Sabtu, 29 Mei 2010

Komentar Cerpen Senja

Sepotong Senja Untuk Pacarku


Karya:
Seno Gumira Ajidarma
Alina tercinta, bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Kamis, 27 Mei 2010

Resensi Film IP MAN

IP Man, Lika-Liku Hidup Sang Master Wing Chun

Pemain : Donnie Yen, Simon Yam, Lam Ka-Tung, Hiroyuki Ikeuchi, Xing Yu, Fan Siu-Wong, Lynn Hung, Wong You-Nam
Sutradara : Wilson Yip
Penulis : Edmond Wong
Produser : Raymond Wong
Produksi : Mandarin Films Distribution
Homepage : www.ipman-movie.com

Dalam dunia martial art (seni bela diri) nama IP Man sudah tidak asing lagi. Guru bela diri dari aktor laga kawakan Brucee Lee ini memang seorang yang fenomenal di negeri tirai bambu. IP Man adalah seorang master seni bela diri Wing Chun yang khas dengan mengandalkan bela diri jarak dekat dan kecepatan tangan.

Film IP Man mengisahkan perjalanan hidup sang master. Cerita film diadaptasi dari kisah nyata IP Man saat masa penjajahan Jepang di China sekitar tahun 30-an. Kisah dimulai dengan penggambaran bagaimana saat itu banyak orang mendirikan perguruan silat sebagai salah satu bentuk usaha. Namun IP Man mempunyai sikap berbeda dengan kebanyakan orang. Meskipun terkenal dan dihormati banyak orang, IP Man tidak begitu ngotot dan menonjolkan perguruan dan kemampuan bela dirinya.

Masa penjajahan mengharuskan IP Man bersinggungan dengan orang Jepang. Hal ini dikarenakan kesewenang-wenangan Jepang sehingga membuat IP Man tidak bisa tinggal diam. Perjuangan dan pergolakan IP Man dalam menghadapi semua itu menjadi garis besar cerita film.

Perpaduan aksi aktor laga Donie Yen selaku IP Man dan Sammo Hung selaku penata laga menghasilkan sebuah tontonan laga yang apik. Tontonan laga yang bisa dibilang tidak biasa ditampilkan dari film aksi laga China lainnya. Hal ini lantaran berani menyajikan pertarungan jarak dekat yang biasanya dihindari film silat China karena dianggap kurang menarik ditampilkan pada layar lebar. Namun hal tersebut justru dibantahkan dengan sendirinya karena sajian indah seni bela diri Wing Chun digambarkan begitu realistis dan natural. Pukulan dan tendangan begitu nyata dan tidak dibuat-buat. Bahkan adegan kaki, tangan, dan hidung patah ditampilkan begitu mirip dengan aslinya.

Selain itu, dipilihnya Donie Yen menjadi IP Man menjadi unsur yang menarik dari film ini. Sosok Donie Yen yang kalem dan menawan bisa mempresentasikan sosok IP Man dengan sempurna. Mungkin hasilnya akan berbeda misalkan dilakoni oleh aktor laga lainnya semisal Cho Yun Fat.

Hal yang selalu bisa terlihat dari setiap film berlatar jaman dulu adalah bagaimana latar tempat, pakaian, dan budaya ketika itu dibuat semirip jaman tersebut. Semua itu pun tersaji dengan apik d film IP Man. Unsur sinematografis dan properti film ini seakan membawa penonoton kembali ke masa China tahun 30-an.

Wing Chun sebagai salah satu bela diri asal China yang mentitikberatkan pada keahlian kecepatan tangan memang kalah pamor dari seni bela diri lain semisal kungfu, judo, atau taekwondo di kancah internasional. Tidak banyak yang tahu akan adanya seni bela diri tersebut. Sayangnya film ini tidak begitu eksplisit mendeskripsikan atau “mempresentasikan” seni bela diri yang dipopulerkan oleh IP Man ini.

