
Kita terlahir di dunia sebagai mahluk sosial. Hal ini tidak dapat kita elakkan. Mau tidak mau kita akan menjalani hidup ini tidak mungkin tanpa bantuan orang lain. Non sense apabila ada seseorang yang memproklamirkan dirinya tidak memerlukan bantuan orang lain.
Insan sosial, istilah lain yang bisa menjabarkan manusia sebagai mahluk sosial. Fenomena di masyarakat sangat jelas menggambarkan manusia sebagai insan sosial. Ini bisa kita tengok dari berbagai sudut pandang.
Secara ekonomi saja, sangat jelas manusia tidak bisa hidup sendiri. Bisa dibayangkan, mungkin aktifitas jual beli tidak akan ada. Ini mengindikasikan bahwasannya memang benar, jika manusia memang insan sosial. Apalagi dalam dunia politik. Dunia yang bisa dibilang, dunianya para konseptor suatu negara. Dunia di mana selalu dinamis. Dunia di mana sesorang bisa menghalalkan segala cara. Dunia di mana bisa membuat seseorang tambah imannya atau malah sebaliknya.
Terlepas dari semua tetek bengek dunia politik. Sadar atau tidak, seseorang yang masuk dalam dunia politik, tentunya membutuhkan kawan. Contoh kecil, seseorang yang membuat partai. Bukan suatu partai namanya jika hanya terdiri dari seorang individu tanpa memiliki masa.
Berbicara mengenai politik, disamping memerlukan kawa
n ternyata juga memerlukan rival. Mungkin kita akan bertanya-tanya. Inilah yang disebut dengan peta konflik. Dunia politik justru membawa kita dalam suatu kompetisi. Akan tetapi kompetisi dengan cara sehat tentunya. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Karena melalui suatu konflik tersebut, diharapkan nantinya akan muncul konflik yang konstruktif (membangun).

Artinya, dengan konflik tersebut menghasilkan sesuatu yang membangun kedua belah pihak. Kemerdekaan negara kita saja mesti melalui konflik terlebih dahulu. Sejarah mencatat bahwasannya negara yang kita cintai Republik Indonesia ini dihadapkan dengan konflik internal.
Kita tentu masih ingat ketika persiapan kemerdekaan Indonesia, kaum muda dan kaum tua berselisih pendapat mengenai pr
oklamasi kemerdekaan. Kaum muda yang dimotori oleh Adam Malik dan rekan pemuda lainnya, menginginkan agar proklamasi kemerdekaan segera diproklamasikan.

Di sisi lain, kaum tua yaitu Soekarno dan rekan yang lainnya justru terkesan menunda-nunda kemerdekaan. Dengan dalih proklamasi kemerdekaan RI mesti dilakukan pada moment yang tepat. Konflik tersebut berlanjut dengan dibawanya Soekarnao, Hatta, dan kaum tua lainnya ke Rengasdengklok oleh kaum muda. Dibawanya kaum tua oleh kaum muda ke Rengasdengklok untuk segera merumuskan kemerdekaan RI.
Setelah dirumuskan, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikanlah kemerdekaan Indonesia oleh Soekarnao dan Hatta. Sejak itulah RI memproklamasikan kemerdekaannya secara de facto. Konflik antara kaum muda dan kaum tua tersebut menghasilkan suatu konflik yang konstruktif. Di mana dengan ad
anya konflik dari kedua belah pihak tersebut menghasilkan sesuatu yang mengubah nasib bangsa Indonesia.

Bisa kita bayangkan, jika kaum muda tidak memberikan “tekanan” kepada kaum tua untuk untuk segera memproklamasikan kemerdekaan RI. Mungkin kemerdekaan RI diproklamasikan tidak terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 atau mungkin akan ditunda-ditunda.
Konflik tidak selamanya menimbulkan efek yang negatif (destruktif). Konflik juga bisa menghasilkan sesuatu yang positif apabila kita menyikapi konflik tersebut dengan dewasa dan proporsional. Dengan kepala dingin, kedewasaan bisa membuahkan konsensus yang bermanfaat bagi penyelesaian konflik tersebut.
wah...banyak sekali foto-fotonya terpajang di sini. ini jadi mengingatkan saya ketika SMA dulu dan aktif di beberapa ekstrakurikuler.
BalasHapuskenangan masa SMA benar-benar berkesan buat saya. ada yang benar-benar hanya belajar tanpa ikut organisasi/ekskul dan ada pula yang selain belajar ikut di organisasi/ekskul.
semoga sukses menjadi reporter sekolahnya dan juga tetap berprestasi di bangku sekolah.