SEDIKIT TENTANG NILAI
"SEGALA-GALANYA (BANYAK) DIMULAI DARI NILAI TAPI NILAI BUKAN SEGALA-GALANYA"
Seiring dengan masa ujian akhir semester mahasiswa yang telah usai dan cukup menguras tenaga karena mesti "bermesraan" dengan soal-soal—khususnya saya, mahasiswa yang notabene baru menjadi mahasiswa—alangkah indahnya berbicara mengenai sebuah kata yang mau-tidak mau, enak-tidak enak, sedikit-banyak, setuju-tidak setuju, akan terlontar kata yang terdiri dari lima huruf, N-I-L-A-I. Memang, sedikit melulu dan tidak up to date. Tapi sayangnya selalu menjadi Black In News yang ditunggu-tunggu bagi orang-orang yang masih berkutat dengan masalah itu (baca: siswa dan mahasiswa).
Dari zaman saya ingusan (sekolah dasar), mimpi basah, mulai pacaran, putus, nyambung, putus, nyambung dan sampai sekarang jadi mahasiswa yang katanya berbau idealis—padahal idealis tidak hanya milik mahasiswa—nilai pastinya sudah akrab. Bahkan, ada beberapa orang yang berani mengeluarkan kocek sebanyak-banyaknya untuk sekedar mendapat sebuah nilai yang tinggi. Apapun caranya, menghalalkan yang haram, membenarkan yang salah, dan melegalkan yang legal.
Ada beberapa pertanyaan mendasar sekaligus menggelitik. Apa sebenarnya esensi dari nilai itu sendiri? Apakah nilai itu penting? Dan seputar pertanyaan mengenai nilai lainnya. Dalam tulisan ini, nilai dibahas bukan dalam ranah general, akan tetapi nilai dalam artian sempit berkenaan dengan urusan akademik. Akan sangat meluas jika saya membahas nilai dalam konteks general.
Persepsi Umum
"Nilai loe berapa Gie?"
Selalu dan selalu pertanyaan itu muncul dari mulut teman saya (dari SD sampai kuliah) ketika pengumuman nilai hasil ujian. Ada yang salah dengan pertanyaan itu? Tentu tidak, namun jawaban saya yang terkadang agak menjengkelkan. Namun terkadang juga mengenakkan sebagai respon akan pertanyaan mereka. Sebelum saya jawab, saya selalu mengajukan pertanyaan serupa.
"Nah, nilai loe dulu donk berapa?"
Dan anehnya, mereka yang bertanya terlebih dahulu, mereka juga yang menjawab terlebih dahulu. Dengan tahu nilai mereka terlebih dahulu akan mempengaruhi jawaban saya yang akan dilontarkan. Jika teman saya nilainya besar dan lebih besar dibanding saya, maka dengan tegar dan optimis saya menjawab.
"Oh baguslah, nilai gue biasa aja. Tapi nilai BUKAN SEGALA-GALANYA Bos!!"
Jawaban yang terkesan membela diri. Namun di sisi lain, jika teman saya nilainya tidak lebih besar dari nilai yang saya punya. Jawaban yang keluar dari mulut manis saya akan seperti ini.
"Syukur Alhamdulillah nilai saya A+/100. SEGALA-GALANYA dilihat dari nilai, tapi tenang Boss! Nilai BUKAN SEGALA-GALANYA."
Hampir sama, namun jauh berbeda dengan jawaban sebelumnya. Kata segala-galanya dilihat dari nilai adalah sebuah bentuk optimisme. Kontra akan terlihat setelah mata menggeser ke kata selanjutnya. Ditambah embel-embel kata tapi nilai bukan segala-galanya sesudah kata segala-galanya dilihat dari nilai merupakan sebuah bentuk motivasi untuk teman yang nilainya misalkan, (maaf) kurang memuaskan. Memberi harapan bahwa hidup ini toh tidak hanya berkutat dengan masalah nilai.
Dari penggalan pengalaman dialog yang acapkali saya alami, membuat saya sadar ataupun tidak, berakibat rubahnya mind set selama ini tentang hakikat (ontologi) nilai. Sehingga tidak terlalu memusingkan diri untuk sekedar mendapat nilai yang "wah". Ada sesuatu yang jauh lebih penting dari sekedar nilai.