Kekurangan lain film ini adalah tidak begitu mendalam sisi lain dari seorang IP Man selaku suami dan ayah. Meskipun ada beberapa adegan yang menggambarkan kebersamaan IP Man dengan istri dan anaknya, tetapi kurang cukup untuk melihat sisi humanistik sang master. Peran istri IP Man pun seakan tidak memberikan andil yang besar terhadap sikap dan pribadi sang suami. Sehingga sosok istri IP Man di dalam film terkesan sebagai pelengkap saja.

Terlepas dari kekurangan yang ada, film ini berani mendobrak pakem tentang film aksi. Sajian tidak monoton, baru, aksi, dan akting menawan Donie Yen adalah kombinasi yang digarap secara matang. Menjadi alternatif tontonan bagi pecinta film laga sebagai hiburan yang layak ditonton.

Rabu, 26 Mei 2010

Meresensi Resensi

'MERANTAU', Saatnya Aksi Lokal Unjuk Gigi

KapanLagi.com - Pemain: Iko Uwais, Siska Jesika, Christine Hakim, Donny Alamsyah, Yusuf Aulia, Laurent Buson, Alex Abbad, Mads Koudal.

Merantau adalah sebuah tradisi yang ada di Minangkabau, Sumatra Barat yang wajib dijalankan bagi setiap laki-laki yang tinggal di Minangkabau untuk pembelajaran diri. Tak terkecuali bagi Yuda (Iko Uwais), seorang pesilat Harimau. Ia harus merantau ke Jakarta, dan meninggalkan Minangkabau. Meski sang ibu, Wulan (Christine Hakim) melarangnya, tapi karena sudah bagian dari tradisi, maka Yuda tetap pergi meninggalkan ibunya, dan kakaknya Yayan (Donny Alamsyah) dengan tujuan menjadi guru silat.

Dari Minangkabau yang tenang dan penuh kenyamanan, Yuda harus berhadapan dengan kerasnya kehidupan di Jakarta. Tak kunjung menjadi guru silat, nasib pun mempertemukan dirinya dengan Adit (Yusuf Aulia) dan Astri (Siska Jesika), kakak beradik yang akhirnya menjadi korban sebuah organisasi human trafficking, pimpinan Ratger (Mads Koudal). Yuda pun tergerak hatinya untuk membantu Astri dan adiknya.

Yuda pun harus berhadapan dengan organisasi mafia, dan ia harus melawan kaki tangan Ratger, Luc (Laurent Buson) dan Johni (Alex Abbad) dan anak buahnya. Demi sebuah kebebasan, Yuda bersama Astri dan Adit melarikan diri dari para preman-preman dan mucikari yang terus mengejar mereka.

MERANTAU bisa menjadi jawaban atas 'kekekeringan' film-film Indonesia yang bermutu tapi juga tidak meninggalkan unsur entertainment di dalamnya. Film yang disutradarai oleh Gareth Evans, sutradara asal Inggris berusaha mengangkat salah satu kebudayaan asli Indonesia, yakni pencak silat ke dunia internasional.

Sebelum menggarap MERANTAU, Gareth terlebih dahulu melakukan research ke seluruh Indonesia mengenai pencak silat, dan pilihannya jatuh kepada pencak silat Harimau asal Minangkabau. Sebagai film dengan genre drama action, MERANTAU menyuguhkan adegan-adegan penuh action yang belum pernah ditayangkan di film laga lokal.

Dari sisi sinematografi, Gareth mampu menampilkan tontonan yang apik meski dengan budget 'terbatas', sekitar 15 miliar rupiah. Alhasil, adegan kejar-kejaran dan perkelahian melewati gang-gang sempit dan bahkan adegan ketika Yuda berkelahi di atas tumpukan-tumpukan bambu, terlihat sangat apik. Tak heran jika sebelum premier di Tanah Air, film ini telah mendapatkan standing applaus saat diputar di ajang film internasional di Korea dan Jogya beberapa waktu lalu.
Selain untuk mengangkat pencak silat, yang merupakan budaya asli Indonesia ke dunia internasional, MERANTAU ingin mengajak semua generasi muda Indonesia lebih mencintai dan bangga terhadap budaya asli Indonesia. Karena sesungguhnya, budaya asli Indonesia harus dipertahankan. Jika orang luar saja tertarik untuk membuat film dengan latar belakang budaya Tanah Air, kenapa kita yang lahir di Indonesia justru tidak bangga dengan budaya milik kita sendiri? (kpl/riz)

