Minggu, 19 Oktober 2008

Cerita Kereta

Benar kata orang yang pernah menjadi mahasiswa perantauan, menjadi mahasiswa perantauan memang selalu ada kesan dan cerita menarik yang bisa disampaikan kepada keluarga dan teman yang ada di daerah asal. Pengalaman yang sarat akan makna di dalamnya.
Mulai dari bagaimana hidup mandiri di kostan, jauhnya perjalanan dari daerah asal, uang kiriman belum sampai, uang jatah sebulan habis, dan berbagai polemik lainnya yang dialami mahasiswa perantauan.

Pun semua tetek bengek itu saya alami sekarang sebagai mahasiswa asal Tasik menempuh pendidikan di UGM Yogyakarta.
Jauhnya perjalanan dari Tasik-Yogya menuntut saya untuk menggunakan jasa transportasi, baik itu bis ataupun kereta. Namun, saya lebih memilih menggunakan kereta daripada bis dalam hal perjalanan Tasik-Yogya ataupun sebaliknya.
Ekonomis dan efisiensi menjadi alasan utama. Menggunakan jasa kereta bisa lebih berhemat daripada bis, apalagi jika kereta ekonomi. Lama perjalanan pun sedikit lebih cepat.

Perjalanan Tasik-Yogya dengan kereta kelas ekonomi (Pasundan) sudah menjadi langganan. Kereta ekonomi memang pas dengan uang saku mahasiswa apalagi bagi mahasiswa seperti saya dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan.

Menggunakan jasa kereta ekonomi menurut pandangan banyak orang adalah tidak nyaman, tidak aman, dan persepsi miring lainnya. Asumsi tersebut padahal tidak selamanya benar.
Seringnya menggunakan jasa kereta ekonomi membuat saya melihat ada pembelajaran berharga dari alat transportasi yang akrab disebut dengan kereta rakyat ini.

Pertama, menggunakan kelas ekonomi melatih diri kita untuk bersabar. Momen ini akan dialami tatkala kereta penuh seperti saat liburan sekolah dan arus mudik. Hal tersebut menuntut kita mau tidak mau untuk bersabar mendapatkan tempat duduk.

Yang tidak ada di kelas lain dan didapat di kelas ekonomi yakni adanya hiburan. Adanya pengamen adalah buktinya. Sehingga selama perjalanan tidak sunyi dan dihibur oleh seniman jalanan yang memainkan musik tidak kalah dengan musisi profesional.

Di kereta ekonomi penumpang seakan dimanjakan. Banyak pedagang dengan sendirinya akan menghampiri penumpang untuk menawarkan produk-nya masing-masing. Pedagang air minum, makanan, obat-obatan, mainan, accessories, bahkan pulsa HP pun bisa kita temui.

Hal yang lebih memberikan kesan, kita bisa melatih kepekaan sosial dengan beramal dan bersyukur. Bagi yang selama ini sulit untuk beramal ke mana uangnya akan diamalkan, rasanya kereta ekonomi adalah jawabannya.
Bagaimana tidak, ternyata masih banyak orang-orang yang kurang beruntung yang tanpa disadari hadir di tengah-tengah kita. Berharap mendapat perhatian dan bantuan dari penumpang yang notabene lebih beruntung.

Rasa syukur akan muncul terasa tatkala melihat fenomena tersebut. Bisa kita bayangkan para pedagang, pengamen, dan pengemis yang setiap harinya dengan motif tidak lain untuk mendapatkan uang demi sesuap nasi rela menghabiskan hari-harinya di gerbong kereta.

Status kita sebagai homo homini socius pun akan sangat terasa. Penumpang yang berbeda latar belakang, daerah, logat bahasa, dan kebudayaan berbaur satu sama lain dalam satu tempat. Interaksi sosial pastinya tak pelak terjadi.


Pembelajaran tidak hanya kita dapatkan di kelas, ataupun di sebuah tempat yang formal, tetapi juga di tempat yang kita anggap tidak ada pun bisa kita ambil pembelajaran.
Kereta ekonomi telah menjawabanya. Begitu banyak fenomena sosial yang kadang kita hiraukan. Padahal memberi pembelajaran yang amat berharga tentang kerasnya kehidupan.

Jumat, 17 Oktober 2008

DINAMIKA MAHASISWA PERANTAUAN

Mobiltas sosial seakan menjadi isu yang tidak akan pernah habisnya untuk dibahas. Keinginan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya menjadi motif utama. Beragam cara orang merealisasikannya.Merantau adalah salah satu alternatifnya. Istilah yang tidak asing lagi, bahkan akrab ditelinga kita. Jika dalam istilah Islam adalah Hijrah yang artinya pindah. Berpindah untuk menjadi lebih baik tentunya. Baik kemapanan hidup, kemandirian, kedewasaan dan hal lain menyangkut personal.

Tak terkecuali dengan putra-putri asal Tasik yang menempuh pendidikan di luar kota Tasik. Tahun ini--angkatan 2008--tercatat sebanyak ratusan lulusan SMA/MA asal Tasik yang melakukan hijrah ke kota lain untuk mengenyam bangku kuliah.

Persebarannya meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Cikarang, Bandung, Sumedang, Yogyakarta, Semarang, Purwokerto, dan beberapa kota lainnya. PTN dan PTS yang ada di masing-masing kota tersebut tak lain menjadi tujuan utama.

Jumlah yang signifikan tersebut sebuah sinyalemen positif akan mutu pendidikan yang relatif baik di kota bordir. Banyaknya lulusan SMA asal Tasik yang diterima PTN baik melalui jalur PMDK, ujian mandiri, atau SNMPTN adalah tolak ukur yang valid.

Keyakinan sebagai jalan menuju kemandirian dan kedewasaan menjadi alasan tersendiri. Seperti diungkap Rohanah, mahasiswa IPB Bogor asal Tasik.

“Kuliah di luar Tasik tidak hanya ingin mengaktualisasikan kemampuan akademik saja, tetapi juga mencoba belajar dengan kehidupan yang mandiri.” Ucap Ana panggilan akrabnya.

Lain dengan Agus. Agus ingin membuktikan eksistensinya di kancah nasional. Mantan Ketua OSIS salah satu SMA swasta tersohor di kota Tasik ini tercatat sebagai mahasiswa ilmu kelautan UNDIP.

“Saya anak daerah ingin membuktikan bahwa anak daerah pun bisa. Hidup memang tidak selalu mudah, tetapi selalu mungkin. Dengan merantau, kerasnya kehidupan akan menjadi pembelajaran yang sesungguhnya.” Tegas Agus.

Memang, mahasiswa perantauan jangan harap akan hidup enak layaknya di rumah sendiri. Mulai dari tempat yang berbeda logat bahasa, budaya, kebiasaan, dan tata aturan membuat setiap perantau mesti beradaptasi.

Belum lagi dengan berbagai polemik yang dihadapi. Uang kiriman belum sampai, uang jatah sebulan habis, dan berbagai problem lainnya menjadi asam garam mahasiswa perantauan.

Kacang lupa akan kulitnya semoga tidak melekat pada mahasiswa perantauan. Ingat akan tanah kelahiran yang telah membesarkan menjadi sesuatu yang acap kali dinomor sekiankan.

Berkontribusi melalui gagasan-gagasan demi kemajuan daerah asal bukan mejadi sesuatu yang tabu. Hasil dari perantauan sejatinya bisa dirasakan pula oleh masyarakat banyak. Semoga!




MEREKA BERKATA

Menjadi mahasiswa perantauan memang memiliki segudang kesan yang mendalam. Saba kampus mencoba menelusuri kesan dari beberapa mahasiswa asal Tasikmalaya yang menjadi perantau demi menuntut ilmu di luar kota.



Rohanah
Teknologi Pangan, IPB Bogor

“Merantau adalah hal yang paling menakutkan dalam hidup saya karena harus jauh dari orang tua. Walaupun berat, apalagi harus mempersiapkan sendiri segalanya dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Tapi semua itu bisa merubah pola pikir kita menjadi orang dewasa yang sesungguhnya.”



Ryza Yasha
Kedokteran Gigi, UGM Yogyakarta
“Kuliah diperantauan apalagi kuliahnya seperti saya di Yogya yang lumayan jauh, membuat saya jarang pulang kampung. Itu karena waktu yang cukup lama diperjalanan. Tapi saya yakin itu semua menjadi salah satu perjuangan yang nantinya berbuah manis.”


Agus Nurul Komarudin
Ilmu Kelautan, UNDIP Semarang
“Unik dan menantang. Dengan keyakinan yang kuat kepada Sang Khaliq, saya percaya bahwa ini adalah sebuah batu loncatan untuk meraih kesuksesan kelak.”



Utami Dewi Heryanti
FSRD, ITB Bandung

”Mesti menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, teman baru, dan tetangga baru. Sedihnya kesepian jauh dari orang-orang terdekat. Tapi intinya harus bisa hidup mandiri di sini.”


Wanda Irawan Arwansyah
Psikologi, UI Depok

“Pertamanya susah, karena mesti adaptasi dengan suasana baru. Tapi setelah proses adaptasi dijalani, yah enak-enak aja. Just enjoy it!”




Felysia Nurul
Teknik Industri, President University Cikarang.
“Rasanya campur aduk, giving so much advantages. Terutama proses kehidupan yang sangat berharga. Pokoknya harus bisa jaga diri jangan sampai terbawa dengan hal-hal yang negatif. Sedihnya jauh dari keluarga, tapi manfaatnya bisa merasakan arti keluarga itu sendiri.”

Ilham Gemilang
Pendidikan Ilmu Komputer, UPI Bandung
“Bisa kenal teman baru dari berbagai pelosok daerah. Hidup seadanya, pokonya serba seadanya. Tapi itu semua mudah-mudahan termasuk perjuangan dan doa terbaik buat masa depan.”

Fitriyani Agustin Rosihin
Sosiologi, UNSOED Purwokerto

“Yang saya rasakan banyak sekali cobaan yang mesti dihadapi. Segalanya menjadi tanggung jawab sendiri. Bagaimana saya menyikapi semua itu, sikap itu segalanya. Dan saya mencoba menyikapi dengan baik.”