Minggu, 23 November 2008

MENEMUKAN KEMBALI JATI DIRI MAHASISWA

Pengantar
Perjalanan historis telah mengantarkan kita pada sebuah perspektif perubahan yang memberikan sinyal secercah harapan dari semangat kemajuan dan kebebasan atas tirani penjajah. Perubahan yang senantiasa dinantikan menjadi realitet dari mimpi yang diidam-idamkan masyarakat pribumi saat itu. Berawal dari mimpi itulah, para pejuang tak kenal lelah memberikan sebuah penetrasi yang tak henti-hentinya dengan berbekal spirit optimisme yang terpatri dalam hati sanubari. Hasil pun berbuah manis dan ekuivalen dengan usaha dan kerja keras yang begitu besar. Pikiran, tenaga, harta dan darah pun menjadi kontribusi yang tak pelak menjadi harga mati.

Kita tidak bisa memungkiri, dalam setiap episode perjuangan bangsa Indonesia tidak akan terlepas dari sosok pemuda. Pemuda sebagai seorang kaum terpelajar—mahasiswa—yang notabene akrab dengan idealismenya yang acap kali bertentangan dengan elite eksekutif dalam hal ini pemerintah. Tidak semata-semata menentang tanpa ada alasan yang relevan. Ironisnya, semua itu dilakukan sebagai bentuk perhatian mereka terhadap kondisi bangsa. Kita tentu masih ingat ketika persiapan kemerdekaan Indonesia, golongan muda dan golongan tua berselisih pendapat mengenai proklamasi kemerdekaan. Sehingga menyeret golongan muda dan golongan tua kedalam konflik intern. Golongan muda yang dimotori oleh Adam Malik dan rekan pemuda lainnya, menginginkan agar proklamasi kemerdekaan segera diproklamasikan. Di sisi lain, golongan tua yaitu Soekarno, Hatta dan rekan yang lainnya justru terkesan menunda-nunda kemerdekaan. Dengan dalih proklamasi kemerdekaan RI mesti dilakukan pada momen yang tepat.

Konflik tersebut berlanjut dengan dibawanya Soekarno, Hatta, dan golongan tua lainnya ke Rengasdengklok oleh golongan muda. Dibawanya golongan tua oleh golongan muda ke Rengasdengklok untuk segera merumuskan kemerdekaan RI. Setelah dirumuskan, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikanlah kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Hatta. Sejak itulah RI memproklamasikan kemerdekaannya.

Konflik antara golongan muda dan golongan tua tersebut menghasilkan suatu konflik yang konstruktif. Di mana dengan adanya konflik dari kedua belah pihak tersebut menghasilkan sesuatu yang mengubah nasib bangsa Indonesia. Bisa kita bayangkan, jika golongan muda tidak memberikan “tekanan” kepada golongan tua untuk untuk segera memproklamasikan kemerdekaan RI. Mungkin kemerdekaan RI diproklamasikan tidak terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 atau mungkin akan ditunda-ditunda.

Mahasiswa sebagai agent of change
Jiwa yang menggebu-gebu menjadi denyut nadi dalam setiap langkah hidup pemuda. “Darah muda” yang mengalir menjadi bensin bahan bakar utama pergerakan kepemudaan Indonesia. Pemuda sendiri memiliki tempat strategis yang tidak bisa dianggap sebelah mata oleh siapapun bahkan oleh pemuda itu sendiri. Sejatinya modal tersebut menjadi manifestasi atas kepercayaan bagi pemuda menemukan perannya yang penting dalam dinamika tatanan kehidupan sosial, politik, dan budaya.

Di tengah keterpurukan bangsa yang sedang acak marut ini, sejumlah pemuda memberikan andil yang besar terhadap kemajuan bangsa. Hal ini dibuktikan dengan berbagai prestasi yang gemilang yang telah ditoreh. Baik itu dalam bidang politik, pendidikan, olahraga, serta bidang yang lainnya. Bidang poltik misalnya. Panggung poltik Indonesia saat ini dihiasi dengan pemuda yang turut aktif memberikan gagasan yang segar bagi bangsa. Keikutsertaan pemuda terjun ke dalam politik praktis mengindikasikan bahwa pemuda juga bisa berkarya, berdedikasi, serta berkontribusi. Rasa bertanggung jawab dan semangat sense of belonging yang besar terhadap bangsa menjadi motif tersendiri di balik semua itu. Akseptabilitas politik pemuda pun menjadi sesuatu yang tidak semestinya diperdebatkan.

