Jumat, 28 Agustus 2009

Catatan Perjalanan di Negeri Ginseng, Korea Selatan (2)

Masjid Raya Seoul

Salah satu unsur dari tujuh budaya universal adalah sistem religi atau kepercayaan. Berbicara mengenai religi (agama), terbersit dalam pikiran adalah apa sih mayoritas agama atau kepercayaan yang dianut orang Korea? Menurut kabar dan data nih, mayoritas orang Korea adalah menganut kepercayaan Confuissisme.

Nah, gimana dengan Islam di Korea? Apa ada orang Islam di sana? Jawabannya tentu ada donk..., hanya saja jumlahnya sedikit. Agama Islam memang menjadi minoritas di Korea. Orang Korea yang beragama Islam diperkirakan sebanyak 45.000 jiwa. Kalo ada orang Islam, masjidnya juga ada donk? So pasti... Don’t worry! Alhamdulillah...

Kurang-lebih sebanyak 7 masjid ada di negara berjuluk setenang pagi ini. Keberadaanya tersebar di berbagai kota. Nah, kali ini saya hanya bakal ngejelasin salah satu masjid yang terbesar dan tertua di Korea. Adalah Masjid Raya Seoul satu-satunya masjid yang ada di ibu kota Korea, Seoul. Masjid yang dibangun sekitar tahun 1976 ini terletak di daerah Itaewon, Seoul.

Itaewon terkenal dengan pusat komunitas muslim di Korea. Tak heran, kita gampang nyari orang Indonesia di sana. Makanan khas Indonesia kayak nasi goreng dan yang halal banyak dijual di daerah ini. Hanya saja harganya yang cukup mahal. Wajar aja, nyari makanan halal di Korea susahnya minta ampun, jadi sekali ada tentu harganya selangit.

Saat hari jumat, Masjid Raya Seoul banyak dikunjungi untuk shalat jumat. Orang yang datang ke masjid berasal dari Seoul dan sekitarnya. Apalagi saat bulan Ramadhan, banyak orang yang ngabuburit di masjid ini. Menurut kenalan saya, orang Indonesia yang kerja di KBS (Korean Broadcasting System) Korea, masjid ini selalu ramai saat sahur dan buka puasa. Kebiasaan orang mengaji dan i’tikaf di masjid seperti di Indonesia ternyata masih bisa ditemui di sana.

Alhamdulillah, kita yang tinggal di Indonesia notabene negara terbanyak penduduk muslimnya sepatutnya bersyukur karena keberadaan masjid begitu pabalatak (banyak). Jaraknya pun dekat dan bisa didatengi dengan hanya berjalan kaki. Tinggal gimana kita bisa mensyukuri hal tersebut dengan selalu mendatangi masjid untuk shalat berjamaah (terutama pria). Jangan kalah sama muslim di Korea yang jumlah masjidnya sedikit (di Ibu kotanya hanya ada satu) bahkan harus menempuh perjalanan satu jam, tetap semangat beribadah pergi ke masjid. Hayya alasholah....!

Minggu, 23 Agustus 2009

Catatan Perjalanan di Negeri Ginseng, Korea Selatan (1)

Nama Saya ”Di sini”

“Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu,” begitulah Arai berucap dalam novel ketiga Andrea Hirata—Endensor. Berawal dari mimpi, saya mendapat kesempatan untuk bisa menginjakkan kaki dan berpetualang di Korea Selatan. Negara yang pada tahun 1950 adalah salah satu negara termiskin di dunia. Ekonominya hancur akibat penjajahan Jepang dan Perang Korea. Sekarang, berubah cepat menjadi salah satu negara yang paling kaya dan tercanggih di dunia dengan nilai ekonomi trilyunan dollar (Semoga Indonesia bisa mengikuti jejak. AMIN).

Saya pernah bermimpi (baca: bertekad) bahwa suatu saat saya harus bisa menginjakkan kaki di negeri orang. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT mimpi tersebut menjadi kenyataan saat masih duduk di bangku kuliah semester dua. Saya terpilih menjadi duta bangsa Indonesia untuk berpartisipasi dalam acara Youth Camp For Asia’s Future 2009. Program tahunan yang diselenggarakan Pemerintah Korea Selatan, mengundang pemuda se-Asia untuk berdiskusi mengenai Asia, saling memperkenalkan budaya negara masing-masing, mengenal pariwisata, dan budaya Korea selama dua minggu.