Komentar
Resensi film MERANTAU berjudul ‘MERANTAU’, Saatnya aksi lokal unjuk gigi yang ditulis salah seorang redaksi portal www.kapanlagi.com dengan nama pena riz ini dari segi judul berhasil menggambarkan isi film tersebut seperti apa. Pasalnya, film yang dibintangi artis kawakan Indonesia, Christine Hakim, ini memang menampilkan suguhan aksi laga. Harus diakui, judul yang tepat memudahkan pembaca memahami keseluruhan isi resensi.

Dari segi sistematika penulisan, riz telah mengerjakan tugasnya dengan menuliskan para pemain yang ada dalam film tersebut. Namun ada yang masih kurang seperti tahun produksi, produser, dan sutradara. Memulai dengan sebuah pendefinisian dari kata merantau itu sendiri serta langsung masuk kepada awal cerita adalah lead yang menarik pembaca. Resensi riz yang membawa pembaca mengetahui cerita secara keseluruhan dengan padat cukup berhasil. Terlihat riz tidak terjebak dalam alur ceritanya dengan to the point. Salah satunya bisa dilihat dari kalimat Yuda pun tergerak hatinya untuk membantu Astri dan adiknya. Padahal, bisa saja riz menceritakan terlebih dahulu awal mula Yuda bisa bertemu Adit dan Astri yang disebabkan Adit mencopet dompet Yuda kemudian ingin membantu karena kondisi dari Adit dan Astri.

Namun sayangnya, membaca resensi riz ini terkesan ”melindungi” film yang dibuat dengan budget sekitar 15 miliar rupiah ini. Hal ini terlihat dari resensi riz yang tidak menyinggung sama sekali kekurangan film ini. Padahal, film ini banyak kekurangannya terlepas dari mendapatkan standing applaus saat diputar di ajang film internasional di Korea dan menunjukkan pencak silat di dunia internasional lewat film. Segi cerita saja film ini tidak matang. Konflik yang ada hanya berkisar pada satu masalah. Menjadikan film ini terkurung pada satu konflik tersebut sehingga berdampak pada latarnya yang tidak bervariasi. Kritik yang semacam itu tidak ada dalam resensi riz untuk film ini. Bagaimanapun, namanya resensi harus memiliki cover both side yakni berimbangnya antara kelebihan dan kekurangan yang ada dalam film tersebut.

Memang boleh diakui jika film ini memiliki aksi laga yang tidak kalah dengan aksi laga film luar, tetapi penjelasan riz kurang memberikan gambaran dengan detail sehebat apa aksi laga yang ditampilkan. Padahal banyak yang bisa digali dari aksi laga tersebut misalkan betapa natural aksi yang dilakukan sehingga tidak seperti film-film Indonesia lainnya terlihat sekali dibuat-buatnya.

Satu hal lagi terlewat dari penulisan resensi ini yaitu penekanan persuasifnya yang kurang. Dalam alinea terakhir riz malah menyinggung bagaimana budaya Indonesia harus dipertahankan dan mencintainya. Bukan memberikan kalimat persuasif atau memberikan saran untuk menonton film ini dengan semua kelebihan yang ia tulis di alinea-alinea sebelumnya.

Ketok Mejik Lokomotif Jogja

Jika motor dan mobil yang rusak dibawa ke bengkel. Maka lokomotif kereta yang rusak dibawa ke Balai Yasa.

Penjajahan tidak selamanya menghasilkan sebuah kesengsaraan dan kerugian. Beberapa warisan kolonial di Indonesia bahkan sangat bermanfaat kehadirannya. Balai Yasa adalah salah satu warisan kolonial Belanda di Indonesia yang keberadaannya sangat dibutuhkan. Balai Yasa merupakan sebuah tempat memperbaiki lokomotif kereta api yang ada di Yogyakarta. ”Bisa dibilang rumah sakitnya lokomotif,” ucap Amirudin, staf pelaksana Bagian Umum Balai Yasa.
Memiliki sekitar 470 lebih teknisi menjadikan Balai Yasa salah satu bengkel lokomotif terbesar di pulau Jawa. Berdiri di atas tanah seluas 12,88 hektar dan memiliki luas bangunan 4.37 hektar ini, Balai Yasa telah banyak memperbaiki lokomotif rusak yang beroperasi di pulau Jawa.

