Kamis, 29 Januari 2009

Wawancara Gubernur Jawa Barat

PRIBADI SANTUN DAN RAMAH ITU BERNAMA
AHMAD HERYAWAN
"Belajarlah sampai ke negeri orang. Dan ambilah semua hal yang didapat dan bermanfaat untuk diterapkan di tanah air." Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat.

Tidak ada niatan sama sekali dalam lawatan saya ke Bandung untuk bertemu seorang Ahmad Heryawan. Bahkan bertemu di gedung sate--gedung kebanggaan, dan “gedung putihnya” Jawa Barat. Sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya bertemu dengan orang nomor wahid di Jawa Barat ini. Hanya niatan silaturahmi ke teman-teman saya yang sedang kuliah di Bandunglah yang menjadi niatan awal saya bermusafir ke kota kembang.

Selasa (27/1) yang sejuk dan cerah menghiasi kota Bandung. Sosok berkaca mata tegap dan wibawa berjalan ke luar gedung sate diikuti ajudan dan para tamu dari Arab Saudi. Tebar senyum dan sapa kepada setiap orang yang ada di sekitarnya menjadi pemandangan yang rupawan. "Assalamualaikum," sapanya kepada setiap orang yang dilewati. Sosok itu tidak lain adalah Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat pertama plihan rakyat. Rupanya beliau telah menerima tamu dari Arab Saudi.

Pemprov Jabar tengah menjalin kerja sama dengan Arab Saudi dalam berbagai bidang. Bidang pendidikan, perdagangan serta kesenian. Kerja sama terutama diarahkan dalam bentuk pertukaran pelajar. Sehingga pelajar dari Jawa Barat bisa berkesempatan merasakan bagaimana belajar di luar negeri.

Naluri jurnalis saya muncul, saya kontan langsung ingin sekedar berbincang dengan beliau. Namun, saya menunggu momen yang tepat. Saya menunggu beliau melepas tamunya dari Arab Saudi terlebih dahulu. Dan momen itu pun datang, dengan gaya "penodongan" saya langsung mendatangi Gubernur yang sedang sendiri melihat tamunya meninggalkan gedung sate.

Kesan pertama berbincang dengan mantan anggota Komisi E Bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD DKI 2002-2004 ini begitu menyenangkan. Ahmad Heryawan begitu welcome. "Gimana-gimana, mau wawancara. Silahkan!"ungkapnya sambil merangkul pundak saya layaknya seorang sahabat.

Karena mendadak dan tidak ada outline sebelumnya, maka saya berimprovisasi. Pertanyaannya pun sekitar tentang apa yang telah saya lihat. Yakni tentang kerjasama dengan Arab Saudi terutama di bidang pendidikan. Heryawan mengatakan hal itu terkait dengan banyaknya perguruan tinggi terkenal terutama yang bergerak dalam bidang agama Islam. "Mereka justru sangat terbuka untuk menyediakan beasiswa bagi pelajar Indonesia yang ingin belajar ke sana," ujar Gubernur kelahiran Sukabumi, 19 Juni 1966 ini.

Pemerintah sendiri berusaha untuk memberikan dukungan sepenuhnya kepada para pelajar di Jawa Barat yang nantinya berkesempatan mendapat program ini. "Yah semestinya pemerintah harus memberikan dukungan terutama finansial. Kalau tidak begitu, bagaimana mereka bisa hidup nanti di sana,"ujarnya.

Harapannya dengan program seperti ini, hasil dari yang didapat dapat diaplikasikan di Indonesia. "Belajarlah sampai ke negeri orang. Dan ambilah semua hal yang didapat dan bermanfaat untuk diterapkan di tanah air," ujar mantan ketua umum DPW PKS DKI Jakarta 2003-2006 ini.

Pemimpin Merakyat, Ramah, dan Sederhana

Berbicara tentang sosok Ahmad Heryawan bisa dikata seorang yang fenomenal. Tidak diprediksi dan diunggulkan dalam pilkada Jabar oleh banyak kalangan tahun lalu. Akan tetapi predkasi hanyalah prediksi. Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf menuju gedung sate terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2008-2013.