Adapun opini publik dewasa ini mencuat mengenai peran pemuda yang terjun ke dunia politik merupakan sebuah trend baru yang hanya sepintas dan tidak akan betahan lama adalah keliru. Opini tersebut akan terbantahkan dengan sendirinya tatkala kita kembali menengok sejarah. Isu kepemimpinan yang menjadi tolak ukur bagi peran pemuda saat ini dalam konteks kenegaraan menjadi sesuatu yang realistis. Fakta berbicara ketika dominasi pemuda relatif mewarnai jagat panggung politik masa lalu. Budi Utomo yang menjadi benih kebangkitan nasional tidak lain dimotori oleh mahasiswa yang notabene adalah pemuda. Tahun 1942 ketika menentang penindasan Jepang di Base Camp Asrama Prapatan 10 tak luput dari peran mahasiswa. The founding fathers negara kita pun seperti Soerkarno dan Hatta saat diambil sumpahnya sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia saat berumur relatif muda yakni 44 dan 43 tahun. Soeharto menjadi Presiden pun tergolong muda yakni saat berumur 46 tahun.

Satu lagi sebuah peristiwa yang begitu fenomenal dan menjadi catatan tak terlupakan adalah reformasi pada tahun 1998. Puluhan ribu mahasiswa bahkan lebih limpah ruah turun ke jalan dengan tujuan yang sama bertekad menjatuhkan rezim orde baru. Rezim yang telah berkuasa 32 tahun, 7 bulan, 3 minggu ini pun akhirnya tumbang. “Saya menyatakan berhenti”, adalah ucapan yang terlontar dari mulut Bapak Pembangunan ketika mengumumkan pengunduran dirinya sebagai penguasa orde baru. Pernyataan tersebut adalah misi utama yang memang dari awal diperjuangkan oleh mahasiswa. Meskipun semua itu mesti dibayar mahal dengan adanya mahasiswa yang ditembak mati oleh pasukan keamanan pada saat perjuangan para mahasiswa dalam rentetan kronologi reformasi.

Sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Adalah pernyataan dari Benedict Anderson seorang Indonesianist. Pernyataan Ben merupakan optimisme eksistensi pemuda dalam alur dan tatanan kenegaraan Indonesia. Sehingga keberadaan pemuda dari awal perjuangan bangsa hingga sekarang dan seterusnya akan menghiasi dinamika konstalasi kepemimpinan. Titik awal dari semua itu adalah sebuah kesadaran yang mesti selalu dijaga keutuhannya.

Pemuda (baca: mahasiswa) dalam kaitannya dengan perubahan memang layak menyandang peran agent of change. Peran yang sudah seharusnya tertanam dalam lubuk hati paling dalam seluruh pemuda Indonesia. Sudah cukup hanya berkomentar, mengeluh, dan mengkritik tanpa ada real action di lapangan. Pemuda mesti bangkit dan tidak ada lagi kata malas dalam menjalani kehidupan yang sayang untuk dilewatkan tanpa makna. Eksistensi pun menjadi wacana yang penting setiap alur perjuangan.

Tantangan Mahasiswa
Seiring dengan peran pemuda dalam isu kepemimpinan, tak pelak menemui berbagai halang rintang. Globalisasi yang tengah menyelimuti tatanan kehidupan di berbagai aspek masyarakat adalah salah satu tantangan kongkret bagi para pemuda. Eksistensi dan idealisme akan dipertaruhkan. Sejuah mana akan bertahan, sejauh mana akan kokoh dalam kemurnian yang berlandaskan semangat kebangsaan.

Tidak semudah mengembalikan telapak tangan pemuda melawati berbagai proses idealisme yang acap kali menemui berbagai hambatan. Idealisme sejatinya memberikan keunggulan. Namun, di sisi lain idealisme bisa menjadi sebuah bumerang yang justru menyerang balik tatanan pribadi. Hati sanubarilah yang dapat menjawab akan semua itu. Kejujuran adalah salah satu kunci pokok dan tolak ukur yang valid. Kejujuran terhadap sikap, kenyataan, dan kondisi sosial yang ada di sekitar.