Layanan lokomotif
Balai Yasa berdiri tahun 1914 dengan nama Central Werkplaats dengan tugas pokoknya melaksanakan perbaikan lokomotif, gerbong, dan kereta. Balai Yasa sempat diambil alih oleh Jepang tahun 1942. Lalu diambil alih pemerintah Indonesia setelah proklamasi pada 28 Septemper 1945 dengan nama Balai Karya. Berubah nama menjadi Balai Yasa tahun 1959 dengan tugas pokok melaksanakan layanan untuk lokomotif terutama perbaikan.

Diakui Amirudin, layanan yang sering dikerjakan adalah perbaikan lokomotif. ”Mayoritas di sini kita memperbaiki lokomotif yang rusak,” terangnya. Amirudin menambahkan kerusakan yang terjadi kebanyakan akibat umur lokomotif yang sudah tua. Hal ini dikarenakan lokomotif yang beroperasi di Indonesia mayoritas produk-produk lama. ”Bahkan sudah ada yang gak layak pakai lagi,” aku Amirudin.

Kerusakan akibat ulah manusia seperti kecelakaan bukan tidak ada. ”Bisa juga kecelakaan kereta dan ulah manusia seperti bonek,” ungkap Wawik, staf bagian Kelangsungan Kerja (KK) Balai Yasa. Namun presentasinya lebih kecil. ”Cuman gak banyak,” tambahnya.

Lingkup dan alur kerja Balai Yasa bisa dikategorikan kompleks. Terlihat dari banyaknya layanan yang diberikan untuk lokomotif. “Tidak hanya perbaikan lokomotif, tapi pemaksimalan kerja lokomotif juga kita lakukan seperti modifikasi,” kata Wawik. Pemeriksaaan berkala, pengetesan, dan pencucian lokomotif adalah layanan lain yang ada di Bala Yasa.

Selama empat tahun sekali Balai Yasa melakukan pemeriksaan akhir terhadap semua lokomotif yang beredar di pulau Jawa. Ini dimaksudkan untuk mengevaluasi secara besar-besaran terhadap kualitas lokomotif. “Selain itu kita juga ada program yang dua tahunan. Namanya SPA singkatan dari Semi Pemerikasaan Akhir sebagai persiapan untuk yang empat tahunan,” imbuh Wawik.

Mengusung motto keselamatan dan kelayakan, Balai Yasa peduli terhadap keselamatan para pegawainya. Keselamatan memang hal yang sangat dijaga di Balai Yasa. Pasalnya, barang-barang yang dikerjakan tidak sembarangan. Ditambah alat-alatnya pun tergolong berat dan berbahaya. Risiko kecelakaan saat bekerja sangat rentan terjadi. Sehingga para teknisi dilindungi dengan perlengkapan keselamatan kerja. Helm industri dan seragam yang memenuhi standar keselamatan menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Ketat
Tidak semua orang bisa memasuki kawasan Balai Yasa yang berada sebelah timur stasiun Lempuyangan ini. Jika hanya ingin melihat-lihat dan tidak ada urusan yang penting, jangan harap bisa diizinkan masuk. “Kalau tidak ada kepentingan seperti magang, penelitian, dan reportase kami tidak mengizinkan untuk masuk,” tutur Amirudin. Alasan keselamatan dan kelancaran produktivitas kerja di Balai Yasa menjadi pertimbangannya.

Balai Yasa memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan magang. Menurut Amirudin, mahasiswa jurusan teknik kerap magang dan mengadakan penelitian di Balai Yasa. Fasilitas perpustakaan yang dimiliki Balai Yasa ikut memperkaya dan mempermudah referensi terutama tentang perkeretaapian. Tidak hanya mahasiswa, masinis dan teknisi pun sering mengadakan pelatihan seperti workshop.

