Kamis, 22 November 2007

An Essay About Primordialisme

BELENGGU BANGSA YANG BERNAMA PRIMORDIALISME FANATIK
Sebuah pengalaman di sekolah penulis ketika akan diadakannya pelatihan kepemimpinan atau yang akrab disebut Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS). Kebetulan penulis menjabat sebagai Ketua MPK (Majelis Permusyawaratan Kelas) di sekolah. Penulis bekerja sama dengan Ketua OSIS untuk mengadakan pelatihan tersebut. Seperti diketahui, LDKS ini adalah sarana dan syarat bagi para calon pengurus OSIS dan MPK. Jalan cerita, kami pun membentuk panitia dan menetapkan persyaratan-persyaratan bagi para peserta.

Ada hal yang tidak kami kira sebelumnya, sesuatu hal yang semestinya tidak harus terjadi. Seluruh siswa kelas XI memprotes kepada kami kelas XII yang notabene adalah panitia LDKS. Protes tersebut dilatarbelakangi atas kebijakan panitia LDKS yang menyatukan kelas X dan XI dalam pelatihan tersebut. Mereka beralasan tidak seharusnya kelas X disatukan dengan kelas XI. Mereka merasa tidak pantas dan gengsi jika mesti berbaur dengan adik kelasnya. Pun mereka berasumsi telah mendapat pengalaman dari masa jabatan OSIS dan MPK sebelumnya. Mereka merasa tidak perlu mengikuti lagi LDKS dengan adik kelasnya.

Penulis dan teman-teman panitia merasa kaget akan protes yang dilayangkan. Sungguh hal tersebut di luar dugaan kami selaku panita. Padahal niat kami selaku panitia adalah baik, untuk menjalin rasa kebersamaan antar calon pengurus OSIS dan MPK nantinya. Dengan tidak memandang kelas, senior atau junior, berpengalaman atau belum. Semua setting tersebut tidak lain untuk membentuk jiwa kebersamaan dan kekompakkan.

Melihat kejadian tersebut, penulis bisa menyimpulkan satu hal. Bahwa ini adalah salah satu bentuk dari primordialisme. Bisa dibilang ini merupakan bentuk primordialisme yang paling kecil. Artinya ruang lingkupnya adalah kecil (antar kelas). Membangga-banggakan dan mengangung-agungkan kelasnya seperti yang dilakukan kelas XI.

Kelas XI rasanya telah salah menempatkan rasa cinta terhadap kelasnya. Sense of belonging mereka terlalu berlebihan sehingga mereka terlalu fanatik terhadap kelasnya. Dilihat dari kaca mata penulis, mereka serasa membangga-banggakan dan mengagung-agungkan akan jati diri ke-XI-nya. Sampai-sampai gengsi dan tidak mau berbaur bersama adik kelasnya untuk mengikuti pelatihan.

Berkaca dari peristiwa tersebut, penulis tergerak untuk mengkaji mengenai salah satu faham yang hadir di tengah masyarakat Indonesia ini. Faham yang bisa diartikan kurang lebih suatu rasa di mana seseorang cinta dan bangga terhadap daerah kelahiran atau asalnya. Dengan kata lain semangat kedaerahan yang menjadi inti dari primordialisme ini.

Primordialisme muncul dalam diri setiap orang. Karena sangat manusiawi sekali dan tidak akan terlepas dari rasa tersebut. Primordialisme yang tinggi biasanya muncul kepada seseorang yang tengah melakukan suatu perantauan ke kota besar. Contohnya, seseorang merantau dari Sumatra ke Jakarta. Seseorang tersebut pastinya akan tetap memiliki rasa cinta terhadap daerahnya meskipun sudah berada di Jakarta. Salah satu faktornya adalah adanya semangat seperti ini, meskipun jauh-jauh dari desa, tetapi bisa menaklukkan ibu kota. Apalagi jika seseorang yang tengah merantau tersebut sukses dan berhasil di ibu kota. Primordialisme pun semakin tertanam dalam diri. Seakan menampik pribahasa kacang lupa akan kulitnya. Pastinya mereka tidak melupakan daerah kelahirannya. Bahkan akan semakin bangga dan ingin menunjukkan bahwa putra daerah pun bisa maju dan berhasil.

Ragam cara orang mengejawantahkan sikap dari primordialisme itu sendiri. Contoh nyata seperti halnya di kalangan mahasiswa. Apalagi jika berada di kampus yang terdiri dari banyak mahasiswa dari berbagai daerah. Penulis mengambil sample adanya himpunan-himpunan mahasiswa daerah. Ini mengindikasikan bahwasannya benar, semangat kedaerahan telah terpatri di dalam setiap mahasiswa yang berasal dari daerah.

Program kerjanya pun lebih fokus terhadap daerahnya. Berkaca kepada pengalaman penulis. OSIS sekolah penulis pernah diajak kerja sama oleh HIMALAYA Jakarta. Sebuah himpunan mahasiswa yang berakronim Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya. Himpunan yang beranggotakan mahasiswa asal Tasikmalaya yang sedang kuliah di Jakarta ini menggaet OSIS sekolah penulis mengadakan suatu acara. Inti dari acara itu sendiri tidak lain untuk membangun semangat pengabdian dan kecintaan terhadap daerah kelahiran. Sampai-sampai mengundang salah satu pejabat Indonesia yang berasal dari Tasikmalaya, yaitu Agum Gumelar.

Jika berbicara mengenai primordialisme. Memang bisa dibilang sesuatu yang mesti kita sikapi dengan penuh kehati-hatian dan kedewasaan. Karena, hal ini menyangkut soal egosentris dari latar belakang yang berbeda. Seperti yang dilansir sebelumnya, primordialisme hadir dalam diri setiap manusia. Primordialisme pastinya tertanam pada setiap orang dari berbagai daerah. Mereka tentunya sangat mencintai dan bangga akan daerahnya. Intinya, di Indonesia sedikit saja salah penempatan dari kebanggaan terhadap daerahnya bisa memicu sebuah konflik.

Republik Indonesia sendiri adalah sebuah negara yang memiliki masyarakat majemuk. Masyarakat yang menurut J.S. Furnivall (1967) adalah masyarakat yang terdiri dari atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik. Indonesia sendiri dikategorikan masyarakat majemuk karena memiliki struktur yang beranekaragam. Hal ini secara horizontal ditandai dengan adanya keanekaragaman suku bangsa, agama, ras, dan antar golongan.

Konsekuensi dari prularisme yang berada dalam tatatan sosial masyarakat Indonesia tersebut jelas menimbulkan keinginan show up atau menonjolkan diri. Baik pemikiran, ide, ataupun kepentingan yang pada dasarnya mementingkan suatu komunitasnya sendiri (daerah). Jelas, dalam teori kenegaraan dan semangat nasionalisme ini merupakan signal yang kurang baik. Bagaimana suatu negara bisa maju, jika masyarakatnya hanya mementingkan daerahnya masing-masing.

Kembali, hal ini sangat memicu timbulnya adanya sebuah konflik. Konflik yang pastinya menimbulkan hal yang destruktif bagi persatuan dan kesatuan negara. Primordialisme yang berlebihan atau fanatik acap kali yang membuat tatanan persatuan terkikis. Terlalu mengagung-agungkan daerah/suku sehingga memandang daerah/suku lain rendah. Menganggap daerahnya lah yang paling baik. Bisa kita bayangkan jika setiap daerah menganut primordilisme secara fanatik. Orang Batak akan bangga dengan Bataknya, orang Jawa akan bangga dengan wong jowonya, orang Sunda akan bangga dengan sundanya, dst. Sampai-sampai melecehkan atau merendahkan suku yang lain. Jika itu terjadi, kapan Indonesia bisa maju? Sedangkan masyarakatnya sendiri sibuk dengan kepentingan-kepentingan pribadi daerahnya. Sampai-sampai mengesampingkan kepentingan bersama (negara).