Belajar dari analogi idealisme seorang siswa SMA yang memiliki mimpi rasanya patut kita tengok. Seperti yang diketahui, masa SMA yakni masa remaja merupakan sebuah masa penuh dengan harapan dan cita. Berbagai keinginan muncul dan terkadang irasional. Dokter, ilmuan, psikolog, salah satu contoh dari banyaknya keinginan—menjadi sesuatu—seorang siswa SMA. Namun semua itu bohong besar tatkala tidak sesuai apa yang diinginkan dengan usaha yang telah dilakukan. Adalah bohong besar bercita-cita menjadi seorang dokter tetapi pelajaran biologi, kimia, matematika tidak ditekuni dan digemari. Dari fenomena tersebut kita melihat sebuah idealisme yang tidak kontras dengan kejujuran hari sanubari.

Begitu pun idealisme yang kaitannya mengenai semangat kepemimpinan dalam konteks kebangsaan. Pemikiran-pemikiran yang kritis namun tetap etis belum sepenuhnya berjalan efekif tatkala sisi emosional masih menolak dalam diri. Emosi terkadang bisa membuyarkan mana yang benar dan mana yang salah. Hasrat akan nafsu menjadi sebuah tantangan tersendiri. Tidak sedikit pejabat yang korupsi dan melakukan sebuah tindakan penyelewengan saat ini, dulunya adalah seorang aktivis mahasiswa di kampus. Seorang aktivis yang begitu getol dalam menyuarakan keadilan dan kritik atas pemerintah yang menjabat saat itu. Namun sangat ironis, mereka sekarang menjadi pejabat yang tidak sesuai dengan apa yang diperjuangkan dulu ketika menjadi mahasiswa. Korupsi, suap, mark up, dan kebobrokan yang lainnya adalah contoh nyata.

Seseorang yang tengah duduk di bangku yang bernama kekuasaan memang rawan terhadap tindakan yang tidak terpuji. Praktek-praktek yang bisa menyeret ke ranah hukum berpeluang sangat besar. Ujian sesungguhnya dari pemuda terhadap konsistensi terhadap perjuangan dan idealisme mereka yang berlandaskan kepentingan rakyat dan bangsa.

Muncul pertanyaan yang besar. Akankah ke-idealisme-an tentang perjuangan pemuda (mahasiswa) bisa tetap terjaga sampai kapanpun bahkan ketika mendapatkan kedudukan di level eksekutif ataupun legislatif? Semua ini hanya bisa dijawab dengan meluruskan niat dan mengingat kembali apa niatan awal.

Tidak akan pernah habis untuk dibahas jika berbicara tentang kepemudaan di Indonesia. Pemuda dengan semangat keberaniannya menjadi salah satu modal utama. Tidak hanya itu, rasa tidak apatis terhadap kondisi sosial ekonomi di masyarakat yang masih belum menyentuh level sejahtera menjadi bahan pemikiran dan mesti mencari solusi atas semua itu. Tidak ingin membuat anak cucunya nanti merasakan kesulitan hari ini. Tidak ingin anak cucunya di masa depan menyalahkan diri mereka atas warisan yang diberikan bukan sesuatu yang membanggakan melainkan keterpurukan. Tidak ingin semua itu terjadi. Berpikir jauh ke depan mengenai kondisi bangsa sepuluh, dua puluh, bahkan seratus tahun ke depan menjadi bahan pemikiran pemuda.

Selasa, 04 November 2008

Jurusan Universitas

KENALI DULU BARU PAHAMI
Studi Pengenalan Jurusan Universitas Untuk Siswa SMA dari Perspektif Karakteristik Kehidupan Kampus
Oleh:
Yogi Achmad Fajar
Benar adanya bahwa suatu lingkungan atau tempat memiliki sebuah ciri khas tersendiri. Minimal dari tampilan luar yang diperlihatkan dengan sendirinya. Inilah yang menjadi ke-bhinneka-an indah kehidupan.

Puspa ragam akan kita temui dari spesifikasi orang atau komunitas yang menempati suatu lingkungan yang satu dengan yang lainnya. Jangan jauh-jauh, lingkungan di sebuah kampus yang menjadi miniatur kehidupan sebuah negara bisa dikaji tingkah pola, dan ciri khas dari masing-masing fakultas atau rumpun pelajaran.

Adalah Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Padjadjaran yang dijuluki kampus rakyat tetapi faktanya tidak merakyat ini kita jadikan sample kajian karakteristik orang tiap tempat yang berbeda. Tentunya kita amati dari karakteristik orang (baca: mahasiswa) dari tiap fakultas di masing-masing kampus. Dan anehnya, setiap kampus memiliki kesamaan karakter tiap fakultasnya.

Penulis melakukan penelitan kecil-kecilan mengkaji hal di atas saat SMA tingkat akhir dan sekarang menjadi mahasiswa. Menginjakkan kaki dari satu fakultas ke fakultas yang lainnya. Berbaur bersama dan bersilaturahmi. Sambil mengamati pola kehidupan sosial dan karakteristik mayoritas mahasiswa fakultas bersangkutan masing-masing kampus. Sambil menyelam minum air.

Namun yang mesti digarisbawahi di sini adalah tidak semua apa yang digambarkan dari masing-masing sifat atau karakter dari mahasiswa per fakultas menjadi hal yang mutlak. Mungkin hanya 75 %. Karena, sesuai dengan filosofi jeruk. Tidak semua jeruk yang ada dalam sebuah karung manis rasanya, beberapa pasti ada yang masam.

Semoga bisa memberikan tambahan informasi—khususnya siswa SMA—tentang sebuah jurusan di Universitas dari sudut pandang yang jarang dilirik.

FE (Fakultas Ekonomi)
Berada di Fakultas Ekonomi atau akrab disingkat FE atau ada juga yang menyebut FEB (Faklutas Ekonimi dan Bisnis) kita tidak akan melihat mahasiswa menggunkan tipe HP jadul—layar berwarna hijau, monophonic, sering ngedrop, dan tipe sejenis lainnya—tetapi HP tipe N series, 3G, walkman, dan tipe wah lainnya yang setia menemani digenggaman tangan.

FE terkenal dengan mahasiswinya yang super cantik, menawan, plus seksi. Tidak ada yang menyangsikan akan fakta ini. Tidak hanya di UI, UGM, dan UNPAD yang terkenal mahasiswi FEnya yang cantik-cantik, bahkan di seluruh FE di kampus manapun seantero Indonesia terkenal akan mahasiswinya bak artis ibu kota. Bahkan ada jargon, jika ingin cuci mata bagi kaum laki-laki, sering-seringlah lewat dan makan di kantin FE. Kebanyakan mahasiswa FE adalah anak dari orang-orang tajir dan kaum borjuis. Direktur perusahaan, pemilik saham terbesar, pengusaha sukses adalah contohnya. Tidak heran jika Jazz, Yaris, Estilo dan merek lainnya berjejer di parkiran mahasiswa.

Kehidupan sosial dan ekonomi mahasiswa FE pun sebanding dengan latar belakangnya. Tampilan yang trendy, gaul, up to date, konsumtif, dan glamor mewarnai pribadi mahasiswanya.

FIB (Fakultas Ilmu Budaya)
Berbeda dengan FE, FIB (Fakultas Ilmu Budaya) atau sastra terkesan lebih cuek. Mahasiswa yang memakai sandal, kaos, dan celana pendek akan menjadi sesuatu yang tidak dianggap tabu lagi. Sedikit ndeso akan tampilan dan kurang up to date tehadap fashion.

Apabila kita melakukan obrolan dengan mahasiswanya, sedikit banyak akan mengeluarkan sebuah pernyataan yang bermajas, dan pendekatan personifikasi dalam setiap pembicaraannya. “Apa adanya” menjadi sajian yang ditawarkan jika kita masuk lingkungan calon sastrawan ini.

Mahasiswa sastra terkenal akan keromantisannya (apalagi sastra prancis). Pintar merayu, menggombal, dan merangkai kata dalam untaian karya sastra seperti dalam puisi. Tak heran, banyak mahasiswa dari fakultas lain “menyewa” jasa mereka untuk sekedar memberi saran bahkan pembuatan puisi romantis untuk kekasih tercinta.