Lokasinya yang representatif tergolong jauh dari perumahan warga tidak menimbulkan keluhan warga. Suara-suara mesin, bangkai lokomotif, dan limbah mesin tidak menjadi masalah. Bagaimanapun, bengkel warisan Belanda ini telah turut menjaga kualitas moda transportasi khususnya kereta api sehingga layak beroperasi.

Selasa, 25 Mei 2010

Balada Bis Jogja

“Kampus…Kampus.….Sarjito…Sarjito..,” teriakan keras itu adalah suara kenek bis jalur 7. Bis yang telah lama saya tunggu. Suaranya panjang dan tentunya dengan logat jawa yang amat kental. Melegakkan memang, tapi agak menjengkelkan. Menanti bis di bawah terik matahari yang sedang menujukkan merahnya bukanlah pekerjaan menyenangkan. Bis jalur 7 atau nama lainnya bis Aspada ini memang rata-rata waktu kedatangnya lama. Atau hanya di sebrang pom bensin Jakal KM.5 saja tempat saya menanti bis jalur 7 kedatangannya lama?

Tangan saya yang sedikit basah bercucuran keringat melambai pertanda menyambut sahutan kenek. ”Yo...kiri...yo...,” teriak si kenek memberi tahu supir ada penumpang naik. Saya sering berpikir, rasanya daya tahan suara penyanyi kalah oleh seorang kenek. Bagaimana tidak, setiap hari, tikungan, perempatan terus beteriak mempersuasi orang naik bis. Dengan tidak mengurangi rasa sama beratnya pekerjaan, tanpa kenek supir bakal kewalahan. Namun, ada juga kenek yang pelit perihal suara. Hanya menujukkan jari ke arah calon penumpang dan menggerak-gerakannya sebagai bahasa tubuh untuk menggaet penumpang.

Tidak di dalam bis tidak di luar, satu kata: panas. Sabtu itu memang tidak bedanya dengan hari-hari biasanya di Jogja. Di dalam bis, saya duduk di depan persis sebelah supir. Kepulan asap rokok yang tebal dari supir seakan menyambut kedatangan saya. Sebuah sambutan yang kurang ramah. Kapan Jogja ada perda melarang merokok di kendaraan umum? Tanya saya dalam hati. Habis panas, sesak pun datang.

Penumpang bis memang tidak seramai biasanya pada hari sabtu. Maklum, kebanyakan orang libur kerja dan kuliah. Tidak banyak saya menemukan berbagai lapisan sosial individu di dalam bis. Berkisar antara mahasiswa, ibu-ibu, pelajar, dan pedagang yang menikmati jasa angkutan ini. Saat asik mengamati para penumpang lainnya, kenek menghampiri saya menagih ongkos. Bunyi gemerincing recehan dari tangan si kenek tanda saya harus bayar. “Masih 2.500 kan, Mas?” tanya saya sambil tesenyum.

Fenomena menarik terjadi saat bis berada di perempatan Magister Manajamen (MM) UGM. Bak pertandingan sepak bola, pergantian “pemain” dilakukan. Supir dan kenek turun dari bis. Beberapa detik, saya dan penumpang lain tidak mempunyai seorang supir. Kami layaknya kumpulan anak ayam kecil kehilangan induknya, bingung dan diam saja. Beberapa detik itu pula saya lega karena kepulan asap rokok tebal dari sang supir tadi akhirnya lenyap dari hadapan muka. Namun hanya sesaat, supir dan kenek pengganti naik. Dan asap rokok dari supir pun kembali menemani perjalanan di bis. Benar adanya, data yang mengatakan angka konsumsi rokok di Indonesia sangat tinggi.

Terlepas dari semua itu, supir pengganti terlihat lebih supel dari sebelumnya. Wajahnya yang murah senyum menjadi alasanya. Untuk membuktikannya saya mulai bertanya dengan pertanyaan ringan. “Setiap di perempatan MM UGM, gantian toh Mas?” tanya saya penasaran. “Iyo Mas. Di situ kita gantian. Bisa istirahat, makan dan minum,” jawabnya. Perkiraan saya benar, supir tersebut adalah orang yang enak untuk diajak ngobrol. Bahkan pria sedikit beruban itu balik bertanya, “Mau ke mana Mas?”

Sang supir itu bernama Juarno (47). Juarno mengawali pekerjaan sebagai supir bis sejak tahun 1990. Bapak tiga anak ini menghidupi keluarganya dengan mengandalkan hanya dengan pekerjaan ini. “Yah kalo dibilang cukup sih gak mas. Daripada gak punya pekerjaan,” ungkapnya. Setiap hari Juarno bekerja dari jam 5 subuh sampai jam 6 sore dengan penghasilan kurang-lebih lima puluh sampai tujuh puluh ribu per hari. “Gak tentu juga. Kadang lebih malah bisa kurang,” tambahnya.

Juarno selaku supir pun ikut merasakan panasnya hawa bis. Handuk putih kusam di atas pundaknya ia usapkan di wajahnya yang kebanjiran keringat. Seakan handuk kecil menjadi barang wajib yang harus dibawa seorang supir dalam tugasnya. Seragam biru laut yang ia kenakkan dihiasi keringat. Seragam biru laut itu pun terlihat lusuh dan kotor. Sebuah seragam supir dan kenek bis Aspada. “Sebenarnya memakai seragam ini diajurkan. Tapi ada juga supir dan kenek yang gak mau pake,” kata Juarno. Melihat Juarno dan keneknya yang memakai seragam biru laut yang sama-sama kotor dan lusuh, setidaknya mereka orang yang taat aturan perusahaan.

Bis jalur 7 yang saya naiki ditemukan berbagai kekurangan. Masih ada bangku yang reyot dan tidak nyaman untuk diduduki. Alas yang sobek sehingga busanya terlihat jelas. Dari segi kenyamanan, jarak kursi yang satu dengan yang lain bagi saya kurang lebar dan representatif. Dengan kata lain ruang penumpang untuk duduk sempit. Sehingga dengkul kaki selalu mencium bangku penumpang depan. Hal tersebut diakui Juarno, “Kebanyakan bis Aspada memang bis lama,” katanya.

Melihat fasilitas bis di Jogja khususnya, Indonesia umumnya memang masih jauh dari yang namanya ideal. Memang sudah ada Trans Jakarta dan Trans Jogja yang menjadi prototipe transportasi iedal di Indonesia, tapi sayangnya hanya itu saja. Di Jogja saja, selain Trans Jogja bis umumnya belum ideal. Padahal salah satu indikator sebuah negara dikatakan maju adalah mempunyai public transportation¬-nya yang unggul.

Saat bis sudah berada di depan Perpustakan Pusat UGM, supir memberhentikan bis setelah tanda bunyi koin yang dipantulkan berkali-kali oleh kenek ke besi. Tek...tek..tek... Bunyi koin lima ratus rupiah berwarna kuning emas terdengar lumayan nyaring. Menyusul bunyi tersebut, Beberapa penumpang pun trurun dari bis. “Kiri dulu!” saran kenek untuk mendahulukan kaki kiri kepada para penumpang yang turun. Patut diapresiasi apa yang dilakukan kenek. Sepintas hal yang kecil, tapi saran dari kenek membantu keselamatan penumpang. Dengan kaki kiri sebagai pijakan, meminimalisasi orang agar tidak terjatuh saat turun dari bis. Tek...tek...tek... Bunyi koin kembali berbunyi. Kali ini meminta supir melaju kembali.

Sisi Lain Lampu Merah

Kedapatan lampu merah di perempatan—apalagi waktunya yang lama—tidaklah mengenakkan. Setidaknya itulah mayoritas orang rasakan. Untuk sebagian orang yang sedang diburu waktu, lampu merah adalah musuh. Terlepas dari semua itu, sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan saat lampu merah menghadang laju kendaraan kita. Saya sendiri kerap mematikan mesin kendaraan motor. Alasannya sederhana, di samping menghemat bahan bakar yang mahal, juga untuk mengurangi polusi udara. Setidaknya untuk beberapa menit. Hitung-hitung ikut berkontribusi stop global warming. Jika ada SMS yang masuk, lampu merah juga bisa menjadi timming tepat untuk membalas karena waktunya relatif lama. Apalagi jika SMS tersebut sangat penting utuk dibalas. Mengamati plat nomor kendaraan lain adalah kerjaan yang tidak luput saya lakukan saat lampu merah. Sebelum tinggal di Jogja untuk kuliah, pengetahuan saya tentang nomor kendaraan dan asal kotanya bisa dibilang ”miskin”. Hanya plat nomor kendaraan Z, B, D, A lah yang saya tahu dari mana asal kotanya. Setelah tinggal di Jogja, pengetahuan tentang plat nomor pun meningkat. Ini dikarenakan begitu beragamnya plat nomor yang ada. Sehingga tidak hanya didominasi oleh plat AB selaku tuan rumah, tetapi plat nomor kendaraan luar Jogja pun ikut meramaikan wajah lalu lintas Jogja.

Dengan melihat banyaknya plat nomor kendaraan begitu majemuk berkeliaran di Jogja, hal ini semakin memperkuat Jogja sebagai kota yang multikultur. Ada yang bilang juga sebagai miniatur Indonesia. Tidak berlebihan karena banyak orang dari berbagai latar belakang, kota, etnis, dan suku tinggal bersama. Bahkan ada orang yang pernah berkata, “Merasakan hidup dengan multikultur yang tinggi, datanglah ke Jogja!” Ucapan persuasif yang kerap orang bilang untuk menggambarkan bagaimana corak kehidupan plural di tanah bekas kerajaan Mataram ini. Banyak beredarnya kampus dan UGM sebagai kampus ternama Indonesia di Jogja menjadi daya tarik orang luar daerah untuk menjadikan Jogja tujuan untuk menimba ilmu (kuliah). Berawal dari lampu merah, ke-plural-an yang menghiasi ranah kehidupan Jogja terlihat. Kembali menyadarkan kita bahwa betapa kayanya budaya dan suku di Indonesia. Tentunya tidak sampai di situ. Menjaga keutuhan keberagaman inilah yang harus kita lakoni. Lampu merah, tidak sekedar menghadang laju kendaraan kita untuk kelancaran lalu lintas. Dari sana, banyak hal yang bisa kita dapat.

Kamis, 05 November 2009

Catatan Perjalanan di Negeri Ginseng, Korea Selatan (8, Habis)

Cerita Home Stay

Di mana langit dipijak, di situ langit dijunjung. Berada di tempat orang lain, kita dituntut beradaptasi, menghormati, menjunjung tinggi nilai, kebiasaan, dan adat tempat tersebut. Begitulah peribahasa mengajarkan kita harus menyesuaikan diri di “daerah kekuasaan orang lain.”

Peribahasa yang sudah kita kenal sejak pendidikan dasar ini (benar-benar) saya aplikasikan saat saya melakukan home stay (tinggal) di rumah salah seorang teman Korea saya, Kim Dong-Sun.

Home stay adalah kegiatan terakhir dari rangkaian program Youth Camp for Asia’s Future 2009 yang saya ikuti. Tujuannya adalah untuk merasakan pengalaman dan berinteraksi secara langsung tentang kehidupan orang Korea secara lebih dekat.

Bersyukur saya ditempatkan bersama keluarga yang sangat baik. Kim Dong-Sun adalah teman saya yang juga merupakan partisipan dalam program Youth Camp for Asia’s Future 2009. Ayahnya, Kim In-Ho, adalah seorang insinyur dan ibunya bernama Lee Myung-Suk. Kim Dong-Sun adalah anak semata wayang dari pasangan tersebut.

Keluarga yang saya tinggali bisa dibilang adalah keluarga yang kaya raya. Bukan tanpa alasan saya mengatakan hal tersebut karena terlihat dari penampilan luarnya. Rumah mereka adalah apartemen dan berada di kawasan yang elit, memiliki perabotan rumah yang serba high-tech dan mahal, kendaraan yang mewah, dll. Saya sangat bersyukur bisa ditempatkan bersama keluarga yang plus-plus (sangat baik dan kaya pula).