Banyak orang yang memuji kinerja dan sikap Heryawan yang sederhana, arif, sopan, dan santun. Pun saya menyetujui 100% atas pujian orang yang diajukan kepada suami dari Netty Prasetyani ini.

Bagamana tidak, sikap ramah, bersahabat, dan tidak sombong karena memangku jabatan sebagai orang terdepan di Jawa Barat diperlihatkan di depan mata saya. Auranya pun begitu terasa sampai ke hati. Damai, tenang, dan nyaman saya rasakan tatkala berada di dekatnya.

Kinerja sebagai Gubernur pun tidak main-main. Kepeduliannya terhadap dunia pendidikan sangat getol diperjuangkan. Mulai dari kunjungan ke sekolah-sekolah yang terpencil dan memberikan bantuan dana langsung. Bahkan suatu ketika sedang berkunjung melihat sekolah yang roboh, bantuan yang tadinya berjumlah 50 juta rupiah dirubah menjadi 200 juta rupiah oleh Heryawan. Subhanallah, jarang saya menemukan pemimpin seperti ini di tengah krisis kepemimpinan.

Keseharian bersama keluarganya sangat sederhana. Pergi ke pasar untuk sekedar berbelanja kebutuhan sehari-hari tetap dilakoni. Seperti berbelanja bersama dengan istrinya di Pasar Cihaur Geulis Kota Bandung belum lama setelah dilantik. Sebelum menjadi Gubernur pun Heryawan sering pergi ke pasar bada shubuh membantu istrinya.

Heryawan merupakan jawaban dari pertanyaan pesimistis, "masih adakah pemimpin yang benar-benar pemimpin?" Religius, dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan berahlak yang baik adalah pemimpin yang kita idam-idamkan. Harapan itu masih ada, masih banyak Heryawan yang lainnya menjadi pemimpin yang insyaAllah amanah. Jawa Barat benar-benar tidak salah memilih pemimpin.

Yogi dan Ihsan berfoto bersama Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan seusai wawancara

Minggu, 25 Januari 2009

Narsis

NARIS=EKSIS
Narsis tampakya kata yang akrab di telinga kita dewasa ini. Entah siapa yang mencetuskan nama ini. Namun, setelah saya search engine, katanya sih narsis berasal dari cerita Yunani, tentang seorang pemuda bernama Narcissus. Dia sangat ganteng dan suka memuji dirinya sendiri, menolak cinta banyak gadis (dan janda?), tidak mudah tunduk pada rayuan beracun para wanita. Sampai suatu saat dia menolak cinta Echo, yang menyebabkan Echo patah hati, dan Narcissus dikutuk sehingga jatuh cinta pada bayangannya sendiri di air kolam. Katanya!!

Apapun latar belakang ceritanya, bisa kita generelasikan bahwa narsis adalah sebuah sikap yang membanggakan dan memuji dirinya sendiri. Sikap ini bisa terlihat dengan mendeteksinya dengan melihat seseorang tatkala berhadapan dengan kamera. Loh kenapa? Orang yang narsis jika dalam momen jeprat-jepret selalu ingin ada. Maka tak heran, orang narsis diidentikan dengan banyak photo dirinya terpampang baik di kameranya maupun kamera teman-temannya. Sikap narsis bisa kita lihat pula seperti di friendster, facebook, blog, dan situs pribadi lainnya. Banyak orang yang memampang photo dirinya sendiri dengan berbagai gaya (termasuk saya).

Eksistensi diri
Salahkah bersikap narsis? Hal ini mencuat karena ada beberapa orang--tidak semua--yang acapkali mengatakan, "Idih..narsis loh!" ketika menemukan temannya dilanda sikap narsis. Sebagai black in news saja, orang yang berkata seperti itu sebenarnya narsis juga. Mereka hanya kalah start duluan untuk bernarsis. Bahkan bisa dikatakan yang berkata, "Idih narsis loh" lebih narsis dari orang yang diolok-oloknya. Oleh karena itu, sesama narsis dilarang berkata"idih narsis loh!" Biarkanlah, mengalirlah seperti rombongan black car community yang menghiasi jalan raya.

