'MERANTAU', Saatnya Aksi Lokal Unjuk Gigi
KapanLagi.com - Pemain: Iko Uwais, Siska Jesika, Christine Hakim, Donny Alamsyah, Yusuf Aulia, Laurent Buson, Alex Abbad, Mads Koudal.
Merantau adalah sebuah tradisi yang ada di Minangkabau, Sumatra Barat yang wajib dijalankan bagi setiap laki-laki yang tinggal di Minangkabau untuk pembelajaran diri. Tak terkecuali bagi Yuda (Iko Uwais), seorang pesilat Harimau. Ia harus merantau ke Jakarta, dan meninggalkan Minangkabau. Meski sang ibu, Wulan (Christine Hakim) melarangnya, tapi karena sudah bagian dari tradisi, maka Yuda tetap pergi meninggalkan ibunya, dan kakaknya Yayan (Donny Alamsyah) dengan tujuan menjadi guru silat.
Dari Minangkabau yang tenang dan penuh kenyamanan, Yuda harus berhadapan dengan kerasnya kehidupan di Jakarta. Tak kunjung menjadi guru silat, nasib pun mempertemukan dirinya dengan Adit (Yusuf Aulia) dan Astri (Siska Jesika), kakak beradik yang akhirnya menjadi korban sebuah organisasi human trafficking, pimpinan Ratger (Mads Koudal). Yuda pun tergerak hatinya untuk membantu Astri dan adiknya.
Yuda pun harus berhadapan dengan organisasi mafia, dan ia harus melawan kaki tangan Ratger, Luc (Laurent Buson) dan Johni (Alex Abbad) dan anak buahnya. Demi sebuah kebebasan, Yuda bersama Astri dan Adit melarikan diri dari para preman-preman dan mucikari yang terus mengejar mereka.
MERANTAU bisa menjadi jawaban atas 'kekekeringan' film-film Indonesia yang bermutu tapi juga tidak meninggalkan unsur entertainment di dalamnya. Film yang disutradarai oleh Gareth Evans, sutradara asal Inggris berusaha mengangkat salah satu kebudayaan asli Indonesia, yakni pencak silat ke dunia internasional.
Sebelum menggarap MERANTAU, Gareth terlebih dahulu melakukan research ke seluruh Indonesia mengenai pencak silat, dan pilihannya jatuh kepada pencak silat Harimau asal Minangkabau. Sebagai film dengan genre drama action, MERANTAU menyuguhkan adegan-adegan penuh action yang belum pernah ditayangkan di film laga lokal.
Dari sisi sinematografi, Gareth mampu menampilkan tontonan yang apik meski dengan budget 'terbatas', sekitar 15 miliar rupiah. Alhasil, adegan kejar-kejaran dan perkelahian melewati gang-gang sempit dan bahkan adegan ketika Yuda berkelahi di atas tumpukan-tumpukan bambu, terlihat sangat apik. Tak heran jika sebelum premier di Tanah Air, film ini telah mendapatkan standing applaus saat diputar di ajang film internasional di Korea dan Jogya beberapa waktu lalu.
Selain untuk mengangkat pencak silat, yang merupakan budaya asli Indonesia ke dunia internasional, MERANTAU ingin mengajak semua generasi muda Indonesia lebih mencintai dan bangga terhadap budaya asli Indonesia. Karena sesungguhnya, budaya asli Indonesia harus dipertahankan. Jika orang luar saja tertarik untuk membuat film dengan latar belakang budaya Tanah Air, kenapa kita yang lahir di Indonesia justru tidak bangga dengan budaya milik kita sendiri? (kpl/riz)
Komentar
Resensi film MERANTAU berjudul ‘MERANTAU’, Saatnya aksi lokal unjuk gigi yang ditulis salah seorang redaksi portal www.kapanlagi.com dengan nama pena riz ini dari segi judul berhasil menggambarkan isi film tersebut seperti apa. Pasalnya, film yang dibintangi artis kawakan Indonesia, Christine Hakim, ini memang menampilkan suguhan aksi laga. Harus diakui, judul yang tepat memudahkan pembaca memahami keseluruhan isi resensi.
Dari segi sistematika penulisan, riz telah mengerjakan tugasnya dengan menuliskan para pemain yang ada dalam film tersebut. Namun ada yang masih kurang seperti tahun produksi, produser, dan sutradara. Memulai dengan sebuah pendefinisian dari kata merantau itu sendiri serta langsung masuk kepada awal cerita adalah lead yang menarik pembaca. Resensi riz yang membawa pembaca mengetahui cerita secara keseluruhan dengan padat cukup berhasil. Terlihat riz tidak terjebak dalam alur ceritanya dengan to the point. Salah satunya bisa dilihat dari kalimat Yuda pun tergerak hatinya untuk membantu Astri dan adiknya. Padahal, bisa saja riz menceritakan terlebih dahulu awal mula Yuda bisa bertemu Adit dan Astri yang disebabkan Adit mencopet dompet Yuda kemudian ingin membantu karena kondisi dari Adit dan Astri.
Namun sayangnya, membaca resensi riz ini terkesan ”melindungi” film yang dibuat dengan budget sekitar 15 miliar rupiah ini. Hal ini terlihat dari resensi riz yang tidak menyinggung sama sekali kekurangan film ini. Padahal, film ini banyak kekurangannya terlepas dari mendapatkan standing applaus saat diputar di ajang film internasional di Korea dan menunjukkan pencak silat di dunia internasional lewat film. Segi cerita saja film ini tidak matang. Konflik yang ada hanya berkisar pada satu masalah. Menjadikan film ini terkurung pada satu konflik tersebut sehingga berdampak pada latarnya yang tidak bervariasi. Kritik yang semacam itu tidak ada dalam resensi riz untuk film ini. Bagaimanapun, namanya resensi harus memiliki cover both side yakni berimbangnya antara kelebihan dan kekurangan yang ada dalam film tersebut.
Memang boleh diakui jika film ini memiliki aksi laga yang tidak kalah dengan aksi laga film luar, tetapi penjelasan riz kurang memberikan gambaran dengan detail sehebat apa aksi laga yang ditampilkan. Padahal banyak yang bisa digali dari aksi laga tersebut misalkan betapa natural aksi yang dilakukan sehingga tidak seperti film-film Indonesia lainnya terlihat sekali dibuat-buatnya.
Satu hal lagi terlewat dari penulisan resensi ini yaitu penekanan persuasifnya yang kurang. Dalam alinea terakhir riz malah menyinggung bagaimana budaya Indonesia harus dipertahankan dan mencintainya. Bukan memberikan kalimat persuasif atau memberikan saran untuk menonton film ini dengan semua kelebihan yang ia tulis di alinea-alinea sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar