya melakukan komunikasi politiknya dengan memaparkan keberhasilan-keberhasilan seperti penurunan harga BBM sampai tiga kali turun yang konon karena jasa pemerintahannya. Presiden Yudhoyono acapkali menyinggung soal keberhasilan pemerintahannya saat berpidato, baik saat pidatonya dalam acara resmi atau di hadapan para rekan media saat press conference.

Lebih Menjual
Memiliki kompetensi berbicara adalah keunggulan yang mesti dimiliki setiap orang terutama politisi. Tidak cukup dengan bahasa nonverbal seperti yang diutarakan sebelumnya. Melalui kompetensi berbicara masyarakat tidak hanya tahu platform, visi, misi dan segala tetek bengek janji tetapi juga gaya ketika berbicara, pilihan padanan kata yang tepat (diksi), intonasi dan bahasa tubuh saat berbicara menjadi salah satu komposisi yang lebih menjual.


Lagi-lagi kita melihat pembelajaran komunikasi politik di Amerika Serikat. Saat Ford dan Jimmy Carter berkompetisi memperebutkan kursi Presiden tahun 1976. Seperti biasa, diadakan debat kandidat antara kedua calon. Sebelum acara debat dimulai, jajak pendapat menunjukkan Ford lebih unggul 11 persen dari Carter. Saat berdebat, Carter menunjukkan penampilan yang memikat. Berbicara dengan menguasai materi, lebih piawai dan menawarkan program-program yang lebih rasional. Alhasil, setelah perdebatan itu, jajak pendapat menunjukkan Ford tertinggal 45 persen di belakang Carter.


Kiranya kompetensi berbicara mesti kita optimalkan dalam diri setiap insan sosial, apalagi bagi para calon wakil rakyat dan calon pemimpin yang akan dipilih langsung oleh rakyatnya. Sehingga kemauan dan kemampuan untuk berkomunikasi, berdialog, memberikan pengertian dan mengambil konsensus yang tepat dalam segala hal bisa dirasa manfaatnya.

Sabtu, 07 Maret 2009

Feel Something Different

Feel Something Different

Adalah benar ungkapan, "Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang." Mayoritas orang yang sedang merantau—baik ke luar kota atau luar negeri—akan meng-iya-kan ungkapan tersebut. Saya adalah salah seorang yang termasuk dalam mayoritas itu.


Sebagai seorang mahasiswa yang merantau di kota dan provinsi lain, banyak hal yang membuat saya menjalani dinamika kehidupan yang baru di tanah rantau. Mulai dari bagaimana hidup mandiri di kostan, jauhnya perjalanan dari kampung halaman, uang kiriman belum sampai, uang jatah sebulan habis, dan berbagai polemik lainnya yang dialami mahasiswa perantauan. Tentunya akan menjadi Black In News seperti programnya Djarum Black untuk menceritakan pengalaman-pengalaman tersebut kepada keluarga dan teman di kampung halaman.


Saya pun sering mendengar cerita orang yang pernah tinggal merantau di luar negeri tentang bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari. Mereka mengatakan tidak mudah untuk hidup di negeri orang yang segalanya serba berbeda. Senada dengan yang merantau di luar negeri, di dalam negeri pun orang yang merantau ke luar kota yang berbeda, menjalani hidup tidak semudah seperti di kampung halaman.


Bisa dipahami, tinggal di negeri orang yang berbeda bahasa, budaya dan lingkungan membuat orang yang merantau harus beradaptasi, seperti kata pepatah "Di mana langit dipijak, di situ langit dijungjung." Saya teringat cerita salah seorang dosen saya tentang pengalaman studinya di luar negeri. "Kata siapa hidup di luar negeri itu enak? Mau makan aja susah. Gak makan nasi rasanya belum kenyang. Sehari-hari mesti ngomong dengan bahasa yang bukan bahasa kita. Di mana enaknya?" terangnya.


Merinding
Adakalanya saya merasakan rindu yang sangat kepada kampung halaman. Rindu kepada Ibu dan Ayah serta handai tolan di sana. Tidak dapat dipungkiri, setiap orang yang merantau, contohnya mahasiswa yang merantau demi kuliah seperti saya ini akan mengalami sebuah syndrome home sick. Bawaannya ingin pulang, pulang, pulang dan pulang ke rumah.


Namun, saya menemukan sesuatu yang lain di tanah rantau yang tidak dapat saya temukan dan rasakan di kampung halaman. Salah satunya adalah ketika saya mendengarkan lagu daerah saya, yakni lagu-lagu sunda di tanah rantau.