FIB kaya akan bahasa. Mulai dari bahasa Indonesia, daerah (Sunda dan Jawa), Inggris, Prancis, Belanda, Rusia, Arab, Korea, Jepang, dan China. Mahasiswanya pun acap kali berbincang dengan bahasa-bahasa yang sedang mereka pelajari.

Tidak hanya berbagai adat dari Indonesia saja yang berbaur, tetapi juga adat luar negeri pun ikut berdialektika dalam konstalasi kehidupan kampus. FIB terkenal dengan banyak mahasiswa asing. Mahasiswa asing yang sedang mempelajari budaya dan bahasa Indonesia.

Hampir mahasiswa asing dari seluruh penjuru dunia hadir mengenyam pendidikan di FIB. Amerika, Australia, Eropa, Afrika, Asia seperti Korea, Jepang, China, India, dan mahasiswa dari negara lainnya.

Fakultas Psikologi
Tentram, damai, tenang, kalem, dan sejuk adalah kesan pertama masuk lingkungan calon psikolog ini. Melihat wajah-wajah mahasiswanya seakan tenang dan emosinya yang stabil membuat “tamu” yang masuk menjadi ikut stabil hanyut dalam aura mereka. Keibuan bagi mahasiswinya dan kebapakan bagi mahasiswanya adalah sifat yang tepat disandang mereka.

Objek kajian mereka yang mempelajari kejiwaan manusia menjadi alasan utama mereka begitu tenang. Mengetahui dirinya adalah termasuk objek kajian yang dipelajari, menjadi lebih bijak menyikapi pribadi sendiri. Setidaknya asumsi tersebut bisa menjadi acuan yang relevan.

Mahasiswa psikologi terkenal sebagai tempat curahan hati (curhat). Baik sesama anak psikologi ataupun di luar fakultas psikologi. Wajar, karena mahasiswa psikolog nantinya bekerja tidak jauh dari menghimpun, menerima curhat dan memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi kliennya.

Fakultas Filsafat
Melakukan pembicaraan dengan mahasiswa filsafat jangan heran jika kita mendengar kata-kata seperti yang dilontarkan plato, aristoteles, dan kawan-kawan filsuf lainnya.

Filsafat adalah dasar dari semua ilmu. Apapun jurusan atau prodi (program studi) kita baik itu kedokteran, sastra, ekonomi, ilmu sosial, teknik dan disiplin ilmu lainnya pasti akan menemui mata kuliah filsafat. Meskipun hanya pengantar saja atau pengenalan dasar. Dan itu pun hanya sekali dan biasanya hanya 2 SKS (Satuan Kredit Semester).

Lebih menitikberatkan mengenai pemikiran, logika, dan logika. Segala sesuatu diambil dari sudut logika. Maka tak heran, karena orientasinya logika mayoritas mahasiswa filsafat bersikap nyeleneh, baik dalam ucapan maupun tindakan. Namun, mahasiswa filsafat cenderung “bijak” dalam menyikapi sesuatu.

Paradoks akan kita temui. Seperti ada mahasiswa yang tidak beragama (atheis) di fakultas filsafat. Ada jargon juga, jika menjadi mahasiswa filsafat ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Seperti diungkap salah seorang teman penulis yang kuliah di filsafat UI. Pertama, iman akan semakin tebal dan kuat. Atau pilihan kedua yang lebih dramatis, akan menjadi “kurang waras”.

FK (Fakultas Kedokteran)
Seperti halnya FE, mahasiswa FK berpenampilan pede. Rasa percaya diri itu bisa terlihat dari tampilan luar seperti mahasiswa FE. Biaya awal masuk kuliah, biasanya mahasiswa mengeluarkan kocek minimal 75 juta rupiah. Bagi yang kelebihan uang, ada yang mencapai seperempat milyar ketika awal masuk. Bukunya saja ada yang sampai harga satu juta rupiah.

Tidak ada kata santai bagi mahasiswa FK. Kehidupan yang rasanya bisa dianggap terlalu memforsir otak. Bayangkan, waktu istirahat seperti makan siang di kantin mereka gunakan untuk mengerjakan tugas dan diskusi dengan mahasiswa FK lainnya mengenai bahasan yang disampaikan dosen di kelas. Seperti pemandangan rutin di kantin kampus FK Salemba UI. Ke sana kemari menenteng buku-buku setebal kamus John M. Echol bila ditumpuk tiga sebanyak lebih dari dua buah.