Tamu adalah raja
Orang korea begitu memanjakan tamu. Itulah kesan pertama saat saya berada di rumah Kim Dong-Sun. Saya seakan dianggap keluarga mereka sendiri, bukan sebagai orang asing.

Selama tinggal di rumahnya banyak pengalaman dan pengetahuan yang saya dapat tentang adat-kebiasaan orang Korea. Salah satunya adalah adat ketika makan. Seperti orang yang lebih tua belum memulai untuk makan, orang yang lebih muda harus menunggu.

Orang yang lebih muda pun jangan berhenti makan sebelum orang yang lebih tua berhenti makan. Dan kalo perlu, kita makan sebanyak-banyaknya makanan yang dihidangkan oleh tuan rumah. Meskpiun terlihat maruk, tapi orang Korea justru sangat senang.

Kita juga jangan kagok kalo ingin bersendawa. Malah dengan bersendawa berarti kita sangat menerima dan menganggap makanan yang dimakan adalah enak. Mereka biasanya akan merespon seperti ini, “Masissjyo?” “Enak kan?”

Hal yang sangat mengejutkan dan tabu bagi saya adalah ketika malam hari akan tidur. Orang tua Kim Dong-Sun menyuruh saya tidur di kamar mereka. Bagaimana tidak tabu, tidur di kamar orang yang punya rumah dan orang yang punya rumah sendiri tidur di kamar tamu. Bayangkan kawan! Saya sangat kaget saat Ayahnya, Kim In-Ho, menyuruh saya segera ke kamarnya untuk tidur.

Posisi dilematis saya alami saat itu. Menolak tidak enak, takutnya dianggap tidak menghargai tuan rumah. Menerima permintaan juga tidak enak karena menurut saya hal tersebut kelewatan.

Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, “Apa begini yah kalo setiap tamu yang nginep di rumah orang Korea?” Akhirnya terpaksa dengan rasa tidak enak demi menghargai tuan rumah, saya pun tidur di kamar sang tuan rumah. Sebuah peristiwa yang sangat aneh dan langka terjadi.

Tidak sampai di situ, saya juga diberi fasilitas “anggaplah rumah sendiri”. Saya bebas mengakses internet, masak, makan, menelepon semaunya. Termasuk menelepon orang tua saya di Indonesia. Kebetulan sebelum home stay saya belum menelepon ke Indonesia. “Gwenchana Yogi. Bumonimhante jonhwahaseyo!” “Tenang, gak-apa Yogi. Teleponlah orang tuamu sana!” ucap Kim Dong-Sun.

Saat kegiatan home stay berakhir keluarga Kim memberikan kenang-kenangan dan hadiah untuk saya dan orang tua saya di Indonesia. Saya pun tak mau kalah, saya memberi mereka kenang-kenangan berupa sebuah wayang golek yaitu cepot. Tidak disangka mereka sangat senang dengan cepot. “Gwiwoyo!” “Lucu!” ucap Ibu Lee Myung-Suk.

Perpisahan, sebuah kata yang sangat tak enak untuk didengar. Begitu pula sama tak enaknya saat dialami. Tinggal bersama keluarga Kim Dong-Sun meskipun singkat telah memberikan pelajaran yang banyak bagi saya. Terutama dalam hal bagaimana menjamu tamu dengan baik. Salah satu keluarga yang tidak akan saya lupakan dalam hidup saya.

Petualangan dua minggu saya di negara kelahiran gelandang MU Park Ji-Sung ini adalah rezeki yang luar biasa besar diberikan Allah kepada saya. Semua biaya (pesawat pergi-pulang, hotel bintang lima, resort, akomodasi, transportasi, dll) selama di sana ditanggung pemerintah Korea. Demi mempromosikan Korea ke seluruh penjuru dunia, biaya yang dikeluarkan sangat besar sekali pun dilakoni pemerintah.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani bermimpi dan tak segan untuk belajar dari bangsa lain yang maju. Korea Selatan telah melakukan semua itu. Saya optimis, ke depan cahaya kemajuan bersinar menerangi bumi Indonesia. Amin!