I feel something different ketika setiap mendengarkan lagu-lagu sunda yang dibawakan oleh Doel Sumbang, Nining Meida, Darso, Yayan Jatnika, Ebith Beat'a, dan artis sunda lainnya. Saya menjadi merinding dan waas (tidak terbayangkan/menakjubkan) saat mendengar lantunan lagu-lagu dari mereka. Seperti lagu tersebut memiliki kekuatan yang berbeda saat didengarkan di tanah rantau. Bahkan pernah, saya terhanyut dan menitikan air mata mendengarkannya. Ada nilai plus tersendiri dan entah apa itu, saya pun tidak tahu. Perasaan yang belum pernah saya rasakan saat berada di kampung halaman. Perasaan akan rindu mungkin. Rindu yang terlampiaskan melalui lantunan lagu.

Jumat, 06 Maret 2009

Refleksi HP

Refleksi HP

Anda mempunyai Hand Phone (HP)? Saya pastikan 90% masyarakat Indonesia mempunyai alat komunikasi ini. Saya pastikan juga, Anda yang sedang baca blog saya ini mempunyai HP. Anggukan kepala Anda jika jawaban saya benar! Sudah? Terima kasih! Jangan sampai pernyataan yang kurang mengenakkan muncul, "Hari gini gak punya Hand Phone!" Sebuah jargon iklan telepon seluler yang booming ketika itu. Sebuah jargon yang kurang bijak, menurut saya.


Oke, lanjut. Bagi kita (saya dan anda yang punya HP), ketika menelepon tiba-tiba baterai HP sudah minimum dan low bat adalah kondisi yang sangat tidak diinginkan dan tidak mengenakkan. Pernah kan? Menyebalkan? Tentu, apalagi perbincangan yang sedang dibicarakan saat menelepon adalah urgent dan tidak bisa ditunda-tunda. Praktis, HP menjadi hilang kegunaannya, yakni menelepon dan mengirim pesan (SMS) yang menjadi dua fungsi utama.


Kita semua sudah tahu. Sehingga bukan Black In News yang baru, bahwa HP hidup karena ada baterai. Baterai itulah yang menjadi sumber kekuatan (power) untuk bisa menjadikan HP berdaya guna. Namun, kemampuan baterai tidak bertahan lama. Kekuatan baterai hanya sebentar, ada yang kisaran jam dan satu-dua harian. Oleh karena itu, kita mesti rajin-rajin men-charge. Semakin sering, maka akan semakin awet dan bertahan lama. Keep your lights on! kata iklan Blackinnovationawards. Sebaliknya, jarang atau malah tidak pernah di-charge, akan mati tidak berguna.


Tanpa disadari, kita juga seperti HP. Tidak selamanya berada dalam kondisi yang optimal. Sebuah baterai bagi HP layaknya sebuah semangat bagi kita. Setiap kita pasti pernah berada dalam kondisi low bat. Himpitan masalah, baik itu masalah keuangan, pekerjaan, sekolah, kuliah dan seabreg masalah lainnya menjadikan kita seperti HP yang hanya ada ada dua garis baterai yang ada pada layar. Bahkan lebih parahnya lagi, low bat dan mati.


Tidak ada kata selain men-charge kembali semangat kita sebagai jawaban untuk memecahkan masalah yang sedang melanda. Sebagai manusia, ada banyak cara untuk men-charge semangat, tidak seperti HP yang hanya ada satu cara, yakni mencolokkan HP lewat kabel charge ke colokan listrik.


Pertama dan yang utama adalah beribadah kepada Sang Khalik. Berdoa dan mengadu kepadaNya atas segala macam permasalahan. Hati dan pikiran niscaya akan jernih kembali. Sehingga, kita memiliki semangat yang baru dan full seperti HP yang di-charge semalam suntuk. Yakin dan percaya bahwa Tuhan akan membantu. Believe it, Yes We can! Amboy, kita akan merasa hidup kembali.


Masih banyak cara yang lain untuk kita mengisi power semangat. Keluarga dan teman adalah salah satunya di antara sekian banyak lagi yang lainnya. Kita hidup tidak sendiri. We’re not alone friend!


Bukan hidup namanya jika tidak ada masalah-masalah yang siap menemui di depan kita. Karena, kita hidup untuk menghadapi masalah. Badai pasti berlalu seperti kata lagu. Masalah pasti ada akhirnya. Mari kita isi terus semangat dengan sering-sering di-charge. Jangan sampai low bat atau malah mati, tidak bisa dipakai lagi seperti HP yang di-lem biru (Lempar Beli Baru).

Selasa, 03 Maret 2009

Hidup Adalah Pertanyaan

Hidup Adalah Pertanyaan
"Udah sarjana, mau ngapain?"


"Suka nonton Black In News? Siapa yang bakal menang di Autoblackthrough 2009? Gabung di Black Car Community?" Dipikir-pikir, hidup kita ini diselimuti dan dihantui oleh pertanyaan. Pertanyaan yang dilayangkan oleh orang tentunya. Khususnya dari orang-orang terdekat: keluarga, teman dan guru. Kadang, kita juga suka bertanya pada diri sendiri. Ada beberapa pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Bahkan, ada pertanyaan yang jawabannya dijawab setelah beberapa tahun kemudian.


Coba kita review. Kita mulai saja posisi kita saat jadi siswa SMP. Memasuki kelas 3, pertanyaan mulai berdatangan. "Mau masuk mana, SMK, MA atau SMA?" Pilihan antara kejuruan, madrasah atau sekolah umum. Sudah memilih pun, ada pertanyaan selanjutnya, "Negeri atau swasta?"


Sekarang, posisi kita saat sudah jadi siswa menengah atas, SMA misalnya. Memasuki akhir kelas satu dan akan penjurusan. "Eh, mau masuk mana, IPA atau IPS?" Saat SMA, pertanyaan agak sensitif pun selalu muncul. "Sudah punya pacar belum? Sudah berapa kali pacaran? Atau malah belum pernah?" Jangan heran ketika SMA pertanyaan tentang virus merah jambu menjadi warna-warni kehidupan SMA. SMA adalah masa remaja, yang katanya masa paling indah.


Kelas 3 SMA, masa dag dig dug derr. Bagaimana tidak, bisa dibilang masa penetuan nasib seseorang. Masa dihadapkan dengan berbagai ujian, seperti UN dan masuk perguruan tinggi (bagi yang melanjutkan kulah). Ragam pertanyaan pun datang, "Persiapan apa yang sudah dilakukan untuk menghadapi UN? Ikutan les atau bimbel gak?" Kadang pertanyaan muncul dari diri sendiri, "Apakah saya bisa lulus dan memenuhi standar minimal kelulusan?"


Bila yang akan melanjutkan kuliah, "Mau kuliah di mana? Daftar di mana aja? Milih jurusan apa?" Setelah diterima dan menjadi mahasiswa, "Aktif di mana? BEM atau apa?" Kemudian tentang akademik, "IP semester kemaren berapa? Dapet beasiswa gak?"


Setelah cukup lama jadi mahasiswa, yah kira-kira 3-4 tahunan. Pertanyaannya, "Kapan wisuda?" Sesudah wisuda, "Udah wisuda, mau ngapain? Kerja? Atau lanjut S2?" Selanjutnya, "Kapan nikah?" Sudah nikah, "Kapan punya anak?"


Selanjutnya, bisa tanyakan kepada diri anda sendiri, "Pertanyaan apa selanjutnya?"

Senin, 02 Maret 2009

Filosofi Sebutir Nasi

Filosofi Sebutir Nasi


Pesan dari orang tua—apalagi Ibu—memang sangat memberikan pembelajaran bagi kita untuk menghadapi kehidupan yang keras ini. Setiap orang tua pastinya memberikan nasihat dan pesan yang berharga untuk anak-anaknya. Tanda kasih dan sayangnya kepada anak-anaknya agar anaknya bisa sukses, berguna bagi negara dan menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Bersyukurlah bagi kita yang masih diberi petuah oleh orang tua.


Tidak terkecuali dengan kedua orang tua saya. Ibu dan Ayah saya tidak pernah lelah mengeluarkan petuah-petuah berharga. Meskipun kadang, anak-anaknya tidak mendengarkan dan menggubris. Namun tetap saja, tidak ada kata menyerah bagi mereka. Ibuku tersayang khususnya, Ibu selalu memberikan nasihat-nasihat kepada anak-anaknya, apalagi saya yang notabene anak bungsu.


Ada salah satu ucapan dan nasihat Ibu yang masih terngiang-ngiang sampai sekarang dan benar-benar dikerjakan oleh saya. Nasihat ini terlontar dari Ibu saat saya masih kecil.


Nasihatnya kurang lebih seperti ini, "Gie, mun emam sangu teh seepkeun dugi ka remeh-remehna. Sing limit. Eta teh pibeunghareun sareng anu ngaduakeun urang beunghar! (Gie, kalau makan nasi, habiskan sampai butir-butir nasinya. Sampai habis gak ada sisa. Itu yang membuat kaya dan yang mendoakan kita menjadi kaya!)" Nasihat tersebut sudah tak terhitung berapa kali disampaikan kepada saya, sampai saya hafal. Soalnya, saat saya masih anak ingusan, saya tidak selalu mengabiskan makanan yang saya makan.


Dasar anak kecil, saat itu saya hanya bisa ngangguk-ngangguk dan sempat merasa aneh atas nasihat Ibu, "Masa sebutir nasi bisa membuat kita jadi kaya?" tanya saya kepada diri sendiri. Meskipun begitu, saya tetap menuruti apa kata Ibu untuk menghabiskan makanan sampai tidak ada sisa sebutir nasi pun.


Kaya Akan Makna
Tidak serta merta Ibu saya ketika itu mengeluarkan pernyataan tentang sebutir nasi tanpa ada makna dan filosofinya. Saya hanya bisa berkata, "Subhanallah, jadi ini maksud nasihat Ibu itu," saat mengetahui apa maksud dari pernyataan itu. Saya menyadarinya saat beranjak dewasa. Seiring dengan perkembangan usia, kedewasaan dan pola pikir pun berubah.


Ternyata, Ibu memberikan pelajaran kepada saya untuk tidak menyepelekan hal-hal yang kecil. Karena, sesuatu yang besar dimulai dari yang kecil. Hal yang kecil jika disepelekan bisa berimbas kurang baik bagi hal yang besar. Hal yang kecil adalah fondasi fundamental dari hal-hal yang besar. Jika hal yang kecil saja tidak disikapi dengan baik dan serius, bagaimana menyikapi hal yang besar?


Itu juga yang menjadi alasan, mengapa Ibu mengakhiri nasihat tersebut dengan kalimat Itu yang membuat kaya dan mendoakan kita menjadi kaya. Orang kaya adalah orang yang tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan dan menyepelekan segala hal sampai hal yang terkecil.

Nasihat itu pula mengajarkan saya untuk lebih bersyukur atas rezeki yang Tuhan berikan. Masih banyak orang di sekeliling kita yang untuk mendapat sesuap nasi saja sulitnya minta ampun. Akan sangat mubazir dan tidak sopan bagi saya untuk tidak menghabiskan makanan. Kasarnya, orang lain susah payah cari makan, kita yang diberi rezeki lebih malah menyia-nyiakannya.


Ibu telah banyak mengajari saya tentang arti hidup ini, termasuk dengan memberi nasihat saat makan. Peristiwa apapun bisa memberikan pembelajaran hidup. Seperti peristiwa ketika kita makan, bisa menjadi cermin sikap kita dalam menghadapi hidup ini. Thanks Mom!


Tulisan ini ditulis setelah makan di warung nasi dekat kostan. Let’s write anything! Write it down! Keep Black In News on my blog! Think Black for Blackinnovationawards!

Minggu, 01 Maret 2009

Tulisan Awal Bulan

Tulisan Awal Bulan

Awal, baik itu tahun, bulan, atau hari biasanya identik dengan semangat baru. Awal tahun dirayakan kedatangannya dengan perayaan tahun baru saat tanggal 1 Januari se-antero penjuru dunia. Bagi pegawai, guru, dan orang yang berpenghasilan dari gaji, awal bulan adalah bak orang yang sedang pacaran didatangi sang kekasih tercinta. Begitu indahnya! Apalagi jika ada Black In News gajinya dinaikkan, makin indah!

1 Maret 2009 ini sedikit berarti bagi saya. Dikarenakan, jarang-jarang menulis saat awal bulan. Alhamdulillah, ada semangat yang menggebu-gebu akhir-akhir ini untuk menulis. Salah satunya, karena mengikuti event yang diadakan Djarum Black dengan Black Blog Competitionnya. Ini adalah sebuah tantangan bagi saya untuk kreatif dan peka terhadap sesuatu. Pernah saya utarakan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, dengan diadakan sebuah lomba menulis, seperti lomba blog, memberikan stimulus orang untuk rajin menulis.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan seterusnya. Menandakan umur kita semakin berkurang. Baiknya, awal bulan seperti ini kita mengevaluasi apa yang telah dilakukan sebulan ke belakang. Sehingga sisi buruk dari kita bisa dikurangi bahkan dihilangkan. Sebaliknya, sisi baik dari kita bisa lebih ditingkatkan. Karakter manusia yang paripurna pun bisa terwujud dari dalam diri kita.

Selanjutnya yang bisa dilakukan saat awal bulan adalah planning. Merencanakan sesuatu ke depan adalah sangat diperlukan. Analoginya orang yang akan bepergian. Akan menjadi tidak jelas dan sia-sisa, jika tidak direncanakan akan berpergian ke mana, mau apa, dan akan melakukan apa di sana. Dengan arah dan tujuan yang jelas, maka dengan segenap pikiran dan tenaga berusaha untuk bisa mewujudkan rencana itu. Jadi, tidak hanya buat planning saja tetapi juga action plan. Mari berencana dan melaksanakan rencana itu! Yuuukkk!