Benar kata orang yang pernah menjadi mahasiswa perantauan, menjadi mahasiswa perantauan memang selalu ada kesan dan cerita menarik yang bisa disampaikan kepada keluarga dan teman yang ada di daerah asal. Pengalaman yang sarat akan makna di dalamnya.
Mulai dari bagaimana hidup mandiri di kostan, jauhnya perjalanan dari daerah asal, uang kiriman belum sampai, uang jatah sebulan habis, dan berbagai polemik lainnya yang dialami mahasiswa perantauan.
Pun semua tetek bengek itu saya alami sekarang sebagai mahasiswa asal Tasik menempuh pendidikan di UGM Yogyakarta.
Jauhnya perjalanan dari Tasik-Yogya menuntut saya untuk menggunakan jasa transportasi, baik itu bis ataupun kereta. Namun, saya lebih memilih menggunakan kereta daripada bis dalam hal perjalanan Tasik-Yogya ataupun sebaliknya.
Ekonomis dan efisiensi menjadi alasan utama. Menggunakan jasa kereta bisa lebih berhemat daripada bis, apalagi jika kereta ekonomi. Lama perjalanan pun sedikit lebih cepat.
Perjalanan Tasik-Yogya dengan kereta kelas ekonomi (Pasundan) sudah menjadi langganan. Kereta ekonomi memang pas dengan uang saku mahasiswa apalagi bagi mahasiswa seperti saya dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan.
Menggunakan jasa kereta ekonomi menurut pandangan banyak orang adalah tidak nyaman, tidak aman, dan persepsi miring lainnya. Asumsi tersebut padahal tidak selamanya benar.
Seringnya menggunakan jasa kereta ekonomi membuat saya melihat ada pembelajaran berharga dari alat transportasi yang akrab disebut dengan kereta rakyat ini.
Pertama, menggunakan kelas ekonomi melatih diri kita untuk bersabar. Momen ini akan dialami tatkala kereta penuh seperti saat liburan sekolah dan arus mudik. Hal tersebut menuntut kita mau tidak mau untuk bersabar mendapatkan tempat duduk.
Yang tidak ada di kelas lain dan didapat di kelas ekonomi yakni adanya hiburan. Adanya pengamen adalah buktinya. Sehingga selama perjalanan tidak sunyi dan dihibur oleh seniman jalanan yang memainkan musik tidak kalah dengan musisi profesional.
Di kereta ekonomi penumpang seakan dimanjakan. Banyak pedagang dengan sendirinya akan menghampiri penumpang untuk menawarkan produk-nya masing-masing. Pedagang air minum, makanan, obat-obatan, mainan, accessories, bahkan pulsa HP pun bisa kita temui.
Hal yang lebih memberikan kesan, kita bisa melatih kepekaan sosial dengan beramal dan bersyukur. Bagi yang selama ini sulit untuk beramal ke mana uangnya akan diamalkan, rasanya kereta ekonomi adalah jawabannya.
Bagaimana tidak, ternyata masih banyak orang-orang yang kurang beruntung yang tanpa disadari hadir di tengah-tengah kita. Berharap mendapat perhatian dan bantuan dari penumpang yang notabene lebih beruntung.
Rasa syukur akan muncul terasa tatkala melihat fenomena tersebut. Bisa kita bayangkan para pedagang, pengamen, dan pengemis yang setiap harinya dengan motif tidak lain untuk mendapatkan uang demi sesuap nasi rela menghabiskan hari-harinya di gerbong kereta.
Status kita sebagai homo homini socius pun akan sangat terasa. Penumpang yang berbeda latar belakang, daerah, logat bahasa, dan kebudayaan berbaur satu sama lain dalam satu tempat. Interaksi sosial pastinya tak pelak terjadi.
Pembelajaran tidak hanya kita dapatkan di kelas, ataupun di sebuah tempat yang formal, tetapi juga di tempat yang kita anggap tidak ada pun bisa kita ambil pembelajaran.
Kereta ekonomi telah menjawabanya. Begitu banyak fenomena sosial yang kadang kita hiraukan. Padahal memberi pembelajaran yang amat berharga tentang kerasnya kehidupan.
naik kereta api tut tut tut. . . hehehe
BalasHapustrkadang mta hati dan fikiran qta trtu2p untk mlht hal sprt it. .
ap wkt mudik kmrn gie jg ga kbgian krsi? trus klo pnumpang yg cm naek d ats krta kya gt msh da ga? btw sa blm prnh naek krta ne. . hehe
gie brkunjung ath k blog sa!!
ksh coment lakh. . *me2las ne*