Umumnya, kebanyakan dari kita menganggap bahwa orang yang memiliki nilai yang tinggi adalah orang yang pintar dan pastinya orang hebat. IP 4.00 atau selalu mendapat nilai 10 setiap ujian adalah legitimasi bahwa orang yang menyandang nilai-nilai itu adalah best of the best. Betulkah seperti itu?
Saya punya sepupu yang menjadi santri di Pesantren Gontor. Pondok pesantren yang terkenal di antero negeri ini. Terkenal karena kualitas pendidikan dan kurikulum yang diterapkan di sana. Menurut cerita yang saya dengar dari sepupu, bahwa saat ujian banyak santri yang nilainya kurang memuaskan. Contohnya bahasa Inggris, secara test banyak yang nilainya di bawah garis standar. Entah karena soalnya sulit atau faktor yang lain.
Namun jangan dikira, kemampuan berbicaranya hampir bisa dan bahkan ada yang menyamai seorang native. Speak english fluently adalah kemampuan yang dimiliki. Ini dikarenakan selama hidup di pondok diwajibkan menggunakan bahasa Inggris atau Arab sebagai bahasa sehari-hari. Alasan yang sangat logis.
Dengan demikian, dalam contoh kasus ini ukuran nilai bukan apa-apa. Aplikasi materi yang didapat adalah jauh lebih diprioritaskan. Untuk apa nilai tinggi secara tertulis, namun aplikasi nothing. Tapi jauh lebih penting, nilai OK aplikasi OK pula. Dan yang jangan sampai terjadi adalah nilai ke mana aplikasi ke mana.
Hard skill dan Soft Skill
Nilai adalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah proses ujian. Konsekuensi berupa baik atau kurang baik. Nilai biasanya berhubungan dengan kemampuan akademik atau kata lainnya hard skill.
Bukti kongkretnya adalah ijazah. Ijazah adalah sebuah cermin diri atau simbol terhadap nilai hard skill. Tak heran, bila perusahan-perusahaan dan instansi lain yang sedang menerima lowongan umumnya akan melihat ijazah pelamar sebagai bahan pertimbangan diterima atau tidak.
Kadang yang terlupakan adalah keberadaan soft skill. Instansi-instansi tadi sering melupakan unsur yang satu ini. Padahal, soft skill ini adalah penting, sama pentingnya dengan hard skill. Nilai 100, tapi attitude 0 sama saja dengan omong kosong. Pintar, tetapi sosialisasi kurang buat apa. Keseimbangan memainkan kedua unsur inilah yang diharapkan untuk menjadi "orang" yang sesungguhnya.
Mengapa soft skill kadang diabaikan? Karena kita sebagai manusia juga sering memendamnya dan kurang memoles potensi yang ada dalam soft skill. Ditambah lagi soft skill tidak diajarkan di sebuah ruangan yang bernama kelas. Soft skill bukan sebuah kurikulum, apalagi sebuah pelajaran. Tidak ada sebuah nilai sebagai ukuran dalam soft skill.
Adalah problem solving, manajemen stress, kreatifitas, berjiwa kepemimpinan, organisator beberapa hal bagian dari soft skill. Ada salah satu pemikiran yang berbunyi thiking out of the box. Sebuah pemikiran yang mengajak kita untuk "keluar" dari pemikiran konvensional yang biasa. Thinking out of the box menuntut kita agar mencari hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Yang biasa menjadi tidak biasa.
Iklan Djraum Black salah satunya menyinggung soal ini. Ada salah satu iklannya yang mengedepankan kata think black! Membuat kita mesti berpikir kritis, beda, peka, dan tentunya thinking out of the box.
Akhirnya kita tahu sebagai seorang pembelajar dan belum menjadi manusia seutuhnya (orang sukses), hidup itu bukan berawal dari nilai. Nilai gampang didapat, dicari, bahkan dimanipulasi. Kemampuan sesungguhnya yang tidak bisa dilihat dengan nilai adalah yang bisa menjadi modal.
Kualitas bisa teruji dengan sejauh mana aplikasi kemampuan yang dimiliki dalam kehidupan. Sejauh kualitas aplikasi itu proporsional, sejauh itu pula hasil yang diraih dalam berbagai hal memuaskan. Determinasi, kerja keras, tak kenal lelah, kekuatan mimpi, doa, dan berpikir positif menjadi bahan bakar yang mau tidak mau mesti ada dalam kendaran yang bernama semangat. Teringat kata bijak dari seorang Thomas Alfa Edison, bahwa kecerdasan hanyalah 1%, sedangkan 99% adalah kerja keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar