“Kampus…Kampus.….Sarjito…Sarjito..,” teriakan keras itu adalah suara kenek bis jalur 7. Bis yang telah lama saya tunggu. Suaranya panjang dan tentunya dengan logat jawa yang amat kental. Melegakkan memang, tapi agak menjengkelkan. Menanti bis di bawah terik matahari yang sedang menujukkan merahnya bukanlah pekerjaan menyenangkan. Bis jalur 7 atau nama lainnya bis Aspada ini memang rata-rata waktu kedatangnya lama. Atau hanya di sebrang pom bensin Jakal KM.5 saja tempat saya menanti bis jalur 7 kedatangannya lama?
Tangan saya yang sedikit basah bercucuran keringat melambai pertanda menyambut sahutan kenek. ”Yo...kiri...yo...,” teriak si kenek memberi tahu supir ada penumpang naik. Saya sering berpikir, rasanya daya tahan suara penyanyi kalah oleh seorang kenek. Bagaimana tidak, setiap hari, tikungan, perempatan terus beteriak mempersuasi orang naik bis. Dengan tidak mengurangi rasa sama beratnya pekerjaan, tanpa kenek supir bakal kewalahan. Namun, ada juga kenek yang pelit perihal suara. Hanya menujukkan jari ke arah calon penumpang dan menggerak-gerakannya sebagai bahasa tubuh untuk menggaet penumpang.
Tidak di dalam bis tidak di luar, satu kata: panas. Sabtu itu memang tidak bedanya dengan hari-hari biasanya di Jogja. Di dalam bis, saya duduk di depan persis sebelah supir. Kepulan asap rokok yang tebal dari supir seakan menyambut kedatangan saya. Sebuah sambutan yang kurang ramah. Kapan Jogja ada perda melarang merokok di kendaraan umum? Tanya saya dalam hati. Habis panas, sesak pun datang.
Penumpang bis memang tidak seramai biasanya pada hari sabtu. Maklum, kebanyakan orang libur kerja dan kuliah. Tidak banyak saya menemukan berbagai lapisan sosial individu di dalam bis. Berkisar antara mahasiswa, ibu-ibu, pelajar, dan pedagang yang menikmati jasa angkutan ini. Saat asik mengamati para penumpang lainnya, kenek menghampiri saya menagih ongkos. Bunyi gemerincing recehan dari tangan si kenek tanda saya harus bayar. “Masih 2.500 kan, Mas?” tanya saya sambil tesenyum.
Fenomena menarik terjadi saat bis berada di perempatan Magister Manajamen (MM) UGM. Bak pertandingan sepak bola, pergantian “pemain” dilakukan. Supir dan kenek turun dari bis. Beberapa detik, saya dan penumpang lain tidak mempunyai seorang supir. Kami layaknya kumpulan anak ayam kecil kehilangan induknya, bingung dan diam saja. Beberapa detik itu pula saya lega karena kepulan asap rokok tebal dari sang supir tadi akhirnya lenyap dari hadapan muka. Namun hanya sesaat, supir dan kenek pengganti naik. Dan asap rokok dari supir pun kembali menemani perjalanan di bis. Benar adanya, data yang mengatakan angka konsumsi rokok di Indonesia sangat tinggi.
Terlepas dari semua itu, supir pengganti terlihat lebih supel dari sebelumnya. Wajahnya yang murah senyum menjadi alasanya. Untuk membuktikannya saya mulai bertanya dengan pertanyaan ringan. “Setiap di perempatan MM UGM, gantian toh Mas?” tanya saya penasaran. “Iyo Mas. Di situ kita gantian. Bisa istirahat, makan dan minum,” jawabnya. Perkiraan saya benar, supir tersebut adalah orang yang enak untuk diajak ngobrol. Bahkan pria sedikit beruban itu balik bertanya, “Mau ke mana Mas?”
Sang supir itu bernama Juarno (47). Juarno mengawali pekerjaan sebagai supir bis sejak tahun 1990. Bapak tiga anak ini menghidupi keluarganya dengan mengandalkan hanya dengan pekerjaan ini. “Yah kalo dibilang cukup sih gak mas. Daripada gak punya pekerjaan,” ungkapnya. Setiap hari Juarno bekerja dari jam 5 subuh sampai jam 6 sore dengan penghasilan kurang-lebih lima puluh sampai tujuh puluh ribu per hari. “Gak tentu juga. Kadang lebih malah bisa kurang,” tambahnya.
Juarno selaku supir pun ikut merasakan panasnya hawa bis. Handuk putih kusam di atas pundaknya ia usapkan di wajahnya yang kebanjiran keringat. Seakan handuk kecil menjadi barang wajib yang harus dibawa seorang supir dalam tugasnya. Seragam biru laut yang ia kenakkan dihiasi keringat. Seragam biru laut itu pun terlihat lusuh dan kotor. Sebuah seragam supir dan kenek bis Aspada. “Sebenarnya memakai seragam ini diajurkan. Tapi ada juga supir dan kenek yang gak mau pake,” kata Juarno. Melihat Juarno dan keneknya yang memakai seragam biru laut yang sama-sama kotor dan lusuh, setidaknya mereka orang yang taat aturan perusahaan.
Bis jalur 7 yang saya naiki ditemukan berbagai kekurangan. Masih ada bangku yang reyot dan tidak nyaman untuk diduduki. Alas yang sobek sehingga busanya terlihat jelas. Dari segi kenyamanan, jarak kursi yang satu dengan yang lain bagi saya kurang lebar dan representatif. Dengan kata lain ruang penumpang untuk duduk sempit. Sehingga dengkul kaki selalu mencium bangku penumpang depan. Hal tersebut diakui Juarno, “Kebanyakan bis Aspada memang bis lama,” katanya.
Melihat fasilitas bis di Jogja khususnya, Indonesia umumnya memang masih jauh dari yang namanya ideal. Memang sudah ada Trans Jakarta dan Trans Jogja yang menjadi prototipe transportasi iedal di Indonesia, tapi sayangnya hanya itu saja. Di Jogja saja, selain Trans Jogja bis umumnya belum ideal. Padahal salah satu indikator sebuah negara dikatakan maju adalah mempunyai public transportation¬-nya yang unggul.
Saat bis sudah berada di depan Perpustakan Pusat UGM, supir memberhentikan bis setelah tanda bunyi koin yang dipantulkan berkali-kali oleh kenek ke besi. Tek...tek..tek... Bunyi koin lima ratus rupiah berwarna kuning emas terdengar lumayan nyaring. Menyusul bunyi tersebut, Beberapa penumpang pun trurun dari bis. “Kiri dulu!” saran kenek untuk mendahulukan kaki kiri kepada para penumpang yang turun. Patut diapresiasi apa yang dilakukan kenek. Sepintas hal yang kecil, tapi saran dari kenek membantu keselamatan penumpang. Dengan kaki kiri sebagai pijakan, meminimalisasi orang agar tidak terjatuh saat turun dari bis. Tek...tek...tek... Bunyi koin kembali berbunyi. Kali ini meminta supir melaju kembali.