Berkenalan
Tak kenal, maka tak sayang. Bagaimana mau sayang kalau kita belum kenal. Bagaimana mau mendoakan kalau belum kenal. Berkenalan, hal yang klasik tapi sangat penting ini begitu memberikan kesan pertama dengan orang yang belum kita kenal sama sekali. Apalagi berkenalan dengan orang yang berbeda bangsa, negara, adat, dan budaya. Tentu menjadi cerita tersendiri.

Seperti berkenalan dengan orang Korea. Jangan heran kalau berkenalan dengan orang Korea. Loh, kenapa? Setelah memperkenalkan nama, kita akan ditanya umur. “Myeoch sariyeyo?” “Berapa umur Anda?”

Bagi orang Indonesia, menanyakan umur adalah sesuatu yang kurang sopan. “Nih apa sih orang, nanya-nanya umur segala. Mau tau aje,” begitulah kira-kira di Indonesia, orang akan bicara dalam hatinya ketika ditanya umur. Tetapi budaya di Korea, menanyakan umur saat berkenalan adalah penting. Dengan menanyakan umur, mereka bisa mengetahui lawan bicaranya lebih tua atau lebih muda dari mereka.

Orang Korea terkenal dengan orang yang menjunjung tinggi nila-nilai kesopanan (Kalau soal ini, orang Indonesia juga sama. Satuju?). Jika mengetahui lawan bicaranya adalah lebih tua dari mereka, cara bicara dan sikapnya akan sangat sopan. Jika mengetahui lawan bicaranya lebih muda, akan menganggap adik, membimbing, dan memanjakan.

So, kalau suatu saat bertemu dan kenalan dengan orang Korea jangan serta merta marah ditanya umur. Yah, namanya juga beda negara yah pasti beda juga budayanya.

Orang Korea juga mempunyai tingkatan bahasa seperti orang Sunda. Ada bahasa buat sendiri, teman, dan orang yang lebih tua. Seperti dahar, neda, dan tuang di Sunda yang berarti makan. Dahar untuk nonformal, neda untuk diri sendiri, dan tuang untuk orang yang lebih tua. Pola seperti itu juga ada dan diterapkan Korea.

Saya dan orang Korea kayaknya akan selalu aneh dan ketawa jika berkenalan. Ini dikarenakan nama yang saya emban. Nama yang diberikan oleh orang tua saya tercinta dengan harapan bisa menjadi anak yang berguna bagi bangsa dan negara seperti Gubernur Jawa Barat era 1989, ayo siapa yah? (syukur-syukur bisa jadi gubernur suatu saat nanti. AMIN.) dan memberikan cahaya terang seperti fajar menerangi bumi setiap pagi, fajar adalah moment saya lahir ke dunia. Itulah Yogi Achmad Fajar. Tak heran, ucapan William Shakespeare yang menyatakan apalah artinya sebuah nama tidak berlaku pada mayoritas masyarakat Indonesia. Maaf, sedikit cerita asal usul dan arti nama saya.

Kembali ke topik pembahasan, nama saya (Yogi) ternyata dalam bahasa Korea berarti “di sini”. Maka, setiap saya memperkenalkan diri “Je ireumeun Yogi imnida.” “Nama saya Yogi”. Respon mereka akan seperti ini, “Yogi? Yogi?” Di sini? Di sini?” sambil diiringi senyum dan kadang tertawa kecil. “Nama kamu lucu dan gampang diingat,” ucap salah seorang teman Korea saya.

Oleh karena itu, saya menjadi orang yang GRan (Gede Rasa) di Korea. Bagaimana tidak, setiap orang serasa memanggil nama saya. Padahal kenal saya juga tidak.he,,he,, “Yogi..yogi...”

Bagaimana dengan Anda? Sudahkah mengecek nama Anda dalam bahasa Korea? Siapa tahu suatu saat dapat rezeki pergi ke Korea dan berkenalan dengan orang sana Anda bisa bersiap diri. AMIN. Keep dreaming!!!!