Bisa kita bayangkan pula jika semangat fanatik dalam primordialisme muncul dalam pemilihan presiden. Misalnya, presiden terpilih adalah berasal dari Kalimantan. Maka orang non-Kalimantan tidak akan menerima presiden tersebut, karena bukan berasal dari daerahnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan menekan habis-habisan terhadap kinerja presiden dan bersikap radikal. Selalu menganggap salah dan salah, tidak ada benarnya dalam roda pemerintahan. Semua itu dilatarbelakangi karena tadi. Presiden tersebut bukan berasal dari daerahnya.

Primordialisme fanatik mengajak orang untuk bagaimana caranya agar daerahnya tetap eksis. Sebuah doktrin untuk mau tidak mau daerahnya yang mesti muncul dan terdepan. Ego yang memang sangat tidak baik bagi membina suatu persatuan bernegara. Bagaimana negara bisa sukses di mata dunia (eksternal), di internalnya pun belum sukses. Sibuk sikut sana, sikut sini. Padahal jika setiap daerah/suku adalah keluarga.

Hal ini tentunya bisa menjadi bumbu perpecahan bagi suatu negara jika setiap elemen masyarakat tidak bersikap dewasa dan proporsional. Maka tidak heran, jika banyaknya gerakan separatis yang muncul di Indonesia. Primordialisme fanatik menjadi salah satu faktor pendukung. Di samping rasa tidak puas terhadap sebuah kebijakan atau kondisi negara. GAM, RMS, dan OPM menjadi pelajaran yang berharga bagi Indonesia. Keteledoran dari bangsa Indonesia ini sejatinya menjadi tamparan yang besar. Slogan Bhineka Tunggal Ika pun seakan menjadi sesuatu yang tidak terimplikasikan di lapangan. Esensi dari Bhineka Tunggal Ika itu sendiri tidak lagi relevan.

Teringat akan konsep yang dikembangkan oleh Ary Ginanjar Agustian mengenai ESQ. Sebuah training kecerdasan yang menggabungkan IQ, SQ, dan EQ. Dalam paparannya Ary Ginanjar mengatakan bahwa manusia memiliki tujuh belenggu kehidupan. Ketujuh belenggu tersebut adalah sudut pandang, pembanding, pengalaman, literatur, kepentingan, dan prinsip hidup. Semua itu merupakan belenggu yang selama ini membuat seseorang ataupun diri kita selalu konflik, bermusuhan, tidak dewasa, menganggap orang lain salah, dll.

Titik Tuhan atau God Spot dalam istilah ESQ tidak akan tercapai dalam zero mind process selama belenggu-belenggu tersebut belum bisa diatasi dan dihapus. Sangkut paut terhadap primordilisme memang sangat berkorelasi. Karena sebagian dari tujuh belenggu tersebut yang menjadi titik tolak adanya semangat primordialisme.

Belenggu-belenggu tersebut dalam teori sosiologi merupakan sebab-sebab timbulnya sebuah konflik. Perbedaan yang menjadi sorotan utama di sini. Perbedaan, rasanya bukan lagi hal yang dianggap tabu di kalangan masyarakat Indonesia. Berbeda suku, logat bahasa, agama, dll. Sayangnya, di Indonesia mayoritas masyarakat selalu memandang sebagai suatu permusuhan. Belum ada kedewasaan yang muncul dari setiap masyarakat. Meskipun tidak semua masyarakat bersikap seperti itu.

Padahal jika kita renungkan dan pikirkan baik-baik. Perbedaan adalah suatu rahmat yang diberikan Sang Pencipta. Keindahan bisa hadir karena suatu perbedaan. Tubuh kita saja terdiri dari banyak perbedaan. Mulai dari Kepala, tangan, kaki, dll. Bisa dibayangkan, jika tubuh kita hanya terdiri dari satu elemen. Keindahan dipastikan tidak akan muncul.