Teman dalam perjalanan adalah buku, buku, dan buku bagi mahasiswa FK. Meskipun memang setiap mahasiswa fakultas manapun membawa buku juga, akan tetapi mahasiswa FK lebih “menyayangi” buku-buku. Tidak tanggung-tanggung bahasa inggris dan bahasa ilmiah sebagai bahasa pengantarnya sampai menempel di setiap benak mahasiswa.

Memakai jas berwarna putih menjadi kebanggan anak FK. Karena dengan jas itu lah yang menjadi simbol identitas mahasiswa FK. Strata lebih tinggi seakan ingin diperlihatkan melalui simbol jas putih tersebut.

FH (Fakultas Hukum)
Kebanyakan mahasiswa hukum berasal dari Batak. Bukan fakultas hukum namanya jika tidak mendengar logat bicara dari salah seorang mahasiswanya seperti pengacara kondang Ruhut Sitompul.

Lingkungan sesuai dengan tujuan kuliah, yakni HUKUM. Didesain mirip dengan pengadilan, LP, dsb. Ciri khas mahasiswanya adalah perdebatan dan perdebatan. Topik pembicaraan apapun bisa menjadi sebuah debat. Karena kerjaan yang akan diemban nantinya adalah berdebat. “Saya yang benar, anda yang salah,” kira-kira seperti itulah.

Sebuah obrolan ringan yang rileks tentang suatu kolom di koran dapat berubah menjadi sebuah perdebatan sengit antara pro dan kontra terhadap sebuah wacana. Penuh analisis dan saling menjatuhkan.

Tahu dirinya akan menjadi orang yang kelak membuat peraturan-peraturan di negeri ini membuat mahasiswa FH lebih “berani”. Hal yang paling menarik dari mayoritas mahasiswa FH adalah motto perjuangan mereka, “Maju tak gentar membela yang bayar”.

FT (Fakultas Teknik)
Jika mahasiswa FK terkenal dengan banyak tugasnya, hal senada pun dialami mahasiswa FT. Melihat segerombolan mahasiswa berkumpul di suatu tempat—bahkan di kantin seperti mahasiswa FK—adalah untuk memahami materi kuliah dengan tugas dari dosen.

Manajemen stress di FT bisa dianggap berada diurutan kedua setelah FK. Tidak ada kata santai dalam hidup seorang mahasiswa FT. Penulis mempunyai teman FT di lingkungan kost, tidurnya mahasiswa FT jika kebanjiran tugas tulis, atau tugas praktikum adalah setelah subuh. Yang lebih menyedihkan lagi, setelah semalaman kurang tidur bahkan ada yang tidak tidur dan paginya—biasanya jam 7 pagi—mereka mesti berangkat kuliah.

Kehidupan yang “keras” sering terlihat di FT. Mahasiswa baru diberi tugas ospek yang merepotkan. Perlu diketahui, FT berbeda dengan fakultas yang lainnya. Ospek yang biasanya hanya seminggu ketika awal masuk, di FT bisa satu semester bahkan setahun.

Lebih banyak mahasiswa dari pada mahasiswi di FT. Penjelasannya sangat jelas. Teknik identik dengan hal-hal yang berbau laki-laki.

FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik)
Tidak jauh berbeda dengan rumpun humaniora lainnya seperi ilmu budaya, hukum, dan psikologi, FISIP tidak terlalu memforsir otak dan tenaga seperti FK dan FT.

Sejalan dengan FIB, FISIP sedikit longgar terhadap tata aturan mahasiswanya. Memakai kaos dan sandal merupakan pemandangan yang biasa. Ciri anak FISIP adalah mahasiswanya terkenal kritis. Berbincang dengan mahasiswa FISIP sangat nyambung. Gayanya yang komunikatif, jelas, namun sedikit meluas menjadi daya tarik tersendiri.

Sedikit “heboh” dan over confidence dalam bersikap. Patut dibanggakan dari FISIP adalah mahasiswanya langganan menjadi pembicara dalam seminar-seminar antar mahasiswa.