Bersyukurlah orang yang memiliki sikap narsis. Yang tidak boleh adalah sikap narsis yang berlebihan. Sampai menghina orang, sombong, dan merendahkan yang lain. Narsis yang proporsional adalah narsis yang wajar-wajar saja. Narsis adalah tanda syukur atas pemberian Sang Maha Pencipta. Tanda syukur tersebut salah satunya dengan merawat diri dan menyayangi diri sendiri. Selain orang lain, siapa lagi yang menyayangi dan mencintai diri kita kecuali diri kita sendiri.

Isu eksistensi kerap muncul jika berbicara mengenai hal satu ini. Dengan narsis berarti kita ada. Ungkapan itu setalah dipikir-pikir benar juga adanya. Bisa kita bayangkan, jika kita sudah tua, ketika saat muda tidak bernarsis ria--dalam hal ini adanya photo ketika muda--tidak ada sesuatu yang bisa dikenang lewat album photo. Setidaknya bisa bernostalgia ria mengenang masa-masa muda lewat photo. Seperti halnya saya, saya ketika masa SMP dulu tidak terlalu eksis dengan bernarsis ria di depan kamera. Disamping dulu kamera digital belum sebooming sekarang ditambah lagi saya tidak PDan. Sehingga kenangan masa SMP lewat photo hanya sedikit. Intinya, eksistensi pun bisa dilihat dengan sikap narsis yang kita tonjolkan.

Jadi, jangan takut untuk bernarsis. Jika ingin tetap eksis maka salah satu jalannya adalah bernarsis. Eksis itu penting. Eksis berarti kita dianggap. Dianggap berarti kita ada. Dengan ada berarti kita hidup. Dengan hidup berarti bisa beramal dan beribadah.

Selasa, 20 Januari 2009

Logo Black

BUKAN SEKEDAR LOGO

Melihat logo, icon, atau nama lainnya brand dari Djarum Black sepintas terasa biasa-biasa saja. Namun logo dengan dasar huruf bertipe Arial Black berwarna putih, berlatar warna hitam dengan huruf a diganti dengan segita merah ini, tulisan “BLACK” menjadi sebuah karya inovasi yang mahal.

Siapapun orang yang mencetuskan ide dan membuat logo ini, kita patut mengapresiasi. Simple, jauh dari kesan neko-neko tetapi elegan adalah kesan yang didapat ketika melihatnya. Suatu pembelajaran penting bisa kita petik bahwa sebuah karya yang bagus tidak harus ribet dan rumit. Justru yang dianggap biasa diubah dengan sedikit sentuhan, bisa menjadi sesuatu yang tidak biasa. Perlu thinking out of the box untuk mencapai proses kreatif ini.

Alhasil, begitu banyak orang yang rela mencatumkan logo ini di beberapa benda khususnya kendaraan: baik motor ataupun mobil. Mereka merasa gagah bila logo Black terpampang di kendaraan mereka. Dengan dalih kembali kepada kesan logo tadi: mahal, elegan, dan inovatif. Imilah yang membuat logo black tidak hanya sekedar logo dari sebuah merek rokok.

Autoblackthrough yang merupakan the hottest hi-tech modified motorshow di negeri ini menjadi sebuah bukti. Di ajang ini bisa dilihat mobil-mobil dengan modifikasi gila-gilaan hasil para creator yang proporsional. Mobil-mobil hasil modifikasi menjadi lebih fantastis dan wah ketika “Black” terpampang di body mobil. Benar adanya, ide itu lebih mahal dari sebuah proses kreatifitas. Jadilah gudang ide cemerlang, maka anda akan menjadi “mahal”.

Sabtu, 17 Januari 2009

Sedikit Tentang Nilai

SEDIKIT TENTANG NILAI

"SEGALA-GALANYA (BANYAK) DIMULAI DARI NILAI TAPI NILAI BUKAN SEGALA-GALANYA"

Seiring dengan masa ujian akhir semester mahasiswa yang telah usai dan cukup menguras tenaga karena mesti "bermesraan" dengan soal-soal—khususnya saya, mahasiswa yang notabene baru menjadi mahasiswa—alangkah indahnya berbicara mengenai sebuah kata yang mau-tidak mau, enak-tidak enak, sedikit-banyak, setuju-tidak setuju, akan terlontar kata yang terdiri dari lima huruf, N-I-L-A-I. Memang, sedikit melulu dan tidak up to date. Tapi sayangnya selalu menjadi Black In News yang ditunggu-tunggu bagi orang-orang yang masih berkutat dengan masalah itu (baca: siswa dan mahasiswa).