Ada kalanya kita sebagai manusia mesti memandang segala sesuatu tidak dengan sudut pandang perbedaan. Berbeda ide menjadi musuh, berbeda jalan menjadi lawan. Sedikit saja berbeda acap kali perbedaan tersebut dibesar-besarkan. Inilah yang salah dari cara kita dalam mensikapi sebuah dinamika kehidupan. Kesamaan yang rasanya jarang kita cari. Kesamaan pula yang jelas-jelas ada di depan kita tetapi seakan tidak dihiraukan begitu saja. Seakan tertutup oleh belenggu kehidupan yang disebutkan sebelumnya, merasa enggan untuk bersatu.

Historis Indonesia sendiri tidak luput dari suatu segmentasi yang acap kali membuat struktur tatanan kemasyarakatannya bisa dibilang agak labil. Gagasan nasional yang digembor-gemborkan para pejuang pun sempat mengalami krisis. Bayang-bayang disintegrasi seakan menjadi momok bagi para elite politik pada saat itu. Indonesia mesti menelan pil pahit ketika Timor Timur melakukan sebuah manuver atas wilayahnya. Manuver yang membuat rantai nasional mengalami kelemahan. Peristiwa tersebut menjadi sebuah isyarat mengenai otokrasi atau perpecahan yang menjadi mimpi buruk apabila terjadi. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Disintegrasi Pakistan pada 1971 dan Uni Sovyet pada 1991 menjadi contoh nyata bahwa negara besar dan multikultural dapat bubar di bawah tekanan perubahan politik yang cepat dan mendasar.

Indonesia memang ditakdirkan untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Dengan lebih dari 13.000 pulau yang terbentang dari sabang sampi merauke sepanjang lebih dari 5.000 km dan melintasi tiga zona waktu. Tidak salah jika semua itu menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Di balik semua itu, tentunya banyak hal yang dihadapi bangsa Indonesia. Bangsa yang besar, tentunya menghadapi permasalahan yang besar pula. Termasuk menyinggung soal hubungan keanekaragaman dan kesolidan penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa.

Sikap toleransi dan empati sosial bisa memberikan sebuah titik terang kaitannya dengan keanekaragaman masyarakat Indonesia. Keanekaragaman kebudayaan, serta aspek kemasyarakatan lainnya. Pengenalan keanekaragaman budaya ini sebaiknya dilakukan sejak dini dan dikembangkan melalui bidang pendidikan. Pendidikan yang menekankan pluralitas dan multikulturalitas merupakan modal sosial budaya kita yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Harapan yang muncul, dengan pendidikan semacam itu pada akhirnya masyarakat mampu menghargai secara tulus, komunikatif, terbuka, dan tidak saling curiga. Keterbukaan merupakan nilai penting. Jika tidak ada keterbukaan, apapun yang berbeda akan selalu dicurigai dan dianggap musuh.

Perhatian kepada etika normatif pun menjadi sesuatu yang mesti dijalankan. Masyarakat sosial dengan segala aktifitasnya mau tidak mau mesti mematuhi segala norma-norma yang ada. Dengan konsekuensi apabila melenceng dari norma, menanggung sendiri sanksi dari masing-masing norma. Kesadaran untuk menjalin hubungan yang baik antarsesama tanpa memandang perbedaan latar belakang bisa terlaksana. Dan semua itu tidak hanya mimpi, jika semangat nasionalisme secara komprehensif dan kontinu tertanam dalam diri setiap pribadi.

Satu hal lagi yang tidak kalah penting. Sikap mau menerima, memahami dan mendalami budaya etnis atau suku lain merupakan cara yang tepat dalam mentolerisasi sebuah konflik. Kita jangan menutup diri terhadap budaya lain yang akibatnya justru akan semakin memperdalam jurang pemisah antargolongan dalam masyarakat.

Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mesti melalui proses yang cukup menguji keeksistensian jati diri bangsa. Konsensus bagi kemajuan bangsa yang besar seperti Indonesia akan menuai hasil yang terbaik. Dan itu besar harapannya bagi masyarakat. Kasus seperti ini tidak bisa ditempuh dengan stalemate yang dengan sendirinya menghilang. Tetapi diperlukan sebuah usaha dan iktikad yang baik dan kedewasaan dari setiap insan sosial masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar