Cerita Home StayDi mana langit dipijak, di situ langit dijunjung. Berada di tempat orang lain, kita dituntut beradaptasi, menghormati, menjunjung tinggi nilai, kebiasaan, dan adat tempat tersebut. Begitulah peribahasa mengajarkan kita harus menyesuaikan diri di “daerah kekuasaan orang lain.”
Peribahasa yang sudah kita kenal sejak pendidikan dasar ini (benar-benar) saya aplikasikan saat saya melakukan home stay (tinggal) di rumah salah seorang teman Korea saya, Kim Dong-Sun.
Home stay adalah kegiatan terakhir dari rangkaian program Youth Camp for Asia’s Future 2009 yang saya ikuti. Tujuannya adalah untuk merasakan pengalaman dan berinteraksi secara langsung tentang kehidupan orang Korea secara lebih dekat.
Bersyukur saya ditempatkan bersama keluarga yang sangat baik. Kim Dong-Sun adalah teman saya yang juga merupakan partisipan dalam program Youth Camp for Asia’s Future 2009. Ayahnya, Kim In-Ho, adalah seorang insinyur dan ibunya bernama Lee Myung-Suk. Kim Dong-Sun adalah anak semata wayang dari pasangan tersebut.
Keluarga yang saya tinggali bisa dibilang adalah keluarga yang kaya raya. Bukan tanpa alasan saya mengatakan hal tersebut karena terlihat dari penampilan luarnya. Rumah mereka adalah apartemen dan berada di kawasan yang elit, memiliki perabotan rumah yang serba high-tech dan mahal, kendaraan yang mewah, dll. Saya sangat bersyukur bisa ditempatkan bersama keluarga yang plus-plus (sangat baik dan kaya pula).
Tamu adalah raja
Orang korea begitu memanjakan tamu. Itulah kesan pertama saat saya berada di rumah Kim Dong-Sun. Saya seakan dianggap keluarga mereka sendiri, bukan sebagai orang asing.
Selama tinggal di rumahnya banyak pengalaman dan pengetahuan yang saya dapat tentang adat-kebiasaan orang Korea. Salah satunya adalah adat ketika makan. Seperti orang yang lebih tua belum memulai untuk makan, orang yang lebih muda harus menunggu.
Orang yang lebih muda pun jangan berhenti makan sebelum orang yang lebih tua berhenti makan. Dan kalo perlu, kita makan sebanyak-banyaknya makanan yang dihidangkan oleh tuan rumah. Meskpiun terlihat maruk, tapi orang Korea justru sangat senang.
Kita juga jangan kagok kalo ingin bersendawa. Malah dengan bersendawa berarti kita sangat menerima dan menganggap makanan yang dimakan adalah enak. Mereka biasanya akan merespon seperti ini, “Masissjyo?” “Enak kan?”
Hal yang sangat mengejutkan dan tabu bagi saya adalah ketika malam hari akan tidur. Orang tua Kim Dong-Sun menyuruh saya tidur di kamar mereka. Bagaimana tidak tabu, tidur di kamar orang yang punya rumah dan orang yang punya rumah sendiri tidur di kamar tamu. Bayangkan kawan! Saya sangat kaget saat Ayahnya, Kim In-Ho, menyuruh saya segera ke kamarnya untuk tidur.
Posisi dilematis saya alami saat itu. Menolak tidak enak, takutnya dianggap tidak menghargai tuan rumah. Menerima permintaan juga tidak enak karena menurut saya hal tersebut kelewatan.
Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, “Apa begini yah kalo setiap tamu yang nginep di rumah orang Korea?” Akhirnya terpaksa dengan rasa tidak enak demi menghargai tuan rumah, saya pun tidur di kamar sang tuan rumah. Sebuah peristiwa yang sangat aneh dan langka terjadi.
Tidak sampai di situ, saya juga diberi fasilitas “anggaplah rumah sendiri”. Saya bebas mengakses internet, masak, makan, menelepon semaunya. Termasuk menelepon orang tua saya di Indonesia. Kebetulan sebelum home stay saya belum menelepon ke Indonesia. “Gwenchana Yogi. Bumonimhante jonhwahaseyo!” “Tenang, gak-apa Yogi. Teleponlah orang tuamu sana!” ucap Kim Dong-Sun.
Saat kegiatan home stay berakhir keluarga Kim memberikan kenang-kenangan dan hadiah untuk saya dan orang tua saya di Indonesia. Saya pun tak mau kalah, saya memberi mereka kenang-kenangan berupa sebuah wayang golek yaitu cepot. Tidak disangka mereka sangat senang dengan cepot. “Gwiwoyo!” “Lucu!” ucap Ibu Lee Myung-Suk.
Perpisahan, sebuah kata yang sangat tak enak untuk didengar. Begitu pula sama tak enaknya saat dialami. Tinggal bersama keluarga Kim Dong-Sun meskipun singkat telah memberikan pelajaran yang banyak bagi saya. Terutama dalam hal bagaimana menjamu tamu dengan baik. Salah satu keluarga yang tidak akan saya lupakan dalam hidup saya.
Petualangan dua minggu saya di negara kelahiran gelandang MU Park Ji-Sung ini adalah rezeki yang luar biasa besar diberikan Allah kepada saya. Semua biaya (pesawat pergi-pulang, hotel bintang lima, resort, akomodasi, transportasi, dll) selama di sana ditanggung pemerintah Korea. Demi mempromosikan Korea ke seluruh penjuru dunia, biaya yang dikeluarkan sangat besar sekali pun dilakoni pemerintah.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani bermimpi dan tak segan untuk belajar dari bangsa lain yang maju. Korea Selatan telah melakukan semua itu. Saya optimis, ke depan cahaya kemajuan bersinar menerangi bumi Indonesia. Amin!