Dari zaman saya ingusan (sekolah dasar), mimpi basah, mulai pacaran, putus, nyambung, putus, nyambung dan sampai sekarang jadi mahasiswa yang katanya berbau idealis—padahal idealis tidak hanya milik mahasiswa—nilai pastinya sudah akrab. Bahkan, ada beberapa orang yang berani mengeluarkan kocek sebanyak-banyaknya untuk sekedar mendapat sebuah nilai yang tinggi. Apapun caranya, menghalalkan yang haram, membenarkan yang salah, dan melegalkan yang legal.

Ada beberapa pertanyaan mendasar sekaligus menggelitik. Apa sebenarnya esensi dari nilai itu sendiri? Apakah nilai itu penting? Dan seputar pertanyaan mengenai nilai lainnya. Dalam tulisan ini, nilai dibahas bukan dalam ranah general, akan tetapi nilai dalam artian sempit berkenaan dengan urusan akademik. Akan sangat meluas jika saya membahas nilai dalam konteks general.

Persepsi Umum
"Nilai loe berapa Gie?"

Selalu dan selalu pertanyaan itu muncul dari mulut teman saya (dari SD sampai kuliah) ketika pengumuman nilai hasil ujian. Ada yang salah dengan pertanyaan itu? Tentu tidak, namun jawaban saya yang terkadang agak menjengkelkan. Namun terkadang juga mengenakkan sebagai respon akan pertanyaan mereka. Sebelum saya jawab, saya selalu mengajukan pertanyaan serupa.

"Nah, nilai loe dulu donk berapa?"

Dan anehnya, mereka yang bertanya terlebih dahulu, mereka juga yang menjawab terlebih dahulu. Dengan tahu nilai mereka terlebih dahulu akan mempengaruhi jawaban saya yang akan dilontarkan. Jika teman saya nilainya besar dan lebih besar dibanding saya, maka dengan tegar dan optimis saya menjawab.

"Oh baguslah, nilai gue biasa aja. Tapi nilai BUKAN SEGALA-GALANYA Bos!!"

Jawaban yang terkesan membela diri. Namun di sisi lain, jika teman saya nilainya tidak lebih besar dari nilai yang saya punya. Jawaban yang keluar dari mulut manis saya akan seperti ini.

"Syukur Alhamdulillah nilai saya A+/100. SEGALA-GALANYA dilihat dari nilai, tapi tenang Boss! Nilai BUKAN SEGALA-GALANYA."

Hampir sama, namun jauh berbeda dengan jawaban sebelumnya. Kata segala-galanya dilihat dari nilai adalah sebuah bentuk optimisme. Kontra akan terlihat setelah mata menggeser ke kata selanjutnya. Ditambah embel-embel kata tapi nilai bukan segala-galanya sesudah kata segala-galanya dilihat dari nilai merupakan sebuah bentuk motivasi untuk teman yang nilainya misalkan, (maaf) kurang memuaskan. Memberi harapan bahwa hidup ini toh tidak hanya berkutat dengan masalah nilai.

Dari penggalan pengalaman dialog yang acapkali saya alami, membuat saya sadar ataupun tidak, berakibat rubahnya mind set selama ini tentang hakikat (ontologi) nilai. Sehingga tidak terlalu memusingkan diri untuk sekedar mendapat nilai yang "wah". Ada sesuatu yang jauh lebih penting dari sekedar nilai.

Umumnya, kebanyakan dari kita menganggap bahwa orang yang memiliki nilai yang tinggi adalah orang yang pintar dan pastinya orang hebat. IP 4.00 atau selalu mendapat nilai 10 setiap ujian adalah legitimasi bahwa orang yang menyandang nilai-nilai itu adalah best of the best. Betulkah seperti itu?

Saya punya sepupu yang menjadi santri di Pesantren Gontor. Pondok pesantren yang terkenal di antero negeri ini. Terkenal karena kualitas pendidikan dan kurikulum yang diterapkan di sana. Menurut cerita yang saya dengar dari sepupu, bahwa saat ujian banyak santri yang nilainya kurang memuaskan. Contohnya bahasa Inggris, secara test banyak yang nilainya di bawah garis standar. Entah karena soalnya sulit atau faktor yang lain.

Namun jangan dikira, kemampuan berbicaranya hampir bisa dan bahkan ada yang menyamai seorang native. Speak english fluently adalah kemampuan yang dimiliki. Ini dikarenakan selama hidup di pondok diwajibkan menggunakan bahasa Inggris atau Arab sebagai bahasa sehari-hari. Alasan yang sangat logis.

Dengan demikian, dalam contoh kasus ini ukuran nilai bukan apa-apa. Aplikasi materi yang didapat adalah jauh lebih diprioritaskan. Untuk apa nilai tinggi secara tertulis, namun aplikasi nothing. Tapi jauh lebih penting, nilai OK aplikasi OK pula. Dan yang jangan sampai terjadi adalah nilai ke mana aplikasi ke mana.

Hard skill dan Soft Skill
Nilai adalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah proses ujian. Konsekuensi berupa baik atau kurang baik. Nilai biasanya berhubungan dengan kemampuan akademik atau kata lainnya hard skill.

Bukti kongkretnya adalah ijazah. Ijazah adalah sebuah cermin diri atau simbol terhadap nilai hard skill. Tak heran, bila perusahan-perusahaan dan instansi lain yang sedang menerima lowongan umumnya akan melihat ijazah pelamar sebagai bahan pertimbangan diterima atau tidak.

Kadang yang terlupakan adalah keberadaan soft skill. Instansi-instansi tadi sering melupakan unsur yang satu ini. Padahal, soft skill ini adalah penting, sama pentingnya dengan hard skill. Nilai 100, tapi attitude 0 sama saja dengan omong kosong. Pintar, tetapi sosialisasi kurang buat apa. Keseimbangan memainkan kedua unsur inilah yang diharapkan untuk menjadi "orang" yang sesungguhnya.

Mengapa soft skill kadang diabaikan? Karena kita sebagai manusia juga sering memendamnya dan kurang memoles potensi yang ada dalam soft skill. Ditambah lagi soft skill tidak diajarkan di sebuah ruangan yang bernama kelas. Soft skill bukan sebuah kurikulum, apalagi sebuah pelajaran. Tidak ada sebuah nilai sebagai ukuran dalam soft skill.

Adalah problem solving, manajemen stress, kreatifitas, berjiwa kepemimpinan, organisator beberapa hal bagian dari soft skill. Ada salah satu pemikiran yang berbunyi thiking out of the box. Sebuah pemikiran yang mengajak kita untuk "keluar" dari pemikiran konvensional yang biasa. Thinking out of the box menuntut kita agar mencari hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Yang biasa menjadi tidak biasa.

Iklan Djraum Black salah satunya menyinggung soal ini. Ada salah satu iklannya yang mengedepankan kata think black! Membuat kita mesti berpikir kritis, beda, peka, dan tentunya thinking out of the box.

Akhirnya kita tahu sebagai seorang pembelajar dan belum menjadi manusia seutuhnya (orang sukses), hidup itu bukan berawal dari nilai. Nilai gampang didapat, dicari, bahkan dimanipulasi. Kemampuan sesungguhnya yang tidak bisa dilihat dengan nilai adalah yang bisa menjadi modal.

Kualitas bisa teruji dengan sejauh mana aplikasi kemampuan yang dimiliki dalam kehidupan. Sejauh kualitas aplikasi itu proporsional, sejauh itu pula hasil yang diraih dalam berbagai hal memuaskan. Determinasi, kerja keras, tak kenal lelah, kekuatan mimpi, doa, dan berpikir positif menjadi bahan bakar yang mau tidak mau mesti ada dalam kendaran yang bernama semangat. Teringat kata bijak dari seorang Thomas Alfa Edison, bahwa kecerdasan hanyalah 1%, sedangkan 99% adalah kerja keras.